16 Juni 2025
14:30 WIB
Peer Pressure: Pertemanan Yang Menjadi Sumber Tekanan
Peer pressure adalah tekanan sosial dari teman sebaya yang memengaruhi perilaku kita, baik secara sadar maupun tidak yang muncul di dunia nyata hingga era digital.
Penulis: Devi Rahmawati
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi kelompok remaja putri tengah menikmati suasana di sebuah kafe. Shutterstock/BongkarnGraphic
Pernahkah Sobat Valid merasa harus ikut-ikutan sesuatu hanya karena teman-temanmu melakukannya? Misalnya, membeli barang yang sedang tren padahal sebenarnya tidak butuh. Atau, ikut nongkrong malam-malam meski badan sudah lelah? Kalau iya, selamat datang di dunia peer pressure, tekanan sosial yang diam-diam membentuk banyak keputusan yang tanpa kita sadari sepenuhnya.
Dalam sosiologi, peer pressure bukan sekadar soal ikut-ikutan atau kurang percaya diri. Ini merupakan fenomena sosial yang kompleks dan sangat manusiawi.
Lewat kacamata para sosiolog, kita bisa melihat bahwa tekanan dari lingkungan sebaya ini punya akar yang dalam dalam struktur sosial, norma, dan kebutuhan akan identitas sosial.
Apa Itu Peer Pressure?
Secara sederhana, peer pressure adalah pengaruh yang diberikan oleh kelompok sebaya terhadap individu, yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan perilakunya agar selaras dengan kelompok tersebut. Kelompok sebaya ini bisa berupa teman sekolah, rekan kerja, komunitas hobi, bahkan pertemanan di dunia maya.
Namun, sosiologi mengajarkan kita untuk tidak melihat hal ini secara hitam-putih. Tekanan teman bisa bersifat negatif, seperti mendorong untuk mencoba alkohol, melakukan bullying, atau menyebar hoaks. Namun, di sisi lain, tekanan juga bisa positif: misalnya, memotivasi untuk lebih disiplin, hidup sehat, atau berprestasi.
Mengapa Sobat Valid mudah terpengaruh oleh teman sebaya? Sosiolog, seperti Emile Durkheim dan Erving Goffman, memberikan penjelasan menarik.
Durkheim melihat manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk menjadi bagian dari komunitas. Tanpa ikatan sosial, individu dapat merasa asing, tidak berarti, bahkan mengalami anomie atau kondisi di mana norma tidak lagi diindahkan.
Sementara itu, Goffman, lewat teorinya tentang dramaturgi, melihat kehidupan sosial layaknya sebuah panggung. Kita memainkan berbagai peran di hadapan orang lain, dan penampilan kita, seperti pakaian, gaya bicara, maupun sikap yang masuk dalam bentuk pertunjukan untuk mendapat pengakuan. Dalam konteks ini, peer pressure menjadi semacam sutradara sosial yang menentukan naskah dan kostum yang harus kita lakukan dan kenakan agar tetap relevan di panggung sosial.
Norma, Konformitas, dan Deviasi
Sosiologi juga memandang peer pressure sebagai mekanisme pengendalian sosial. Lewat tekanan kelompok, norma bisa ditegakkan dan anggota kelompok terdorong untuk berperilaku sesuai ekspektasi.
Tentunya, tidak semua orang patuh. Mereka yang menolak tekanan ini kadang dianggap berbeda atau menyimpang. Inilah yang disebut dengan deviasi.
Teori labeling dari Howard Becker menjelaskan bahwa seseorang bisa dianggap nakal bukan karena perbuatannya semata, tetapi karena bagaimana masyarakat memberi label atas perilaku tersebut. Misalnya, seseorang yang memilih tidak ikut tren media sosial mungkin dianggap tidak kekinian oleh teman-temannya, padahal bisa jadi ia sedang menjaga kesehatan mentalnya.
Tekanan itu hadir bukan hanya secara verbal, namun juga lewat tatapan, komentar halus, atau bahkan pengucilan.
Peer Pressure di Era Digital
Di era media sosial, bentuk peer pressure makin halus dan kuat. Kita merasa harus tampil sempurna seperti influencer, ikut tantangan viral, atau menunjukkan pencapaian. Ketidakhadiran di dunia digital bisa memunculkan fear of missing out (FOMO), dan kita terdorong ikut arus, bahkan tanpa sadar.
Sosiolog kontemporer menyebut fenomena ini sebagai bentuk panoptikon sosial modern, di mana kita merasa diawasi terus-menerus oleh mata virtual. Akibatnya, tekanan untuk konformitas meningkat, meskipun tidak ada yang secara langsung memerintah. Contoh menariknya, flexing culture di TikTok dan Instagram.
Banyak pengguna muda merasa terdorong untuk memamerkan gaya hidup mewah, perjalanan liburan, atau pencapaian akademik secara berlebihan. Dalam kasus ini, peer pressure muncul bukan lewat paksaan, tetapi dari ekspektasi sosial yang dibentuk melalui algoritma dan narasi kolektif di media sosial.
Fenomena ini menegaskan bahwa tekanan teman sebaya di era digital tidak lagi hadir dalam bentuk verbal atau tatap muka. Tekanan ini mulai menyusup lewat story, feed, dan komentar, sehingga membentuk standar-standar tidak tertulis yang sulit dihindari. Hal ini menjadikan media sosial bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga arena pertunjukan sosial, tempat orang saling memantau dan membandingkan.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Mengenali bahwa peer pressure adalah fenomena sosial adalah langkah awal. Ini bukan sekadar soal lemah atau tidak punya pendirian, tetapi soal bagaimana manusia terikat dalam jaringan sosial yang kompleks.
Kesadaran diri, literasi sosial, dan kemampuan berpikir kritis menjadi kunci. Sobat Valid perlu belajar membedakan antara dorongan yang membangun dan tekanan yang menjebak.
Kadang, menjadi berbeda bukanlah bentuk pemberontakan, melainkan bentuk ekspresi otentik dari siapa diri kita sebenarnya.
Referensi: