c

Selamat

Jumat, 19 April 2024

CATATAN VALID

11 Juli 2022

14:38 WIB

Tanam Paksa Dan Kopi Jawa

Tahukah kamu kalau tanam paksa atau yang kita kenal dengan cultuur stelsel awalnya bernama koffie stelsel?

Penulis: Novelia

Editor: Rikando Somba

Tanam Paksa Dan Kopi Jawa
Tanam Paksa Dan Kopi Jawa
Ilustrasi petani menunjukan biji kopi setelah disortir. ANTARAFOTO/Budi Candra Setya

Tidak semua dari kita, yang bahkan penduduk Indonesia sendiri, mengetahui bahwa Jawa cukup identik dengan kopi. Padahal, inilah yang membuat JavaScript, sebuah bahasa script yang populer di internet, disandingkan dengan logo kopi oleh para mahasiswa di Amerika yang mengembangkannya.

“Java itu, di sana adalah kopi. Sehingga, sampai istilahnya logo Javascript itu, yang ada gambarnya cangkir itu, itu konotasinya adalah kopi. Java itu adalah kopi,” ujar Prawoto Indarto, peneliti dan peminat kopi, ketika menjadi pembicara dalam acara diskusi publik bertajuk “Riwayat Kopi di Era Hindia Belanda” yang diselenggarakan Historika Indonesia pada 24 Februari 2018.

Kopi Jawa mulai populer setelah sebelumnya Gubernur Jenderal VOC di awal abad ke-17 mengambil benih tanaman terkait untuk dianalisis di Belanda. 

Hasil studi tersebut menyatakan bahwa kopi dari tanah Jawa berkualitas sangat baik. Makanya, pada tahun 1707 direncanakanlah penanaman secara besar-besaran di sana.

Awalnya, kopi mulai ditanam di daerah pinggiran seperti Kerawang dan Bekasi. Namun, setelah diuji, daerah dataran tinggi ternyata menghasilkan kualitas yang lebih baik. 

Baca juga: Kisah Ragam Rasa Nusantara

Hal ini terbukti setelah pada tahun 1711 kopi-kopi dari Cianjur dibawa oleh VOC untuk dilelang di Amsterdam dan harganya meledak.

Akhirnya, Pemerintah Hindia Belanda bekerja sama dengan Bupati Priangan untuk melakukan penanaman kopi, yang kemudian dikenal dengan sistem Koffie Stelsel

Kebijakan ini kemudian juga dikenal sebagai Preanger Stelsel karena komoditas-komoditas lainnya dari Cianjur juga diperdagangkan. Namun, tetap saja, kopi menjadi tanaman wajibnya.



Preanger Stelsel inilah yang kemudian menjadi awal mula Cultuur Stelsel yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada 1830 dan lebih umum dikenal sebagai sistem tanam paksa di berbagai buku teks pendidikan.

Kekuatan kopi di tanah Jawa juga menyisakan satu tragedi di era Hindia Belanda ini. Sebuah kisah yang dikenal masyarakat dengan “Dalem Dicondre”,  menceritakan kematian Wira Tanu III, Bupati Cianjur, yang meninggal ditusuk condre (sejenis keris) pada tahun 1726. 

Ada dua versi cerita yang menjadi latar belakang kisah ini, yaitu pemberontakan dan masalah asmara (Suryaningrat, 1982).

Wira Tanu III terkenal sebagai pejabat yang sangat tegas memberlakukan sistem tanam paksa di wilayahnya. Perangai ini tentunya sangat disukai oleh VOC. Sebaliknya, rakyat yang menderita tentu membencinya. 

Baca juga: Rekomendasi Wisata Kopi Yang Wajib Dikunjungi

Pada versi cerita pertama, Wira Tanu III dikisahkan melakukan korupsi dalam pengelolaan Koffie Stelsel. Ia hanya memberikan bayaran kopi 12,5 gulden pada Belanda dari yang seharusnya 17,5 gulden. Sisanya, masuk ke kocek sendiri. 

Rakyat yang marah kemudian berontak. Salah satunya menusuk Wira Tanu III dengan condre.

Versi kedua kisah meninggalnya Bupati Cianjur tersebut berbeda lagi musababnya. Di versi kedua ini, problematik cintalah yang berujung terenggutnya nyawa Wira Tanu. 

Dalam versi ini, Wira Tanu III jatuh cinta kepada seorang gadis cantik asal Cikembar yang bernama Apun Gentay. Apun Gentay yang sebenarnya sudah memiliki kekasih dari Citeureup pun dipanggil ke Pendopo. 

Pukul empat petang, Apun Gentay datang bersama seorang lelaki yang ternyata kekasihnya, namun dikira hanya sekadar pengiring. Saat perempuan ini diperintah mendekat, lelaki tersebut ikut mendekat. 

Baca juga: "Berobat" Jiwa dan Rasa di Klinik Kopi

Sekelebat, dia cepat menusukkan sebuah condre pada tubuh Wira Tanu III. Penguasa ini pun tumbang dengan isi perut terburai.

Mas Purwa, saudara Wira Tanu III yang berada di lokasi, langsung saja mengejar pelaku penusuk condre. Lelaki tersebut akhirnya tewas dipenggal Mas Purwa setelah sebelumnya bertarung di alun-alun. Sementara itu, Wira Tanu III akhirnya meninggal di malam hari.

Masih belum terpecahkan versi mana yang benar, namun sebagian besar warga Cianjur masih mempercayai versi masalah percintaan sebagai penyebab tragedi ini. 

Akan tetapi, beberapa pakar mengkritisi bahwa versi kedua itu hanya kisah yang dibuat-buat untuk menutupi pemberontakan di era Koffie Stelsel. Menurutmu, versi mana yang benar?

Referensi:

Indarto, P. (2018, Februari 24). Diskusi Riwayat Kopi di Era Hindia Belanda. Jakarta, Indonesia: Historika Indonesia.

Suryaningrat, B. (1982). Sajarah Cianjur Sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundul Cianjur. Jakarta: Rukun Warga Cianjur.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar