c

Selamat

Senin, 17 November 2025

CATATAN VALID

03 Juli 2023

16:00 WIB

Sejarah Terciptanya Istilah Toxic Masculinity

Istilah toxic masculinity awalnya digunakan sebagai kebalikan dari atribut deep masculinity.

Penulis: Novelia

Editor: Rikando Somba

Sejarah Terciptanya Istilah <i>Toxic Masculinity</i>
Sejarah Terciptanya Istilah <i>Toxic Masculinity</i>
Ilustrasi aksi tolak toxic masculinity. Shutterstock/Sundry Photography

Nyaris satu dekade belakangan, telinga kita pasti sudah tidak asing dengan frasa toxic masculinity. Istilah ini biasanya terdengar dari gerakan kesetaraan gender dan feminisme. Para aktivis gerakan ini biasanya terdiri dari beragam kelompok jenis kelamin dan identitas gender, baik laki-laki, perempuan, ataupun yang tidak didefinisikan sebagai keduanya.

Namun tahukah Anda, kalau istilah toxic masculinity pertama kali digunakan dalam gerakan yang hanya berisikan kelompok laki-laki saja?

Nyatanya istilah toxic masculinity pertama kali didengungkan dalam Gerakan Laki-Laki Mitopoetik (Mythopoetic Men Movement) pada era 1980-an. Gerakan ini layaknya dunia laki-laki yang dibentuk untuk laki-laki. Anggotanya pun terdiri dari kelompok laki-laki mayoritas yang lebih punya kuasa dalam masyarakat, yakni mereka yang berkulit putih, kelas menengah, dan heteroseksual. Terasa kontras ya, dengan aktivis kesetaraan masa kini yang sudah pasti punya anggota marjinal – dalam gender, ras, atau hierarki masyarakat lainnya.

Pada masa tersebut, konsep maskulinitas didefinisikan secara luas, dan atribut-atribut mendasarnya dikenal dengan sebutan deep masculinity. Oleh Shepherd Bliss (1995), deep masculinity ini diasosiasikan dengan sifat laki-laki yang mampu mengembangkan, memiliki sifat mengasuh, membumi, dan ceria.

Akan tetapi krisis identitas dialami laki-laki akibat berbagai tekanan, kerap menghalangi mereka dalam mencapai deep masculinity-nya, misalnya buruknya hubungan dengan sang ayah. Nah, untuk terkoneksi kembali dengan atribut deep masculinity ini, diadakanlah Gerakan Laki-Laki Mitopoetik. Menurut Bliss, kata "mitopoetik" mengacu pada gerakan lelaki era baru yang bermaksud merevisi maskulinitas pada masanya.

Apa yang harus direvisi?
Di sinilah muncul frasa toxic masculinity sebagai atribut maskulinitas yang dinilai kurang baik dan perlu ‘disembuhkan.’ Toxic masculinity diasosiasikan dengan sifat abai, suka menyiksa, dan pribadi yang sarat kekerasan.

Menurut Aaron Kipnis (1995), toxic masculinity melihat laki-laki menjadi sebagai gambaran prajurit kejam. Ia menilai bahwa gambaran tersebut harus dihapuskan dan diganti dengan citra bahwa laki-laki dapat lebih luwes, bisa diasosiasikan dengan menari, musik, pelindung alam, serta pencinta perempuan.

Maka, melalui Gerakan Laki-Laki Mitopoetik, sejumlah kegiatan bernuansa terapi dilakukan untuk ‘menyembuhkan’ anggotanya dari toxic masculinity. Penyembuhan dilaksanakan melalui serangkaian aktivitas, seperti lokakarya terapi, konferensi, bahkan retret. 

Setiap akhir pekan, laki-laki anggota gerakan ini akan berkumpul, bermain gendang dan bernyanyi, serta melakukan ritual tertentu di alam liar, untuk merangkul kembali sisi deep masculinity yang otentik dalam diri mereka.

Bukan tanpa alasan gerakan ini dibuat khusus untuk kelompok laki-laki. Sejak lama, laki-laki diyakini hanya dapat memiliki kedekatan dengan sesamanya. Sehingga penyembuhan dinilai terbaik dan paling alami jika hanya melibatkan kelompok mereka. Sejumlah upacara inisiasi, ritual, cerita, mitos dalam gerakan ini pun dipimpin oleh lelaki.

Setelah tercetus dari Gerakan Laki-Laki Mitopoetik, istilah toxic masculinity digunakakan secara beragam dari masa ke masa, oleh kelompok yang berbeda. Pada era 1990'an hingga awal 2000'an misalnya, frasa ini kerap dipakai kelompok swadaya masyarakat dalam karya akademis untuk menjelaskan kondisi kesehatan mental laki-laki. Sementara itu, di lingkaran konser Amerika Serikat, istilah ini sempat disematkan pada laki-laki berpenghasilan rendah dan terpinggirkan, dan kaitannya dengan sistem keluarga.

Kemudian, setelah cukup lama hiatus di muka publik dan akademis, istilah toxic masculinity hadir kembali. Kali ini ia menyebar dalam budaya populer. Dalam perkembangannya kini, istilah tersebut kerap digunakan untuk mengkritik norma-norma seksis dan misoginis yang kerap melekat pada laki-laki, biasanya oleh akademisi ataupun kelompok yang antusias pada isu feminisme.

Apakah Anda salah satu yang kini sering menyebut istilah ini?

 

Referensi

Ferber, A. L. (2000). Racial Warriors and Weekend Warriors: The Construction of Masculinity in Mythopoetic and White Supremacist Discourse. Men and Masculinities Vol. 3, 30-56.

Kupers, T. A. (2005). Toxic masculinity as a barrier to mental health treatment in prison. Journal of Clinical Psychology, 713–724.

 



KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar