03 Juni 2024
15:00 WIB
Sebelum Tapera, Ada Taperum Di Orde Baru
Masyarakat digemparkan dengan wacana diberlakukannya pemotongan gaji untuk Tapera. Menengok permasalahan Taperum-PNS di era Orde Baru, masihkah ini relevan?
Petugas melayani peserta tabungan perumahan rakyat (Tapera) di Kantor Pelayanan Badan Pengelola Tapera, Jakarta, Kamis (30/5/2024). Sumber: AntaraFoto/Bayu Pratama S
Pertengahan 2024 menjadi masa-masa yang cukup berat bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya, sejumlah kebijakan terbaru bermunculan dan bikin pusing kepala. Salah satunya adalah terkait Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang rencananya dikeluarkan lewat Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2024 oleh Presiden Joko Widodo.
Berdasarkan regulasi yang menjadi perubahan atas PP No. 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera ini, disebutkan gaji para pekerja, baik pegawai negeri sipil dan BUMN maupun karyawan swasta dan pekerja mandiri, akan dipotong sebanyak 3% per bulan sebagai iuran peserta Tapera.
Untuk para pekerj angka 3% tersebut dibagi menjadi 0,5% yang ditanggung pemberi kerja dan 2,5% ditanggung pekerja. Sementara bagi mereka yang merupakan pekerja mandiri, seluruhnya dibayar sendiri.
Wacana ini tak pelak menimbulkan polemik. Pasalnya, potongan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan saja sudah cukup mengurangi upah mereka. Kini ada lagi potongan lainnya dengan besaran yang tak sedikit.
Jika dicermati, sejatinya aturan potong gaji dengan alasan membantu para pekerja menabung demi memiliki tempat tinggal, bukan kali ini saja diterapkan. Pada pemerintahan Orde Baru, regulasi sejenis pernah pula dijalankan. Namanya pun nyaris sama, yakni Taperum-PNS alias Tabungan Perumahan Pegawai Negeri.
Program Taperum-PNS ini pertama kali diluncurkan dan diatur lewat Keputusan Presiden No.14 Tahun 1993, tentang Tabungan Perumahan Negeri Sipil yang kemudian melalui perubahan menjadi Keputusan Presiden No. 46 Tahun 1994. Aturan ini membuat seluruh PNS mengalami pemotongan gaji untuk tabungan perumahan. Besarannya berbeda-beda sesuai golongan, yakni Rp3.000 per bulan untuk Golongan I; Rp 5.000 untuk Golongan II; Rp7.000 untuk Golongan III; dan Rp10.000 untuk Golongan IV.
Dana yang terkumpul dari potongan tersebut, dijanjikan akan digunakan sebagai bantuan uang muka kredit rumah bagi PNS yang belum memiliki rumah. Termasuk, membangun rumah bagi mereka yang sudah punya tanah, dan dicairkan saat pensiun atau berhenti bagi yang sudah punya rumah. Besaran dari uang kredit yang dimaksud bergantung lagi pada golongan PNS.
Bagi PNS Golongan I akan menerima bantuan uang muka kredit untuk tipe Rumah Sangat Sederhana (RSS) atau tipe 21, dan Golongan II kebagian RSS tipe 36. Sementara itu, Golongan III mendapat bantuan dari Rumah Sederhana (RS) atau tipe 21, dan Golongan IV dapat RS tipe 45 hingga tipe 70. Jumlahnya pun dijanjikan naik mengikuti kenaikan harga rumah.
Kala itu, salah satu sosok yang berperan dalam kepengurusan Taperum adalah Menteri Perumahan (Menpera) sekaligus ketua Sekretariat Badan Pertimbangan Taperum-PNS (Bapertarum-PNS) Akbar Tandjung. Beliau menyebutkan, perkiraan dana Taperum-PNS yang disimpan di BTN hingga akhir semester II 1994 mencapai Rp457 miliar, terbagi atas Rp266,5 miliar yang dikelola Menpera dan Rp190,5 miliar yang dikelola Departemen Keuangan.
Masalahnya, pengumpulan dana Taperum-PNS yang tidak transparan menimbulkan pertanyaan. Pasalnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kesulitan mengaudit uang ratusan miliar rupiah yang dikelola oleh Bapertarum-PNS. Baru pada era reformasi audit dapat dilakukan, yani para awal tahun 2000. Hasilnya, tercatat kerugian sebesar lebih kurang Rp179,9 miliar.
Sejumlah pihak mencurigai adanya penyelewengan dana, mengingat diketahui adanya deposito atas nama rekening Menteri Negara Perumahan Takyat yang tak jelas. Apalagi, setelah ditelisik dana Taperum-PNS dimasukkan ke beberapa bank yang berbunga rendah seperti Bank Kesejahteraan Ekonomi (Bank BKE) dan Bank Pembangunan Daerah. Di saat suku bunga simpanan melambung lebih dari 20% setahun, kisaran bunga dari bank-bank pilihan Akbar Tanjung tersebut hanya berkisar 3-12%.
Menanggapinya, Akbar Tanjung beralasan hanya ingin memperlancar tersedianya rumah bagi PNS. Dalam kasus Bank BKE -yang kini menjadi SeaBank- misalnya, Akbar menyatakan, keputusan tersebut justru menguntungkan karena 70% sahamnya dimiliki Induk Koperasi Pegawai Republik Indonesia (IKPRI).
Akbar Tanjung juga menyampaikan, penempatan dana Taperum-PNS di Bank BKE adalah permintaan Sumitro Djojohadikusumo dan melalui persetujuan Presiden Soeharto yang juga menjabat sebagai ketua Bapertarum-PNS. Sebagai informasi, Sumitro Djojohadikusumo merupakan pendiri Bank BKE, sekaligus ayah dari Menteri Pertahanan RI Periode 2019-2024 Prabowo Subianto.
Pemerintahan terus berganti, kasus kebocoran dana Taperum-PNS masih tak jelas juntrungannya. Isu ini menguap begitu saja tanpa penyelesaian.
Kini, setelah sekian lama, sistem tabungan perumahan yang mirip kembali direncanakan pemerintah. Kali ini yang diwajibkan jadi penabung tak hanya PNS, melaikan juga karyawan swasta dan pekerja lainnya.
Permasalahan pada kasus tabungan perumahan di era pemerintahan yang lalu mestinya jadi pembelajaran agar tak terulang dan merugikan rakyat. Yah, meskipun dibalik kerugian tersebut mungkin saja ada beberapa pihak yang diuntungkan.
Referensi
Divisi Komunikasi BP Tapera. (2024, Mei 27). Tingkatkan Efektivitas Penyelenggaraa Tapera, Pemerintah Tetapkan PP No. 21 Tahun 2024. Retrieved from BP Tapera: https://www.tapera.go.id/2024/05/tingkatkan-efektivitas-penyelenggaraan-tapera-pemerintah-tetapkan-pp-no-21-tahun-2024/
DPRD Provinsi DKI Jakarta. (1993). Legislatif Jawa. Jakarta: DPRD Provinsi DKI Jakarta.
Mimbar Jatim. (1994). Jawa Timur.