c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

CATATAN VALID

06 September 2025

15:00 WIB

Net Zero Carbon: Strategi Perusahaan Mencapai Emisi Nol

Di tengah krisis iklim, perusahaan tak bisa hanya mengejar profit semata. Net Zero Carbon hadir sebagai strategi bisnis berkelanjutan untuk menjaga keuntungan sekaligus kelestarian lingkungan.

Penulis: Devi Rahmawati

Editor: Rikando Somba

<p><em id="isPasted">Net Zero Carbon</em>: Strategi Perusahaan Mencapai Emisi Nol</p>
<p><em id="isPasted">Net Zero Carbon</em>: Strategi Perusahaan Mencapai Emisi Nol</p>

Businessperson menganalisis net zero carbon dashboard hologram, menunjukkan data emisi CO2 dan ikon read more...energi yang berkelanjutan, menyoroti konsep pengurangan karbon dan tanggung jawab lingkungan. Shutterstock/FAMILY STOCK.

Dalam beberapa tahun terakhir, isu perubahan iklim semakin mendapat perhatian global. Laporan IPCC dan berbagai perjanjian internasional menunjukkan bahwa tanpa langkah serius, kenaikan suhu bumi akan membawa konsekuensi besar bagi ekosistem, kesehatan manusia, dan stabilitas ekonomi dunia. 

Salah satu konsep yang kemudian menjadi fokus utama adalah net zero carbon, yaitu kondisi di mana jumlah emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer seimbang dengan jumlah yang diserap kembali oleh alam atau teknologi.

Bagi dunia usaha, strategi perusahaan mencapai emisi nol kini menjadi prioritas utama. Kesadaran ini muncul karena dampak perubahan iklim secara langsung berhubungan dengan keberlangsungan rantai pasok, ketersediaan sumber daya, serta perilaku konsumen yang semakin kritis terhadap isu keberlanjutan. Tidak hanya itu, regulasi pemerintah dan tekanan dari komunitas internasional membuat perusahaan perlu segera beradaptasi agar tetap relevan di pasar global. 

Upaya mencapai net zero tidak hanya menjaga kelestarian lingkungan, tetapi juga menjadi bagian penting dari tanggung jawab sosial perusahaan, menjaga kesinambungan bisnis, sekaligus menjawab tuntutan konsumen dan investor yang semakin selektif.

Apa Itu Net Zero Carbon?
Net Zero Carbon adalah kondisi ketika jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke udara hampir tidak ada lagi, atau sangat sedikit. Jika masih ada sisa emisi, maka emisi tersebut akan ditebus dengan cara lain, misalnya melalui penyerapan karbon oleh pohon, proyek penghijauan, atau penggunaan teknologi yang mampu menyerap emisi.

Dengan kata lain, emisi yang dikeluarkan seimbang dengan emisi yang berhasil dikurangi atau diserap kembaliPengimbangan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti meningkatkan efisiensi energi, beralih ke sumber energi terbarukan, memanfaatkan teknologi penyimpanan energi, hingga melakukan kompensasi karbon (carbon offsetting) melalui proyek penghijauan atau konservasi.

Konsep net zero tidak hanya berhenti pada pengurangan emisi langsung, melainkan mencakup transformasi menyeluruh terhadap cara bisnis beroperasi. Perusahaan yang berkomitmen pada net zero tidak hanya menargetkan pengurangan emisi secara signifikan, tetapi juga melakukan investasi jangka panjang dalam teknologi hijau, mengadopsi model ekonomi sirkular, dan membangun sistem rantai pasok berkelanjutan. Dengan demikian, strategi ini bukan hanya soal kepatuhan regulasi, tetapi juga langkah strategis untuk menciptakan nilai tambah dan ketahanan bisnis dalam jangka panjang.

Net Zero Carbon di Indonesia
Indonesia sendiri memiliki target ambisius untuk mencapai net zero carbon pada tahun 2060, atau bahkan lebih cepat jika mendapat dukungan internasional yang memadai. Komitmen ini sejalan dengan Paris Agreement yang menekankan pentingnya menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat celsius. 

Dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) yang diperbarui tahun 2022, Indonesia menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% dengan upaya domestik dan hingga 43,20% dengan dukungan internasional pada 2030. Target ini menjadi pijakan penting menuju nol emisi jangka panjang.

Jika dilihat secara sektoral, sumber emisi terbesar Indonesia berasal dari energi (sekitar 35–36%), disusul kehutanan dan penggunaan lahan (sekitar 30%), serta industri dan transportasi. Hal ini menunjukkan bahwa transisi energi akan menjadi kunci.

Pemerintah melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menargetkan bauran energi terbarukan mencapai 23% pada 2025. Namun, hingga 2023 realisasinya baru sekitar 13–14%, sehingga diperlukan percepatan yang signifikan. Tantangan ini memunculkan peluang besar bagi perusahaan yang mampu berinvestasi di energi terbarukan, efisiensi energi, maupun inovasi teknologi rendah karbon.

Dari sisi kebijakan, pemerintah Indonesia telah menguji coba pajak karbon sejak 2022 dan meluncurkan Bursa Karbon Indonesia pada 2023. Kehadiran pasar karbon ini memungkinkan perusahaan tidak hanya menekan emisi langsung, tetapi juga membeli kredit karbon dari proyek hijau, seperti rehabilitasi hutan, pengembangan energi surya, atau konservasi mangrove. Dengan begitu, perusahaan memiliki fleksibilitas dalam mengelola strategi emisi, sekaligus membuka peluang investasi baru.

Bagi pelaku usaha, strategi menuju emisi nol kini tidak bisa dilepaskan dari kerangka regulasi tersebut. Perusahaan yang lebih awal menyesuaikan diri dengan standar rendah karbon akan memperoleh keunggulan kompetitif, baik di pasar domestik maupun internasional. 

Di sisi lain, perusahaan yang lambat beradaptasi berisiko menghadapi beban biaya tambahan, kehilangan akses pasar ekspor, atau tertinggal dalam mendapatkan investasi global yang kini semakin selektif terhadap kinerja iklim.

Lalu  mengapa perusahaan harus mencapai Net Zero Carbon?

Ada sejumlah alasan penting mengapa perusahaan perlu menerapkan strategi menuju emisi nol. Pertama, faktor reputasi dan kepercayaan publik menjadi dorongan utama. Konsumen kini semakin selektif dalam memilih merek, dan mereka cenderung mendukung perusahaan yang menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan. Dengan memiliki target net zero, perusahaan akan mendapatkan kepercayaan lebih besar sekaligus memperkuat citra positif di mata publik.

Kedua, dukungan investor juga tidak kalah penting. Investor global semakin menaruh perhatian pada carbon neutral business yang dinilai memiliki prospek keberlanjutan jangka panjang. Perusahaan yang memiliki komitmen pada keberlanjutan akan lebih mudah menarik modal dan investasi baru.

Ketiga, strategi net zero berkontribusi pada efisiensi biaya. Upaya pengurangan emisi biasanya sejalan dengan peningkatan efisiensi energi. Dengan menghemat energi, perusahaan dapat menurunkan biaya operasional secara signifikan sekaligus meningkatkan daya saing.

Yang keempat, kepatuhan terhadap regulasi menjadi alasan lain yang mendorong perusahaan. Kebijakan baru seperti pajak karbon membuat penerapan strategi net zero sangat penting agar perusahaan dapat menghindari denda dan beban biaya tambahan yang merugikan.

Terakhir, perusahaan yang lebih cepat beradaptasi dengan zero emission strategy akan memperoleh keunggulan kompetitif. Mereka bukan hanya lebih siap menghadapi persaingan global, tetapi juga mampu membuka peluang bisnis baru dalam ekosistem ekonomi hijau.

Strategi Mencapai Net Zero Carbon
Tren global menunjukkan bahwa carbon neutral business akan segera menjadi standar baru dalam dunia industri. Investor internasional, konsumen, hingga pemerintah kini semakin menekan perusahaan untuk memiliki climate action plan yang jelas dan ambisius. Perusahaan yang lambat beradaptasi berisiko kehilangan akses pasar, terutama karena banyak negara tujuan ekspor sudah mulai menerapkan kebijakan seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa. Artinya, hanya produk dari perusahaan yang menerapkan zero emission strategy yang akan mampu bersaing di pasar global.

Di Indonesia, peluang menuju net zero carbon semakin terbuka berkat meningkatnya investasi di sektor energi terbarukan serta dukungan finansial internasional. Namun, transisi ini tetap menantang. 

Data menunjukkan bahwa konsumsi energi primer Indonesia masih 85% bergantung pada fosil (batu bara, minyak, gas) hingga 2023, sementara bauran energi terbarukan baru mencapai sekitar 13–14%. Kondisi ini menuntut perusahaan untuk mengambil langkah lebih progresif dalam carbon footprint reduction agar mampu bersaing di era ekonomi hijau.

Bagi dunia usaha, mencapai net zero carbon bukan lagi sekadar tren, melainkan kebutuhan strategis untuk menjaga keberlanjutan sekaligus meningkatkan daya saing. Ada beberapa langkah kunci yang umumnya diambil perusahaan.

  1. Melakukan pengukuran dan pengelolaan jejak karbon (carbon footprint assessment). Tanpa data yang akurat, sulit menentukan strategi pengurangan yang efektif. Perusahaan global seperti Unilever dan Nestlé telah mewajibkan rantai pasokannya melaporkan emisi untuk memetakan risiko iklim secara menyeluruh.
  2. Meningkatkan efisiensi energi yang tidak hanya menekan emisi tetapi juga menurunkan biaya operasional. Misalnya, retrofit bangunan dengan teknologi hemat energi atau digitalisasi manajemen logistik dapat mengurangi konsumsi energi hingga 20–30%.
  3. Beralih ke energi terbarukan. Perusahaan yang mengintegrasikan listrik dari tenaga surya, angin, atau biomassa ke dalam operasionalnya akan lebih siap menghadapi lonjakan harga energi fosil dan regulasi ketat di masa depan. Contoh nyatanya, sejumlah pabrik di Jawa Barat mulai memasang rooftop solar panel untuk menekan biaya sekaligus menurunkan emisi.
  4. Menyusun climate action plan yang terintegrasi dengan strategi bisnis inti. Rencana ini harus memiliki target tahunan, indikator keberhasilan, serta peta jalan transisi yang realistis. Tanpa kerangka kerja yang jelas, komitmen net zero hanya akan menjadi jargon tanpa implementasi nyata.
  5. Mengadopsi prinsip ekonomi sirkular dalam pengelolaan limbah. Mengurangi limbah produksi, meningkatkan daur ulang, serta menggunakan bahan baku berkelanjutan terbukti dapat menekan emisi sekaligus menciptakan efisiensi rantai pasok.
  6. Teknologi carbon capture and storage (CCS) mulai diperhitungkan sebagai solusi untuk sektor-sektor yang sulit menurunkan emisi, seperti industri baja dan semen. Meskipun investasi awalnya tinggi, CCS dapat menjadi kunci dalam mencapai target net zero, terutama di sektor padat energi.
  7. Jika masih ada emisi yang sulit dihindari, perusahaan dapat melakukan carbon offsetting. Proyek-proyek penghijauan, konservasi hutan, hingga restorasi mangrove tidak hanya menyerap karbon, tetapi juga memberi manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat lokal.

Melalui kombinasi langkah-langkah ini, perusahaan dapat memastikan bahwa strategi net zero mereka bukan sekadar pemenuhan regulasi, melainkan juga jalan menuju transformasi bisnis yang lebih tangguh, efisien, dan berkelanjutan.

 

Referensi:

  1. Anugraheni, B. D. (2024, January). Akselerasi Net Zero Emissions Dengan Implementasi Energi Baru Terbarukan (EBT) Sebagai Bentuk Upaya Sustainable Development Goals (SDGs). In Prosiding Seminar Nasional Hukum, Bisnis, Sains Dan Teknologi (Vol. 4, No. 1).
  2. Carbon Trust. (2022). Briefing: Net Zero for corporates. Diakses melalui  https://www.carbontrust.com/our-work-and-impact/guides-reports-and-tools/briefing-net-zero-for-corporates.
  3. Hermawan, L. T., & Prabhawati, A. (2024). Implementasi Just Energy Transition Partnership Indonesia menuju Net Zero Emissions tahun 2060. Jurnal Energi Baru dan Terbarukan, 5(3), 28-38.
  4. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. (2025). Strategi dan Penahapan Pembangunan Rendah Karbon Dalam RPJPN 2025-2045.
  5. Laskari, K. T. A., & Bandiyono, A. (2025). Peran Sustainability Reporting Dalam Mendukung Net Zero Emission: Tantangan, Peluang, dan Strategi Mitigasi. Jurnal Riset Akuntansi Aksioma, 24(1), 1-14.
  6. Nugraha, A. Rancang Bangun Net Zero Emission Indonesia dan Strategi Bisnis Perusahaan Energi.
  7. Zahira, N. P., & Fadillah, D. P. (2022). Pemerintah Indonesia menuju target net zero emission (nze) tahun 2060 dengan variable renewable energy (vre) di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial, 2(2), 114-119.

KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar