c

Selamat

Rabu, 19 November 2025

CATATAN VALID

13 September 2024

14:00 WIB

Mengenal Garuda Dan Problematika Penggunaannya

Bukan burung di dunia nyata, Garuda merupakan makhluk mitologi yang berasal dari kepercayaan Hindu yang terkenal perkasa. Namun, apakah sifat tersebut masih relevan kini?

Penulis: Novelia

Editor: Rikando Somba

<p>Mengenal Garuda Dan Problematika Penggunaannya</p>
<p>Mengenal Garuda Dan Problematika Penggunaannya</p>

Perancang Taman Kusuma Bangsa dan Istana Garuda IKN Nyoman Nuarta berpose usai persmian Taman Kusuma Bangsa di Ibu Kota Nusantara (IKN), Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Senin (12/8/2024). ANTARA FOTO/Fauzan

Siapa tak tahu garuda?

Sebagai salah satu simbol negara, binatang mitologi ini sudah tak asing di telinga masyarakat Indonesia. Selain kerap jadi sapaan tim nasional ketika sedang bersaing di kompetisi olahraga antarnegara, garuda juga dijadikan simbol negara yang selalu dipajang di berbagai ruangan di gedung instansi pemerintahan. 

Terakhir, burung ini juga menjadi inspirasi dalam pembangunan Istana Garuda di Ibu Kota Nusantara.

Penolakan Garuda Wisnu Kencana  
Meski sudah sangat melekat sebagai identitas negara, penggunaan garuda dalam berbagai kesempatan ternyata beberapa kali menuai kontroversi. Salah satunya terjadi menjelang pembangunan Patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Uluwatu, Bali sejak lebih dari tiga dekade lalu.

Ide pembangunan GWK pertama kali disampaikan pada 1989 oleh pematung Nyoman Nuarta kepada Presiden Soeharto yang kala itu menjabat. Gagasan tersebut kemudian disetujui setahun setelahnya, namun menimbulkan sejumlah pro-kontra. Tentangan paling besar datang dari pihak penganut Agama Hindu di Bali. Salah satunya, Forum Cendekiawan Hindu Indonesia.

Kok ditolak? Bukannya keberadaan patung ini dapat meningkatkan citra Bali? Bukankah dengan begitu, Agama Hindu sebagai mayoritas kepercayaan yang dipeluk di sana, akan lebih mudah dikenalkan ke dunia luar?

Memang benar keberadaan proyek wisata seperti Monumen GWK lainnya, apa pun itu, dapat menjadi gerbang untuk ‘memasarkan’ Bali dan Hindu. Terlebih, potensi ekonomi yang ada dapat juga akan dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar. Masalahnya, kekukuhan mendirikan patung ini dianggap terlalu jauh dari kesakralan ajaran Hindu.

Perlu diketahui, garuda merupakan salah satu makhluk mitologi dalam purana atau himpunan kisah keagamaan Hindu, yang perkasa dan memiliki sifat melindungi makhluk lainnya. Nah, garuda yang digambarkan dalam Garuda Wisnu Kencana berarti garuda yang menjadi stana (tunggangan) Dewa Wisnu saat akan menyelamatkan Dewi Sita dari Rahwana. 

Lalu, apa masalahnya? Ini terdengar menginspirasi bukan? 

Ternyata masalahnya ada pada rencana lokasi Monumen Garuda Wisnu itu dibangun, Sobat Valid. Patung tersebut didirikan di wilayah Selatan Bali. Ini jelas menyalahi prinsip dewata nawa sanga atau tata letak dewa dalam Hindu. Prinsip ini mengatur tentang sembilan dewa penguasa di setiap penjuru mata angin di Bali, yakni Dewa Wisnu, Dewa Shambu, Dewa Iswara, Dewa Maheswara, Dewa Brahma, Dewa Rudra, Dewa Mahadewa, Dewa Sangkara, dan Dewa Siwa.

Dalam dewata nawa sanga, diatur bahwa wilayah Selatan yang menjadi tempat didirikannya GWK merupakan lokasi stana atau singgasana dari Dewa Brahma. Ia disimbolkan dengan warna merah dan memiliki tunggangan angsa dab sebjata gada. Dewa Brahma memiliki stana di Pura Andakasa di Kabupaten Karangasem yang biasa menjadi tempat penganut Hindu memujanya.

Sementara itu, Wisnu yang merupakan dewa pemelihara bumi  justru memiliki stana di arah sebaliknya, yakni di sisi utara Bali. Dengan Garuda sebagai tunggangannya, Dewa Wisnu dipuja di Pura Batur yang berlokasi di tepi kawah Gunung Batur di Kabupaten Bangli. Maka dari itu, peletakan Garuda Wisnu Kencana di Bali Selatan dinilai tidak sakral.

Keistimewaan Garuda dan Simbol Negara
Pro-kontra berlangsung cukup alot sejak 1994 terkait pembangunan Garuda Wisnu Kencana. Dengan pertimbangan nama GWK telah terlanjur lekat di telinga masyarakat, para pemeluk Hindu mengajukan perubahan nama. 

Beberapa nama pengganti, seperti Garuda Wisata Kedamaian atau Garuda Wahana Kepariwisataan, diajukan. Mengingat, nama Garuda masih dinilai layak pakai. Meski begitu, pihak penggagas tetap bergeming mempertahankan nama Garuda Wisnu Kencana.

Rencana pembangunan GWK pun tetap digulirkan. Peletakan batu pertama dilakukan menjelang tahun terakhir pemerintahan Soeharto, yakni 8 Juni 1997. Meski demikian, beberapa presiden setelah Soeharto terkesan mengabaikan pembangunan ini karena kesulitan pendanaan, toh akhirnya pembangunan dilanjutkan pada 2013. 

Nyoman Nuarta sukses ‘menjual’ proyek ini kepada para konglomerat Jakarta. Akhirnya, pada 22 September 2018, Presiden Joko Widodo meresmikan monumen ini.  

Selain pada GWK, Garuda sebenarnya telah lama menjadi salah satu elemen penting dalam identitas Indonesia. Sebagaimana Garuda Pancasila diresmikan sebagai lambang negara dalam sidang kabinet 11 Februari 1960. 

Meski melibatkan sejumlah peneliti dalam penyusunan dan filosofinya, adalah tak mengherankan jika Garuda dipilih sebagai simbol, mengingat Presiden Sukarno sendiri punya darah Bali yang cukup kuat. BIsa diyakini, Sukarno mengerti keistimewaan Garuda.

Dalam kitab-kitab purana sendiri, ada beberapa kisah garuda selain makhluk yang ditunggangi Dewa Wisnu. Misalnya, ada Garuda Wilmana yang bermoncong tajam dan bertugas sebagai tunggangan dan membela para raksasa dalam menjalankan aksi jahat. Ada pula Sempati dan Jatayu yang dalam kisah Ramayana berani mempertaruhkan nyawanya ketika berusaha menyelamatkan Dewi Sita dari Rahwana.

Beragamnya keberpihakan garuda dalam kisah-kisah Hindu, mungkin terkesan membingungkan. Tapi, ada satu hal yang selalu sama. Bahwa baik ataupun buruk sisi yang dibelanya, garuda tetap punya karakter perkasa dan selalu melindungi ‘tuan’-nya. Sifat dasar ini pula lah yang kembali diperkarakan ketika Nyoman Nuarta sekali lagi menyeret nama garuda dalam pembangunan istana kepresidenan di Ibu Kota Nusantara.

Dengan nama Istana Garuda, bangunan megah tersebut dirancang tanpa diskusi yang cukup terbuka dengan masyarakat. Tidak seperti Garuda Pancasila yang diperhitungkan hingga jumlah bilah ekor hingga semboyannya, tidak ada penjelasan yang cukup lengkap terkait ukuran, maupun bilah sayap pada arsitektur istana di IKN tersebut. Hal yang justru dijelaskan justru terkait kepala garuda yang menunduk, yang dijelaskan sebagai simbol mengayomi Nusantara.

Akhirnya pembangunan monumen garuda sekali lagi jadi pro-kontra. Makna garuda yang dikenal sebagai makhluk mitologi perkasa yang siap melawan musuh, menurut beberapa pihak,  terasa hilang sehabis dirancang dengan desain merunduk dengan sayap tak mengepak, seolah mudah mengalah. Meskipun dibalut alibi meng-opheni, rasanya secara serta-merta meredefinisi sifat karakter yang telah lama jadi simbol negara, tidak terasa benar.

Tapi apa mau dikata. Pembangunan sudah berjalan. Istana tersebut bahkan sudah sempat menjalankan tugasnya sebagai lokasi upacara peringatan kemerdekaan Indonesia. Sepertinya kontroversi ini juga tak lagi berlanjut.


Referensi:

Pemerintah Provinsi Bali. (n.d.). Sistem Informasi dan Tata Ruang Bali. Retrieved from Konsepsi Dewata Nawa Sanga: https://tarubali.baliprov.go.id/konsepsi-dewata-nawa-sanga/
Sunarini, N. M. (2023). Deskripsi Karya Seni Monumental: Sangku Dewata Nawa Sanga. Denpasar: Institut Seni Indonesia Denpasar.

 



KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar