07 Agustus 2025
14:00 WIB
Mengenal Greenwashing: Strategi Marketing Atau Penipuan Konsumen?
Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat akan isu lingkungan, banyak perusahaan berlomba menyisipkan unsur “sustainability”. Sebagian besar menilainya bentuk greenwashing atau penipuan konsumen
Penulis: Oktarina Paramitha Sandy
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi Greenwashing. Shutterstock/Beloborod.
Pernah tidak sih kamu membeli produk yang memiliki klaim “ramah lingkungan”, tapi setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata produk tersebut tetap mengandung bahan berbahaya? Bahkan proses produksinya tetap mencemari lingkungan, atau malah cuma ganti bungkus saja? Kalau pernah, besar kemungkinan kamu sudah jadi korban greenwashing!
Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat akan isu lingkungan, banyak perusahaan berlomba-lomba menyisipkan unsur “sustainability” artau keberlanjutan dalam strategi pemasaran mereka. Ya, maklum saja, predikat keberlanjutan kan tengah digandrungi menjadi klaim lebih jauh dari sekadar "ramah lingkungan".
Mulai dari label “alami”, “organik”, hingga “carbon neutral” disematkan banyak jenama atau brand untuk menarik konsumen yang peduli akan keberlanjutan. Tapi sayangnya, tidak semua klaim itu bisa dipertanggungjawabkan. Banyak di antaranya hanya sekadar strategi promosi yang dibuat sedemikian rupa agar terlihat peduli lingkungan, padahal kenyataannya tidak.
Nah, praktik inilah yang disebut dengan greenwashing, sebuah bentuk manipulasi dalam pemasaran yang mengklaim bahwa suatu produk atau layanan ramah lingkungan tanpa adanya bukti yang jelas dan terverifikasi. Praktik ini sebenarnya sudah lama disorot para peneliti dan penggiat lingkungan.
Menurut studi terkini dari Freitas Netto et al. (2020) dalam jurnal Environmental Sciences Europe, greenwashing muncul akibat ketidakseimbangan antara tekanan eksternal, dari konsumen dan pemerintah, dan komitmen internal perusahaan terhadap praktik keberlanjutan. Dalam studi tersebut dijelaskan bahwa greenwashing bisa sangat merusak karena ia menyamarkan perbedaan antara perusahaan yang benar-benar peduli lingkungan dan yang hanya pura-pura.
Oleh karena itu, sangat penting bagi konsumen, untuk lebih jeli dan kritis sebelum memutuskan membeli suatu produk. Nah, jika kamu masih bingung, artikel ini akan membantu kamu mengenal lebih dalam tentang apa itu greenwashing, seperti apa ciri-cirinya, dampak jangka panjangnya, serta langkah-langkah cerdas supaya Sobat Valid tidak mudah terjebak dengan iming-iming “greenwashing.”
Apa Itu Greenwashing?
Sederhananya, Greenwashing adalah cara perusahaan tampil seolah-olah peduli lingkungan, padahal hanya sekadar strategi promosi tanpa tindakan nyata. Biasanya, mereka memberikan klaim keberlanjutan seperti “ramah lingkungan”, namun tidak dibuktikan lewat proses produksi, bahan baku, atau dampak operasional secara menyeluruh. Alih-alih benar-benar berubah menjadi lebih hijau, perusahaan ini hanya menampilkan citra peduli dengan lingkungan hanya agar prodyk mereka tetap laku di pasaran.
Istilah greenwashing pertama kali digunakan oleh Jay Westerveld, seorang aktivis lingkungan, pada tahun 1986. Ia mengkritik industri perhotelan yang menyarankan tamu untuk menggunakan ulang handuk demi menghemat air demi keberlanjutan lingkungan. Tapi setelah ditelusuri, tujuan sebenarnya adalah untuk memangkas biaya laundry, bukan menjaga planet. Praktik ini lah menjadi cikal bakal dari istilah “greenwashing” yang hari ini makin marak di berbagai sektor industri.
Greenwashing adalah lebih dari sekadar label palsu pada sebuah produk. Dikutip dari jurnal Sustainability terbitan MDPI (2023), praktik ini mencerminkan fenomena strategi pemasaran tanpa aksi nyata dari perusahaan yang ingin terlihat “hijau”. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa menemui banyak bentuk greenwashing. Misalnya, produk dengan label “100% alami” yang ternyata masih mengandung zat adiktif atau bahan kimia berbahaya. Termasuk, iklan dari perusahaan energi fosil yang mempromosikan investasi kecil mereka di energi terbarukan, padahal 90% bisnis mereka masih berbasis batu bara dan minyak bumi.
Bahkan, strategi seperti ini banyak digunakan oleh perusahaan besar yang ingin mempertahankan loyalitas pelanggan tanpa harus berinvestasi besar dalam perubahan struktural. Di antara contohnya adalah penggunaan warna hijau, daun-daunan, atau gambar alam dalam kemasan juga termasuk taktik greenwashing jika tidak dibarengi tindakan yang nyata.
Dikutip dari studi ScienceDirect pada tahun 2024, praktik ini, tentu saja sangat merugikan sebagai konsumen. Banyak orang berpikir bahwa mereka sedang membuat keputusan yang baik untuk bumi, padahal yang mereka dukung adalah perusahaan yang memanipulasi informasi. Selain merusak kepercayaan, praktik ini juga memperlambat gerakan keberlanjutan yang sesungguhnya.
Mengapa Greenwashing Menjadi Masalah?
Di tengah tren hidup berkelanjutan, banyak dari konsumen yang semakin sadar pentingnya memilih produk yang ramah lingkungan. Tapi ketika perusahaan hanya berpura-pura menjual produk ramah lingkungan tanpa benar-benar melakukan perubahan, yang terjadi adalah kebohongan yang merugikan semua pihak. Khususnya konsumen yang berniat baik untuk terus menjaga keberlanjutan lingkungan.
Salah satu dampak paling nyata dari greenwashing adalah konsumen jadi salah ambil keputusan.
Ketika memilih produk tertentu, mereka berpikir sudah membeli produk yang bagus untuk lingkungan. Tapi ternyata cuma tergiur janji kosong dari iklan atau label yang menyesatkan. Ini bukan cuma soal salah pilih barang, tapi juga soal kepercayaan yang dirusak oleh produsen.
Dikutip dari jurnal Sustainability oleh Wuryaningsih et al. (2023), konsumen yang menyadari telah menjadi korban greenwashing akan kehilangan kepercayaan, tidak hanya terhadap satu merek, tapi terhadap semua produk yang mengklaim diri sebagai produk eco-friendly.
Selain itu, produk-produk yang terindikasi greenwashing tetap menyumbang polusi, limbah, dan kerusakan lingkungan lainnya. Bedanya, mereka dibungkus dengan narasi positif yang bikin konsumen merasa sudah berbuat baik untuk lingkungan. Ini bisa lebih berbahaya, karena membuat masyarakat merasa menjaga lingkungan, karena beranggapan telah memilih produk ramah lingkungan, padahal yang terjadi adalah sebaliknya.
Nemes dkk. dalam jurnal Ecology and Society (2025) menjelaskan bahwa greenwashing menciptakan ilusi bahwa perubahan sedang terjadi, padahal praktik bisnis di baliknya tetap merusak lingkungan. Ini memperlambat upaya kolektif yang sebenarnya dibutuhkan untuk mengatasi kerusakan lingkungan. Bahkan, lebih parah lagi, greenwashing juga bisa mengganggu kondisi psikologis konsumen. Di tengah gempuran label “eco”, “net zero”, “sustainbility”, dan istilah sejenis, konsumen jadi dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit dipahami.
Alih-alih merasa diberdayakan, banyak konsumen yang justru merasa bingung, frustrasi, bahkan kewalahan. Kondisi ini sering disebut sebagai green confusion, yaitu situasi ketika seseorang merasa tidak bisa membedakan mana produk yang benar-benar ramah lingkungan dan mana yang cuma pencitraan. Jika hal ini terus terjadi, kebingungan itu bisa berkembang menjadi sesuatu yang lebih serius, yakni eco-anxiety.
Eco-anxiety adalah rasa cemas, stres, atau bahkan bersalah karena merasa tidak cukup berkontribusi pada penyelamatan bumi, meskipun sudah berusaha. Ini bisa muncul ketika seseorang menyadari bahwa produk atau brand yang mereka dukung ternyata tidak sebaik yang diklaim. Menurut penelitian terbaru yang diterbitkan dalam Journal of Environmental Psychology (2024), banyak konsumen sebenarnya ingin berkontribusi dalam gaya hidup berkelanjutan, tapi mereka punya kemampuan yang berbeda-beda dalam mengenali greenwashing.
Ketika seseorang berulang kali menemukan bahwa pilihan mereka ternyata keliru, hal itu menurunkan motivasi untuk mencoba lagi di masa depan.

Cara Menghindari Produk Greenwashing
Banyak konsumen saat ini merasa telah berkontribusi pada pelestarian lingkungan dengan memilih produk berlabel “ramah lingkungan”. Sayangnya, tidak sedikit dari klaim tersebut yang pada akhirnya terbukti tidak sejalan dengan kenyataan. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat, khususnya konsumen yang peduli isu lingkungan, untuk membekali diri dengan pengetahuan dasar mengenai cara mengenali apa itu greenwashing. Dengan bersikap lebih kritis dan berhati-hati dalam memilih produk atau layanan, konsumen dapat berkontribusi dalam praktik bisnis yang lebih etis dan bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Dikutip dari studi di Frontiers in Sustainability (2023), berikut ini adalah sejumlah langkah sederhana yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar tidak mudah terjebak dalam klaim “hijau” yang menyesatkan:
1. Periksa Sertifikasi Resmi, Jangan Hanya Percaya Kemasan Produk
Greenwashing sering muncul lewat kemasan hijau, gambar daun, atau kata-kata seperti “alami” dan “eco-friendly” yang belum tentu mencerminkan isi sebenarnya. Agar tidak tertipu, konsumen perlu memeriksa sertifikasi resmi dari lembaga independen. Contohnya, USDA Organic untuk produk organik, Fair Trade untuk perdagangan berkeadilan, FSC untuk produk berbahan kayu dari hutan lestari, dan ISO 14001 untuk sistem manajemen lingkungan.
Sertifikasi ini menjadi bukti bahwa produk telah melalui proses audit dan memenuhi standar keberlanjutan yang diakui secara internasional.
2. Pelajari Laporan Keberlanjutan Perusahaan
Perusahaan yang benar-benar serius menjalankan praktik keberlanjutan biasanya menyusun dan mempublikasikan laporan keberlanjutan secara berkala. Dokumen ini bukan hanya berisi janji atau komitmen, tetapi juga menyajikan data konkret seperti konsumsi energi, penggunaan air, emisi gas rumah kaca, pengelolaan limbah, serta asal-usul bahan baku. Laporan tersebut juga mencakup target lingkungan dan capaian yang telah diraih dalam jangka waktu tertentu.
Jika suatu perusahaan hanya menyampaikan klaim tanpa transparansi atau data terukur, hal itu bisa menjadi pertanda bahwa komitmen keberlanjutannya masih patut dipertanyakan.
3. Gunakan Sumber Informasi yang Kredibel dan Independen
Menilai klaim lingkungan tidak perlu dilakukan secara mandiri. Saat ini banyak tersedia sumber informasi kredibel yang bisa dijadikan acuan. Misalnya, aplikasi Good On You menilai keberlanjutan merek fashion berdasarkan etika kerja dan dampak lingkungannya. Sementara itu, organisasi seperti EcoWatch dan Greenpeace secara rutin merilis laporan investigatif dan penilaian atas praktik lingkungan perusahaan dari berbagai sektor.
Dengan mengandalkan sumber-sumber informasi itu, konsumen dapat mengambil keputusan yang lebih cermat dan berbasis data, bukan sekadar tergoda narasi promosi.
4. Waspadai Klaim yang Terlalu Berlebihan
Klaim seperti “100% ramah lingkungan”, “zero carbon”, atau “tanpa dampak terhadap alam” terdengar mengesankan, tetapi patut dicermati lebih lanjut. Secara ilmiah, hampir tidak ada proses produksi yang benar-benar bebas dari dampak terhadap lingkungan. Semua produk memiliki jejak ekologis, meskipun dalam skala kecil.
Jika sebuah produk atau perusahaan menyampaikan klaim semacam itu tanpa menyertakan penjelasan, data pendukung, atau tautan ke audit pihak ketiga, maka besar kemungkinan hal tersebut merupakan strategi pemasaran yang menyesatkan.
5. Terapkan Pola Konsumsi yang Bertanggung Jawab
Langkah paling efektif dalam mendukung keberlanjutan bukan hanya memilih produk dengan label hijau, tetapi juga mengurangi konsumsi secara keseluruhan. Mengadopsi prinsip “buy less, choose well” menjadi salah satu strategi penting dalam menurunkan beban ekologis dari gaya hidup sehari-hari.
Sebelum membeli suatu barang, konsumen sebaiknya bertanya kepada diri sendiri: Apakah produk ini benar-benar dibutuhkan? Ataukah hanya karena tergoda promosi dan kemasan menarik? Sikap konsumtif yang tidak terkendali, bahkan terhadap produk yang diklaim “ramah lingkungan”, tetap memberikan dampak negatif terhadap alam.
Greenwashing Vs Sustainability
Bisa disimpulkan, greenwashing bukan hanya soal citra yang menyesatkan, tapi juga bisa menghambat langkah nyata menuju lingkungan yang lebih sehat. Di balik label hijau dan iklan yang sangat meyakinkan, sering kali tersembunyi praktik bisnis yang tak sesuai dengan klaimnya. Tapi kabar baiknya, kamu punya kendali. Dengan memahami cara kerja greenwashing dan tetap waspada, kamu bisa membuat pilihan yang lebih tepat dan berdampak positif.
Setiap keputusan belanja yang kamu buat sejatinya adalah bentuk suara, yang bisa mendukung perubahan atau justru mempertahankan praktik yang salah. Di sinilah peran konsumen dan pelaku bisnis saling berkaitan. Semakin banyak konsumen yang kritis dan peduli, semakin besar tekanan pada perusahaan untuk menunjukkan komitmen keberlanjutan yang nyata, bukan sekadar kemasan yang menjual.
Maka dari itu, kita bisa mulai dari hal sederhana. Baca dulu sebelum membeli. Telusuri asal usul produk, cek apakah mereknya terbuka soal proses produksinya, dan jangan ragu untuk bertanya. Kalau kamu menemukan brand yang jujur dan punya bukti nyata soal praktik ramah lingkungan mereka, dukung sepenuhnya.
Sebaliknya, jangan biarkan trik marketing tanpa dasar terus bertahan hanya karena kita diam. Jadi, sobat Valid, jangan pernah anggap enteng kekuatan pilihanmu. Setiap keputusan kecil, kalau dilakukan bersama-sama, bisa mengubah arah pasar. Semakin kita sadar dan cermat, semakin besar peluang untuk membangun masa depan yang lebih hijau dan bertanggung jawab!
*Penulis merupakan kontributor di Validnews.id
Referensi: