23 September 2025
16:20 WIB
Mengurai Kesenjangan Green Skills Di Indonesia
Kesenjangan green skills menjadi tantangan yang menentukan kesiapan Indonesia menghadapi transisi hijau, sekaligus peluang mendorong peningkatan tenaga kerja yang terampil dan berdaya saing.
Penulis: Mohammad Widyar Rahman
Editor: Rikando Somba
Proyek kelompok dalam mengaplikasikan green skill. Shutterstock/Dmytro Zinkevych.
Bayangkan arah ekonomi hijau Indonesia menuju 2030, tahun yang menjadi momentum bagi Indonesia untuk memenuhi target Nationally Determined Contribution (NDC) dalam menurunkan emisi sekaligus beradaptasi dengan komitmen global Paris Agreement. Namun, tantangan besar muncul jika saat itu tenaga kerja yang memadai belum tersedia, sebuah kondisi yang dikenal sebagai green skills gap.
Apa Itu Green Skills Gap?
Green skills merujuk pada keterampilan yang dibutuhkan untuk mendukung transisi menuju ekonomi berkelanjutan, seperti efisiensi energi, manajemen limbah, hingga teknologi energi terbarukan. Green skills gap muncul ketika permintaan terhadap keterampilan ini jauh lebih tinggi dibanding pasokan tenaga kerja yang tersedia.
Menurut laporan LinkedIn (2024), permintaan tenaga kerja dengan green skills tumbuh hampir dua kali lebih cepat dibanding pasokannya, sehingga diproyeksikan pada 2030 hampir satu dari lima pekerjaan terkait transisi hijau berisiko tidak terisi. Tanpa upaya serius meminimalkan kesenjangan ini, target iklim Indonesia seperti penurunan emisi 31,89% secara mandiri pada 2030 dan komitmen Net Zero Emission 2060 berpotensi akan mengalami hambatan dari sisi kesiapan sumber daya manusia.
Kondisi Green Skills Gap di Indonesia
Indonesia sendiri masih menghadapi tantangan besar dalam hal kualitas tenaga kerja. Data BPS (2025) mencatat bahwa meski angkatan kerja mencapai 153 juta orang, mayoritas masih terserap di sektor tradisional terutama pertanian, kehutanan, dan perikanan yang umumnya didominasi pekerjaan informal dengan tingkat produktivitas rendah.
Sejalan dengan temuan tersebut, laporan Labour Market Profile 2025 menegaskan bahwa sekitar 81% pekerja Indonesia masih berada di sektor informal, dengan produktivitas rendah yang menjadi hambatan serius bagi kesiapan tenaga kerja menghadapi transformasi hijau. Di sisi lain, OECD (2024) menyoroti bahwa meski upaya dekarbonisasi sedang dipercepat, keterampilan tenaga kerja untuk ekonomi hijau belum berkembang secara optimal.

Dampak Green Skills Gap
Kesenjangan green skills tidak hanya menghambat transisi energi, tetapi juga memperbesar risiko ketimpangan sosial. Tanpa kesiapan tenaga kerja, investasi di sektor energi terbarukan, infrastruktur hijau, dan digitalisasi bisa melambat, sehingga mengurangi potensi penciptaan lapangan kerja baru.
Lebih jauh, menurut OECD/Cedefop (2014) tantangan green skills terbagi dalam tiga aspek: (i) peningkatan keterampilan di sektor yang hanya mengalami sedikit penyesuaian; (ii) penyediaan keterampilan baru untuk pekerjaan dan sektor baru yang muncul dari ekonomi hijau; dan (iii) Reskilling bagi sektor yang menurun akibat dekarbonisasi. Apabila pengembangan keterampilan ini diabaikan, risiko8 terciptanya kesenjangan sosial baru akan semakin besar. Diyakini, sebagian pekerja tidak mampu beradaptasi ke sektor-sektor hijau yang tumbuh.
ILO (2025) memperingatkan bahwa meskipun tingkat pengangguran global menurun, stagnasi keterampilan produktif berpotensi menjebak jutaan pekerja dalam pekerjaan informal dan berupah rendah. Bagi Indonesia, situasi ini justru dapat memperbesar kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Sektor Prioritas yang Membutuhkan Green Skills
Empat sektor prioritas dunia yang paling membutuhkan green skills yaitu energi dan utilitas, konstruksi, manufaktur, serta teknologi. Indonesia memiliki kepentingan besar di sektor energi terkait komitmen transisi menuju energi terbarukan.
Sektor konstruksi juga kritis, karena secara global menyumbang hampir 37% emisi, termasuk kontribusi signifikan dari pembangunan gedung dan infrastruktur. Sementara itu, manufaktur Indonesia perlu beradaptasi dengan rantai pasok global yang semakin menuntut bahan baku, proses produksi, hingga produk akhir yang rendah karbon dan berkelanjutan. Tidak kalah penting, sektor teknologi digital akan berperan besar dalam efisiensi energi dan pemantauan emisi.
Strategi Mengatasi Green Skills Gap
Mengurai kesenjangan green skills membutuhkan strategi terpadu. Pertama, pendidikan dan pelatihan vokasi harus diarahkan pada kebutuhan transisi hijau, termasuk kurikulum tentang energi terbarukan, efisiensi industri, dan ekonomi sirkular.
Kedua, program upskilling dan reskilling perlu ditingkatkan melalui kolaborasi pemerintah, dunia usaha, dan lembaga pendidikan. Ketiga, kebijakan yang dapat mendorong pelatihan terkait green skills bagi karyawannya baik melalui balai latihan milik pemerintah dan swasta, maupun lembaga pelatihan yang telah tersedia di perusahaan. Terakhir, inklusivitas juga harus diperhatikan dengan melibatkan perempuan, yang saat ini masih kurang terwakili dalam green jobs.
Pada dasarnya, tantangan kesenjangan green skills sudah nyata bagi Indonesia dalam menghadapi transisi hijau. Kesiapan tenaga kerja terampil sangat dibutuhkan dalam mencapai target dekarbonisasi terutama di sektor-sektor prioritas. Melalui strategi yang terintegrasi—mulai dari kurikulum pendidikan, program pelatihan, hingga kebijakan afirmatif—green skills gap dapat diubah menjadi peluang besar untuk menciptakan lapangan kerja berkualitas, memperkuat daya saing, dan mewujudkan ekonomi hijau yang inklusif.
Daftar Referensi: