c

Selamat

Senin, 17 November 2025

CATATAN VALID

30 Oktober 2024

15:00 WIB

Mengurai Toxic Masculinity Dan Dampaknya

Pola pikir sangat memengaruhi isu di kehidupan. Ketidakadilan gender juga salah satu isu yang selalu terjadi di masyarakat dan menjadi bagian dari fenomena toxic masculinity.

Penulis: Besyandi Mufti

Editor: Rikando Somba

<p>Mengurai <em>Toxic Masculinity</em> Dan Dampaknya</p>
<p>Mengurai <em>Toxic Masculinity</em> Dan Dampaknya</p>

Ilustrasi Toxic Masculinity. Shutterstock/Antonio Guillem

Dari berbagai budaya, agama, dan ras di masyarakat Indonesia, muncul pola pikir yang mendominasi sudut pandang tertentu. Salah satunya mengenai isu gender yang selalu menjadi polemik.  

Sebagian besar masyarakat memiliki sudut pandang bahwa laki-laki adalah gender paling kuat. Ini menyebabkan perempuan harus tunduk pada mereka. Banyak keuntungan yang didapatkan oleh kaum lelaki dari perspektif masyarakat ini. Di saat sama, banyak juga kalangan perempuan bahkan laki-laki yang  juga mengalami ketidakadilan dari perspektif ini. Oleh sebab itu muncul istilah toxic masculinity belakangan ini.

Fenomena ini menggambarkan sikap dan perilaku laki-laki yang dapat merugikan diri sendiri, orang lain, maupun masyarakat. Menurut Ramdani dan kawan-kawan, banyaknya perubahan dan pergeseran budaya yang signifikan saat ini juga mendorong pergerakan kesetaraan gender di masyarakat. 

Secara morfologi, jelas laki-laki dan perempuan berbeda dan tidak dapat diubah. Tetapi, adanya perbedaan itu dapat dikonstruksikan secara sosial budaya sehingga lahir gender, yaitu tanggung jawab, pola perilaku, beragam kualitas, dan lainnya yang bersifat maskulin dan feminin. Feminitas ialah ideologi yang berciri kedamaian, keselamatan, kasih, dan kebersamaan. Sementara maskulinitas memiliki karakter persaingan, dominasi, eksploitasi, dan penindasan. 

Prinsipnya, feminitas tidak harus dimiliki oleh kaum perempuan saja, juga maskulinitas tidak dimiliki oleh kaum lelaki.

Dampak Konstruksi Maskulinitas dan Seksisme terhadap Kesehatan Mental Laki-Laki
Dalam konstruksi umum dan budaya patriarki, maskulinitas pada seorang laki-laki adalah hal utama dan dianggap sangat penting. Laki-laki dengan karakteristik maskulin disebut laki-laki maskulin. Jika karakteristik berlebihan disebut laki-laki super maskulin. Sebaliknya, jika kurang disebut laki-laki kurang maskulin atau laki-laki feminin.

Dampaknya, banyak anggota masyarakat yang melabeli secara negatif laki-laki yang kurang maskulin. Pembagian karakter feminin  dan maskulin tidak lepas dari pengaruh budaya patriarki yang berwujud pada gambaran atau strereotype dan seksisme. 

Stereotype ialah hal yang negatif dan dikemas dalam prasangka dan diskriminasi.,Sedangkan seksisme prasangka dan diskriminasi terhadap individu karena jenis kelamin. Ada anggapan bahwa perempuan tidak bisa menjadi insinyur yang kompeten, jika seseorang mengatakan laki-laki tidak bisa menjadi guru anak-anak yang kompeten, itu adalah seksisme.

Konstruksi sosial mengenai sifat maskulinitas yang sangat kaku menjadi dampak buruk terhadap mental laki-laki di banyak belahan dunia, tidak hanya Indonesia saja. 

Tampak luar laki-laki tidak memperlihatkan tekanan mental tersebut karena mereka terlihat baik-baik saja. Hanya saja bersadarkan riset World Health Organization (WHO) tahun 2019 menjelaskan sebanyak 80% laki-laki melakukan bunuh diri di Amerika atau sekitar 2.9% orang dari 100.000 orang melakukan bunuh diri disebabkan rasa ketidakmampuan laki-laki menjalani peran sosial sebagai laki-laki yang dibebankan oleh masyarakat kepada mereka. 

Sifat laki-laki yang lebih impulsif membuat dorongan emosional untuk melakukan tindakan bunuh diri lebih kuat dibandingkan pada perempuan. 

Dampak Stereotip Gender dan Toxic Masculinity
Dari penelitian Hermawan dan kawan-kawan, dalam perjalanan hidupnya laki-laki wajib mengikuti alur “kejantanan” sesuai dengan kodratnya laki-laki. Orientasi laki-laki dan perempuan dikotak-kotakkan ke dalam maskulin dan feminin menyebabkan kerugian yang terjadi oleh banyak kaum laki-laki. 

Nilai yang telah diturunkan dari generasi sebelumnya mengikat dalam maskulinitas kemudian menyebabkan laki-laki harus mengarahkan dirinya agar sesuai dengan apa yang telah digariskan. Jika lahir sebagai laki-laki harus maskulin, jika lahir sebagai perempuan maka harus feminin. Laki-laki tidak boleh cengeng, menangis, gemulai, ekspresif, merawat tubuh, menggunakan wewangian, aerobik, dan lainnya dimana banyak dari kegiatan tersebut menggambarkan sifat keperempuanan yang merupakan aturan tidak tertulis dan wajib dipatuhi.

Hal-hal tersebut lah yang menjadi stereotip dan muncul fenomena toxic masculinity pada laki-laki. Berkembangnya stereotip ini menyebabkan banyaknya ketimpangan gender dalam kehidupan sehari-hari. 

Ujungnya, masyarakat akan melihat sosok laki-laki berdasarkan tingkat maskulinitas yang ada pada dirinya sesuai dengan apa yang telah dikonstruksikan oleh masyarakat. Toxic masculinity sangat berdampak pada banyak kaum laki-laki yang tidak dapat jujur dengan diri sendiri sehingga memiliki persona yang berbeda di masing-masing situasi. Sifat-sifat manusiawi yang dialami laki-laki maupun perempuan tidak memiliki gender, semua dapat merasakannya. 

Namun, mengapa banyak orang terus membangun dan mempertahankan konstruksi sosial yang justru merugikan diri mereka sendiri, hingga menciptakan berbagai masalah yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan lebih mudah?

Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya membutuhkan kecerdasan emosional untuk menjalani kehidupan dengan seimbang. Konstruksi sosial yang kaku dan penuh stereotip, seperti pembagian peran maskulin dan feminin yang berlebihan, seringkali malah memperburuk kondisi psikologis individu. 

Hal ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan emosional, tetapi juga dapat memicu masalah serius, seperti meningkatnya angka bunuh diri akibat tekanan sosial yang tak realistis. Oleh karena itu, penting untuk mempertanyakan dan mengubah konstruksi sosial yang membatasi potensi manusia, agar kesetaraan dan kesehatan mental dapat dijaga untuk semua gender. 

 

Referensi

WHO. 2021. Suicide Worldwide in 2019: Global Health Estimates. Geneva (CH): World Health Organization.
Ramdani M.F.F, Putri A.V.I.C, Wisesa P.A.D. 2022. Realitas Toxic Masculinity di Masyarakat. Prosiding Seminar Nasional Ilmu-Ilmu Sosial (SNIIS). 01: 230-235.
Hermawan I, Hidayah N. 2023. Toxic Masculinity dan Tantangan Kaum Lelaki Dalam Masyarakat Indonesia Modern. Dimesia: Jurnal Kajian Sosiologi. 12(02): 171-182.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar