04 April 2024
16:00 WIB
Potensi Serbuk Besi Sebagai Bahan Bakar Bebas Karbon
Teknologi retrofit pada pengolahan serbuk besi dan hidrogen dapat digunakan sebagai bahan bakar bebas karbon. Energi yang dihasilkan tidak hilang dan bisa lebih efektif menghasilkan listrik sebagai ba
Penulis: Mohammad Widyar Rahman
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi serbuk besi. Shutterstock/RHJPhtotos
Perubahan iklim telah membuat manusia lebih peduli pada pentingnya meminimalkan dan menghilangkan emisi karbon dioksida. Hal ini berakibat pada pentingnya perkembangan teknologi untuk menghasilkan sumber energi bebas karbon.
Sebagai bagian dari upaya diversifikasi di era transisi energi, peran teknologi juga dibutuhkan untuk menghasilkan sumber energi yang kompetitif dan andal. Terlebih, era transisi ini telah mengarah pada pentingnya percepatan transformasi menuju energi yang berkelanjutan. Makanya, inovasi teknologi yang terus berkembang dianggap sebagai building block transisi energi.
Perkembangan inovasi tersebut memunculkan pemanfaatan logam sebagai sumber energi. Hanya jenis logam yang memiliki kerapatan energi tinggi yang dapat digunakan sebagai sumber energi. Diantara beragam jenis logam, besi menjadi pilihan utama sebagai alternatif bahan bakar untuk jenis pembangkit listrik stasioner.
Kerapatan energi dari besi mencapai 11,3 kWh/liter atau lebih tinggi dari kerapatan energi bensin yang mencapai 9,8 kWh/liter dan etanol yang mencapai 6,4 kWh/liter. Kerapatan energi merupakan ukuran banyaknya energi yang dihasilkan per satuan volume. Selain itu, besi secara kimiawi stabil, tingkat toksisitasnya rendah, dan ketersediaannya melimpah.
Serbuk besi sebagai sumber energi listrik bebas karbon hanya membutuhkan US$ cent 6,18/kWh. Apabila dibandingkan dengan jenis logam lainnya yang viable, seperti logam aluminium membutuhkan biaya sebesar US$ cent 22,77/kWh dan silicon membutuhkan biaya sebesar US$ cent 23,78/kWh, jelas potensi serbuk besi punya kelebihan.
Dalam prosesnya, serbuk besi yang masuk ke pembakaran akan menghasilkan panas dan selanjutnya panas yang dihasilkan tersebut diubah menjadi energi listrik. Proses pembakaran tersebut menghasilkan besi oksida atau yang umum kita kenal sebagai karat pada besi.
Besi oksida ini dapat didaur ulang menjadi serbuk besi kembali menggunakan gas hidrogen. Gas hidrogen yang saat ini populer sebagai sumber energi bebas karbon berfungsi sebagai pereduksi besi oksida. Dengan demikian, hasil reduksi yang berupa serbuk besi tersebut dapat digunakan kembali untuk pembakaran.
Kelebihan lainnya adalah pada proses pembakaran besi sebagai bahan bakar ini yang mengindikasikan tidak adanya karbon yang diemisikan ke lingkungan. Proses reduksi besi oksida menggunakan hidrogen secara keseluruhan energi efisiensinya mencapai 60% apabila hidrogen yang digunakan sebagai pereduksi tersebut diperoleh melalui proses elektrolisis (proses mengubah air menjadi gas hidrogen dan oksigen).
Terkait dengan kebutuhan serbuk besinya, berdasarkan studi yang dilakukan di PLTU Niederaussem (berkapasitas 3641 MW) Jerman, per tahunnya PLTU tersebut membakar serbuk besi sebanyak 28 juta ton dan menghasilkan energi listrik sebesar 23 TWh. Jumlah tersebut setara dengan kebutuhan 2,3 juta ton besi dan 1,5 juta ton hidrogen apabila proses reduksi serbuk besi menggunakan hidrogen yang diperoleh dari electrolyzer (perangkat yang digunakan untuk proses elektrolisis) secara lokal. Perangkat electrolyzer tersebut membutuhkan energi 17,8 GW selama masa operasi 4000 jam dalam setahun.
Meski demikian, temuan awal ini bukan tanpa tantangan. Berbeda halnya dengan bahan bakar berbasis hidrokarbon, pembakaran awal serbuk besi membutuhkan waktu sedikit lebih lama, sehingga agar cepat terbakar serbuk besi memerlukan bantuan gas alam. Di sisi lain, untuk menjaga kestabilan pengapian, proses pembakaran besi membutuhkan teknologi tambahan. Selain itu, pengumpulan karat hasil pembakaran sedikit “tricky”. Namun, dengan menggunakan perangkat yang disebut sebagai cyclone ataupun metode lainnya yang dalam hal ini tidak memerlukan teknologi tinggi dan biaya mahal.
Kemudian, teknologi ini memerlukan langkah lebih lanjut untuk memastikan efisiensi proses pembakaran dari besi menjadi besi oksida. Hal ini disebabkan pada proses pembakaran adanya potensi tidak semua serbuk besi berubah menjadi besi oksidanya.
Tentunya, inovasi teknologi ini dapat menjadi pelengkap teknologi hidrogen sekaligus memberikan peluang baru dalam menyediakan energi listrik yang andal dan terjangkau.
Referensi:
Debiagi P, R C Rocha, A Scholtissek, J Janicka, C Hasse. 2022. Iron as Sustainable Chemical Carrier of Renewable Energy: Analysis of Opportunity and Challenges for Retrofitting Coal-Fired Power Plants. Renewable and Sustainability Energy Review, 165, 112579.
Janicka J, P Debiagi, A Scholtissek, A Dreizler, B Epple, R Pawellek, A Maltsev, C Hasse. 2023. The Potential of Retrofitting Existing Coal Power Plants: A Case Study for Operation with Green Iron. Applied Energy, 339, 120950.
Neuman J, R C da Rocha, A Scholtissek, F Dammel, P Stephan, C Hasse. 2023. Techno-Economic Assessment of Long-Distance Supply Chain of Energy Carrier: Comparing Hydrogen and Iron for Carbon-Free Electricity Generation. Applications in Energy and Combustion Science, 14, 100128.