28 September 2024
14:30 WIB
Mengenal Istilah PKPU Dan Kepailitan
Sebuah perusahaan bisa saja menghadapi kepailitan karena kesulitan membayar utang pada kreditur. Untuk mengatasi ini,ada mekanisme para pihak mengajukan PKPU atau pailit ke pengadilan
Penulis: Kevin Sihotang
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi dokumen kebangkrutan. Shutterstock/smartcalendar
Dalam dunia bisnis, istilah “PKPU” atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (dalam bahasa Inggris biasa disebut suspension of debt payment) bukanlah suatu istilah yang asing. Begitu juga dengan istilah “pailit”.
Terkadang perusahaan harus menghadapi tantangan keuangan yang dapat menyebabkan mereka kesulitan dalam memenuhi kewajiban pembayaran utang. Ketika menghadapi situasi tersebut, perusahaan bisa mengajukan proses PKPU maupun kepailitan ke pengadilan.
Adapun kedua mekanisme ini memungkinkan perusahaan untuk mengelola utangnya dengan cara yang legal, namun dengan konsekuensi yang berbeda.
Keduanya juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU Pasal 222 ayat (2). Di situ dituliskan bahwa perusahaan yang tidak dapat atau memperkirakan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang.
PKPU
Dalam mekanisme PKPU, perusahaan diberikan kesempatan untuk merestrukturisasi utangnya dengan bantuan pengadilan. PKPU dapat diajukan oleh debitur atau kreditur ke pengadilan niaga. Dengan adanya restrukturisasi utang, perusahaan dapat mengatur ulang keuangannya dan menghindari likuidasi aset.
Melansir laman Kementerian Keuangan RI, setelah PKPU diajukan, pengadilan akan menunjuk seorang Pengurus dan menetapkan masa PKPU sementara selama 45 hari. Dalam periode ini, perusahaan memiliki kesempatan untuk merundingkan rencana pembayaran utang dengan para kreditur.
Jika mayoritas kreditur setuju, PKPU dapat diperpanjang menjadi PKPU tetap yang berlangsung hingga 270 hari. Dan, jika kesepakatan tercapai, rencana tersebut akan disahkan oleh pengadilan dan perusahaan dapat melanjutkan operasinya sesuai dengan rencana yang disepakati.
Dengan kata lain, PKPU memberikan perlindungan hukum terhadap debitur dari tindakan atau tuntutan hukum dari kreditur selama proses berlangsung, sehingga memungkinkan perusahaan untuk fokus pada pemulihan bisnisnya. Namun, proses PKPU ini membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit, serta kesediaan dari manajemen untuk bernegosiasi dengan kreditur.
Sebaliknya, jika rencana pembayaran utang tidak disetujui oleh mayoritas kreditur atau gagal dilaksanakan, perusahaan dapat berakhir dalam kepailitan, yang berarti likuidasi aset dan penghentian operasional. Singkatnya, perusahaan dinyatakan bangkrut.
Kepailitan
Sementara itu, kepailitan atau pailit bisa dibilang menjadi langkah terakhir bagi perusahaan. Jika PKPU tidak berhasil atau tidak diajukan, perusahaan dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan. Dalam situasi ini, perusahaan dianggap tidak mampu membayar utangnya dan aset-asetnya akan dijual untuk membayar kreditur. Proses kepailitan juga dikelola oleh kurator yang ditunjuk oleh pengadilan.
Kepailitan umumnya berakhir dengan penghentian operasional perusahaan dan penjualan aset. Bagi para kreditur, kepailitan memberikan kepastian bahwa setidaknya mereka akan mendapatkan sebagian dari piutangnya, meskipun sering kali jumlahnya jauh lebih kecil dari yang diharapkan.
Referensi:
Kementerian Keuangan. (2020). Kepailitan dan Akibat Kepailitan Terhadap Kewenangan Debitur Pailit Dalam Bidang Hukum Kekayaan. Diakses dari: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13451/Kepailitan-dan-Akibat-Kepailitan-Terhadap-Kewenangan-Debitur-Pailit-Dalam-Bidang-Hukum-Kekayaan
Kementerian Keuangan. (2022). Paham Proses Kepailitan dan PKPU, Cara Kelola dan Bela Keuangan Negara. Diakses dari: https://setjen.kemenkeu.go.id/in/post/sesjen-paham-proses-kepailitan-dan-pkpu-cara-kelola-dan-bela-keuangan-negara
PN Surabaya. (n.d.). Hak Kreditur. Diakses dari: https://pn-surabayakota.go.id/kepaniteraan-niaga/hak-kreditur/