14 Februari 2025
15:30 WIB
Perayaan Valentine: Simbolisme Makanan Dan Tradisi
Setiap tanggal 14 Februari, cokelat menjadi elemen simbolisme yang tidak terpisahkan dari perayaan Valentine. Mulai dari praline mewah, batang cokelat sederhana, atau kemasan berbentuk hati.
Penulis: Aloysius Elan Satria Wijaya
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi cokelat yang didesain khusus beserta bunga, sebagai simbolisasi valentine. Shutterstock/Evgeny Karandaev
Valentine bukan hanya perayaan, tetapi juga fenomena budaya yang terus diperkuat oleh media dan industri. Sejak abad ke-20, iklan, film, musik, dan media sosial memainkan peran besar dalam membentuk ekspektasi masyarakat tentang bagaimana Valentine seharusnya dirayakan.
Film-film romantis sering kali menampilkan adegan di mana pria memberikan bunga, cokelat, atau perhiasan kepada pasangannya sebagai simbol cinta. Narasi ini kemudian menjadi standar sosial yang secara tidak langsung "mewajibkan" seseorang untuk merayakan Valentine dengan cara yang serupa.
Perusahaan cokelat, perhiasan, dan bunga seperti Hershey's, Godiva, Tiffany & Co., serta berbagai merek lainnya menginvestasikan miliaran dolar dalam kampanye pemasaran yang menanamkan gagasan bahwa memberi hadiah di Hari Valentine adalah bukti cinta sejati.
Di era digital, media sosial semakin memperkuat ekspektasi tentang Valentine. Foto-foto hadiah mewah, makan malam romantis, yang diunggah ke platform seperti Instagram atau TikTok yang merayakan Valentine dengan cara serupa. Akibatnya, banyak orang merasa harus mengikuti tren ini, meskipun tidak selalu sesuai dengan nilai atau kemampuan finansial mereka. Dengan demikian, media dan industri memiliki peran signifikan dalam membentuk persepsi dan praktik perayaan Hari Valentine di masyarakat modern.
Cokelat dalam Valentine bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga konstruksi budaya yang membawa makna mendalam dalam relasi sosial. Claude Lévi-Strauss dalam pendekatan strukturalismenya berargumen bahwa makanan bukan hanya sekadar benda konsumsi, tetapi juga bagian dari sistem tanda yang mencerminkan nilai budaya (Lévi-Strauss, 1964).
Dalam bukunya The Raw and the Cooked, ia menjelaskan bagaimana makanan bisa dikategorikan berdasarkan tingkat transformasi yang diberikan manusia terhadapnya. Dalam hal ini, cokelat memiliki keunikan sebagai makanan yang mengalami proses panjang dari biji kakao mentah yang pahit, diolah dengan teknik tertentu, hingga menjadi sesuatu yang manis dan lembut.
Jika menerapkan pemikiran Lévi-Strauss, cokelat dapat dipahami sebagai simbol transformasi emosi dan sosial. Dalam konteks Valentine, cokelat melambangkan perubahan dari sesuatu yang "mentah" menjadi sesuatu yang "matang". Proses ini mencerminkan bagaimana hubungan manusia yang juga berkembang.
Dalam banyak budaya, makanan manis sering dikaitkan dengan kebahagiaan, kelembutan, dan kasih sayang. Cokelat, secara khusus, memiliki beberapa karakteristik yang mendukung perannya sebagai simbol cinta dalam Valentine.
Sejak zaman peradaban Mesoamerika, kakao telah dianggap sebagai barang berharga yang hanya dikonsumsi oleh kaum elite. Ketika cokelat menjadi populer di Eropa, ia tetap mempertahankan citra sebagai simbol kemewahan dan penghargaan. Dalam konteks Valentine, memberikan cokelat bisa dimaknai sebagai pemberian sesuatu yang istimewa dan bernilai bagi orang yang dicintai.
Dari perspektif ilmiah, cokelat memiliki beberapa kandungan yang dapat mempengaruhi perasaan seseorang. Senyawa ini sering disebut sebagai "molekul cinta" karena berperan dalam meningkatkan perasaan euforia dan gairah. PEA bekerja dengan cara merangsang pelepasan dopamin di otak, yang berhubungan dengan perasaan senang dan jatuh cinta (Scholey & Owen, 2013). Termasuk kandungan theobromine, serotonin, dan antioksi dan. Dari sudut pandang ini, cokelat tidak hanya berfungsi sebagai simbol budaya tetapi juga memiliki efek fisiologis yang memperkuat asosiasinya dengan cinta dan kebahagiaan.
Meskipun cokelat telah menjadi simbol utama dalam perayaan Valentine di banyak negara, bentuk perayaan dan maknanya bisa sangat bervariasi berdasarkan budaya masing-masing, seperti berikut;
1. Jepang: Valentine Dan White Day
Di Jepang, perayaan Valentine memiliki aturan unik. Pada 14 Februari, perempuan memberikan cokelat kepada laki-laki, baik sebagai tanda cinta (honmei choco) maupun sebagai bentuk sopan santun terhadap kolega (giri choco). Sebulan kemudian, pada 14 Maret, ada White Day, di mana laki-laki yang menerima cokelat pada Valentine harus membalas dengan hadiah yang lebih mahal, seperti cokelat putih atau perhiasan.
2. Korea Selatan: Black Day Untuk Yang Jomblo
Di Korea Selatan, selain Valentine dan White Day, ada Black Day pada 14 April. Mereka yang tidak menerima hadiah di dua perayaan sebelumnya berkumpul bersama teman-teman sesama jomblo dan makan jajangmyeon (mi saus kedelai hitam) sebagai bentuk solidaritas.
3. Denmark: Surat Anonim dan Bunga Salju
Orang Denmark merayakan Valentine dengan bertukar kartu puisi anonim yang disebut gaekkebrev serta bunga putih yang disebut snowdrop.
4. Brasil: "Dia dos Namorados"
Di Brasil, perayaan kasih sayang tidak jatuh pada 14 Februari, melainkan pada 12 Juni. Hari itu diperingati sebagai hari Dia dos Namorados (Hari Para Kekasih), yang sering kali diiringi dengan festival musik dan tarian.
Cokelat dalam perayaan Valentine bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga bagian dari simbolisme budaya yang berkembang melalui sejarah dan praktik sosial, bahwa makanan, termasuk cokelat.
Makanan, dalam hal ini cokelat adalah sarana komunikasi, transformasi, dan ekspresi emosi yang dikodekan dalam sistem budaya kita. Dengan demikian, Valentine dan cokelat bukan sekadar tradisi yang terjadi secara alami, tetapi juga merupakan hasil dari konstruksi sosial dan biologis yang terus dipertahankan.
Jadi, sobat Valid, di era modern kini, setelah melihat lebih dalam makna di balik perayaan Valentine, apakah kamu benar-benar merayakan cinta, atau hanya mengikuti kebiasaan yang didorong oleh konsumsi dan media?
Referensi:
Lévi-Strauss, C. (1964). The Raw and the Cooked. University of Chicago Press.
Parker, G., Parker, I., & Brotchie, H. (2006). Mood state effects of chocolate. Journal of Affective Disorders, 92(2), 149-159.
Ruiz-Valdepeñas Montiel, V., et al. (2022). Chocolate antioxidants and health benefits. Food Chemistry, 374, 131728.
Scholey, A., & Owen, L. (2013). Effects of chocolate on cognitive function. Nutrition Reviews, 71(10), 665-681.
Smit, H. J. (2011). Theobromine and mood. Neuroscience & Biobehavioral Reviews, 35(3), 314-322.
Wiss, D. A., et al. (2020). Food addiction and chocolate. Current Nutrition Reports, 9(3), 152-165.
https://www.rri.co.id/hiburan/1306957/kenapa-perayaan-hari-valentine-identik-dengan-coklat
Arti Hari Valentine: Sejarah, Tradisi, dan Makna Perayaannya di Era Modern - Feeds Liputan6.com