15 Agustus 2025
14:00 WIB
Mengenal Gamophobia: Ketakutan Berkomitmen Dan Menikah di Kalangan Generasi Muda
Untuk sebagian orang, topik pernikahan tak lagi dinanti-nanti, tapi justru jadi hal yang paling dihindari. Ada yang merasa gelisah saat membicarakannya. Ketakutan ini dikenal dengan Gamophobia.
Penulis: Oktarina Paramitha Sandy
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi seorang mempelai pria yang sedang melingkarkan cincin ketangan mempelai wanita di resepsi pernikahan. Shutterstock/Pramata.
Sobat Valid, tahu nggak sih kalau sekarang banyak anak muda di Indonesia yang mengalami gamophobia, ketakutan berlebihan terhadap komitmen, khususnya pernikahan?
Ya, untuk sebagian orang, topik pernikahan bukan lagi sesuatu yang dinanti-nanti, tapi justru jadi hal yang paling dihindari. Ada yang merasa gelisah saat membicarakannya, ada pula yang langsung menutup diri setiap kali diajak memikirkan masa depan bersama pasangan.
Fenomena ini bukan sekadar tren modern atau pilihan gaya hidup, melainkan kondisi psikologis yang nyata dan mulai menjadi momok menakutkan bagi generasi muda di banyak negara.
Di Indonesia, hal ini terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pernikahan di Indonesia terus mengalami penurunan. Pada 2023, tercatat sekitar 1,58 juta pernikahan, sedangkan pada 2024 jumlahnya turun menjadi sekitar 1,48 juta. Ini artinya, ada penurunan lebih dari enam persen hanya dalam setahun.
Data dari Statistik Pemuda Indonesia 2024 juga menunjukkan bahwa hampir tujuh dari sepuluh pemuda berusia 16–30 tahun belum menikah. Angka ini menandakan perubahan besar dalam cara generasi muda memandang pernikahan dan komitmen jangka panjang.
Temuan dari berbagai penelitian yang dilakukan terkait dengan gamophobia ini, semakin memperkuat fenomena ini. Sebuah studi berjudul The Phenomenon of Gamophobia in a Permissive Society, mengungkap bahwa ketakutan menikah di kalangan generasi muda tidak muncul begitu saja, melainkan terbentuk dari kombinasi faktor yang saling memengaruhi. Mulai dari mahalnya biaya hidup hingga ketidakpastian pekerjaan, tekanan adat dan budaya, seperti kewajiban menikah di usia tertentu, hingga paparan media sosial yang dipenuhi kisah kegagalan rumah tangga juga menambah rasa ragu.
Sementara itu, pengalaman pribadi, seperti menyaksikan atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga, meninggalkan trauma yang membuat sebagian orang takut membangun komitmen.
Masalahnya, tren ini muncul di saat Indonesia sedang berada di puncak bonus demografi,. Alih-alih menjadi momentum pertumbuhan ekonomi, tingginya gamophobia justru berpotensi menghambat perkembangan.
Jika semakin banyak anak muda menunda atau menghindari pernikahan, angka kelahiran bisa menurun, pertumbuhan penduduk melambat, dan struktur demografi Indonesia bisa mengalami pergeseran, seperti yang terjadi di Jepang atau Korea Selatan. Karena itu, memahami gamophobia menjadi penting, bukan hanya untuk kesehatan mental individu, tapi juga untuk masa depan sosial dan ekonomi negara.
Namun, apa sih sebenarnya Gamophobia itu? Dan kenapa banyak generasi muda indonesia yang mengalami fenomena tersebut?
Apa Itu Gamophobia?
Gamophobia adalah salah satu jenis fobia spesifik yang ditandai dengan ketakutan berlebihan dan tidak rasional terhadap pernikahan atau komitmen jangka panjang.
Berbeda dengan rasa ragu atau “butuh waktu” yang wajar sebelum menikah, gamophobia dapat mengganggu kehidupan seseorang secara nyata, baik dalam menjalin hubungan, membangun rencana masa depan, maupun mempertahankan ikatan emosional yang stabil.
Dikutip dari Frontiers in Psychology (2024), gamophobia bukan sekadar kekhawatiran biasa, tetapi masuk kategori gangguan psikologis yang memicu respons ketakutan ekstrem, hingga membuat penderitanya merasa terjebak atau lumpuh saat dihadapkan pada kemungkinan berkomitmen secara permanen.
Ketakutan ini sering muncul dalam bentuk kombinasi gejala emosional dan fisik. Bagi sebagian orang, hanya mendengar obrolan santai soal rencana pernikahan saja sudah cukup membuat dada terasa sesak dan membuat keringat mulai membasahi telapak tangan, dan pikiran langsung kacau.
Ada pula yang seketika merasa ingin pergi atau mengalihkan topik pembicaraan setiap kali pasangan menanyakan kemungkinan hubungan ke tahapan yang lebih serius. Semua ini terjadi bukan karena sedang sakit fisik, melainkan akibat lonjakan kecemasan yang sulit dikendalikan.
Dikutip dari Verywell Mind, rasa takut ini bisa menetap dalam waktu yang cukup lama, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dengan demikian, jika tidak ditangani dengan tepat, akan menimbulkan hal yang cukup serius bagi pengidap.
Dampaknya tidak hanya membuat penderitanya menghindari pernikahan, tetapi juga mempengaruhi kemampuan mereka untuk merasakan kedekatan emosional yang sehat. Dalam banyak kasus, beban ini membuat hubungan yang seharusnya bisa berkembang menjadi terhambat atau berakhir sebelum waktunya.
Perlu diingat, gamophobia berbeda dengan philophobia. Meski keduanya sama-sama berhubungan dengan ketakutan dalam ranah hubungan.
Philophobia adalah ketakutan jatuh cinta, biasanya dipicu oleh rasa takut disakiti atau dikhianati. Sementara itu, gamophobia tidak menolak ide cinta itu sendiri, tetapi justru merasa terancam ketika hubungan mulai melangkah ke tahap komitmen serius seperti pernikahan atau hidup bersama.
Jika dibiarkan, ketakutan ini bukan hanya menghambat kehidupan asmara, tetapi juga dapat berdampak pada kesejahteraan mental dan kualitas hidup secara keseluruhan.
Sepasang pengantin menandatangani buku nikahnya saat Isbat Nikah Massal di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (19/9/2023). ANTARA FOTO/Didik Suhartono.
Kenapa Banyak Generasi Muda Takut Berkomitmen dan Menikah?
Fenomena ketakutan terhadap komitmen dan pernikahan di kalangan generasi muda bukan lagi hal yang jarang dibicarakan. Banyak anak muda masa kini yang memilih menunda, atau bahkan menghindari sama sekali, langkah menuju pelaminan. Alasannya tidaklah sederhana, mulai dari pengaruh sosial, pengalaman pribadi, tuntutan hidup modern, hingga kondisi ekonomi yang kian menantang.
Gamophobia pada akhirnya bukan sekadar masalah “tak mau menikah”, melainkan hasil dari perubahan besar dalam cara pandang terhadap hubungan, masa depan, dan prioritas hidup.
Berikut ini beberapa alasan kenapa semakin banyak anak muda yang tidak ingin menaikah:
Faktor Sosial dan Budaya
Perubahan lanskap sosial di Indonesia telah membentuk realitas baru tentang pernikahan di mata generasi muda. Media sosial berperan besar dalam hal ini—konten yang menyoroti perceraian selebriti, perselingkuhan, atau pertengkaran rumah tangga kerap menjadi viral dan memengaruhi cara anak muda memandang kehidupan berkeluarga. Narasi-narasi ini secara perlahan membentuk kesan bahwa pernikahan adalah sumber masalah, bukan kebahagiaan.
Dikutip dari An-Nisa Journal of Gender Studies (2024), gamophobia di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konstruksi sosial yang mengakar dalam peran gender dan ekspektasi masyarakat. Tuntutan agar laki-laki menjadi pencari nafkah utama dan perempuan mengutamakan peran domestik masih terasa kuat, sehingga bagi sebagian anak muda, pernikahan terasa seperti memasuki “kontrak sosial” yang membatasi kebebasan pribadi.
Trauma Pribadi dan Pengalaman Keluarga
Pengalaman masa kecil dapat meninggalkan jejak yang dalam terhadap cara seseorang memandang hubungan. Anak-anak yang tumbuh di tengah rumah tangga penuh konflik, atau menyaksikan perceraian orang tua, cenderung memiliki rasa takut terhadap komitmen. Trauma ini membuat mereka khawatir akan mengulangi siklus yang sama di masa depan.
Penelitian dalam Journal of Family Psychology (2020) menunjukkan bahwa paparan konflik keluarga di masa kecil berhubungan erat dengan kecenderungan menghindari hubungan romantis jangka panjang di usia dewasa. Bahkan, pengabaian emosional dari orang tua yang kadang tidak disadari, dapat memicu rasa tidak aman yang menjadi dasar gamophobia.
Fokus pada Karier dan Independensi
Berbeda dari generasi sebelumnya, banyak milenial dan Gen Z memprioritaskan pertumbuhan karier, kestabilan finansial, dan kebebasan hidup. Pernikahan kerap dilihat sebagai komitmen yang berpotensi menghambat pencapaian tersebut. Beberapa bahkan merasa bahwa hidup single memberikan ruang lebih luas untuk mengeksplorasi peluang, membangun bisnis, atau bepergian tanpa beban.
Dikutip dari Asian Journal of Social Psychology (2022), tren ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di berbagai negara Asia yang tengah mengalami pergeseran nilai dari kolektivisme menuju individualisme.
Tantangan Ekonomi
Kondisi ekonomi yang tidak pasti membuat keputusan menikah menjadi semakin berat. Harga properti yang melonjak, biaya hidup yang terus naik, dan ketidakpastian pekerjaan pasca pandemi covid-19 menjadi faktor penunda utama. Bahkan, pesta pernikahan yang secara budaya masih dianggap penting di Indonesia, menghabiskan biaya besar sehingga membuat banyak pasangan berpikir ulang.
Menurut data Badan Pusat Statistik (2023), lebih dari 60% responden usia 20–35 tahun menyebut faktor finansial sebagai alasan utama menunda pernikahan. Beban untuk membiayai kehidupan berkeluarga jangka panjang dianggap sebagai risiko besar yang tidak semua orang siap tanggung.
Lalu, apa kaitan Gamophobia dengan pertumbuhan penduduk di Indonesia?
Sobat Valid pasti tahu, kalau saat ini Indonesia berada di puncak periode yang disebut dengan bonus demografi. Sebuah fase di mana jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dari penduduk non produktif. Namun,d i tengah potensi besar ini, muncul tren yang diam-diam bisa menggerogotinya: semakin banyak anak muda yang memilih menunda atau bahkan menghindari pernikahan karena gamophobia.
Padahal, ernikahan berperan langsung terhadap angka kelahiran. Semakin banyak orang yang menghindar dari komitmen, semakin kecil peluang mereka untuk memiliki anak. Dikutip dari The Diplomat (2024), tren penundaan menikah yang berpadu dengan semakin populernya pilihan hidup childfree berpotensi membuat Total Fertility Rate (TFR) Indonesia merosot tajam. Jika angka ini turun di bawah 2,1, maka Indonesia akan menghadapi risiko serius dalam jangka panjang.
Apa dampaknya buat Indonesia?
Efek ini tidak berhenti sampai di situ saja. Penurunan TFR ini merupakan awal dari efek domino yang bisa mengguncang struktur sosial dan ekonomi.
Pertama, populasi akan menua lebih cepat dari yang kita bayangkan. Journal of Population and Social Studies (2023) mencatat bahwa negara-negara dengan angka kelahiran rendah mengalami lonjakan populasi lansia dalam waktu singkat. Hasilnya, jumlah orang yang bekerja semakin sedikit, sementara jumlah orang yang pensiun dan membutuhkan layanan kesehatan semakin banyak.
Kedua, beban sistem pensiun dan kesehatan akan membengkak. Bayangkan, satu orang usia produktif harus menopang biaya hidup lebih banyak lansia. Di Jepang, situasi ini sudah membuat generasi muda terbebani pajak tinggi, sedangkan produktivitas ekonomi melambat. Jika pola yang sama terjadi di Indonesia sebelum kita sempat memaksimalkan keuntungan bonus demografi, kita bisa terjebak dalam fenomena early aging trap, atau penuaan populasi yang datang terlalu cepat.
Ketiga, perlambatan pertumbuhan ekonomi menjadi ancaman nyata. Ketika tenaga kerja menyusut dan konsumsi rumah tangga melemah, roda ekonomi berjalan lebih lambat. Tidak hanya pemerintah yang pusing, tapi juga dunia usaha yang kehilangan pasar dan tenaga kerja terampil.
Singkatnya, gamophobia bukan cuma soal rasa takut menikah yang dialami individu. Ia adalah bagian dari puzzle besar yang memengaruhi arah pertumbuhan penduduk, kekuatan ekonomi, dan daya saing Indonesia di masa depan. Kalau tren ini terus dibiarkan, kita berisiko kehilangan momentum emas dan justru masuk ke era yang penuh tantangan, di mana jumlah lansia melonjak sementara tenaga kerja dan produktivitas merosot.
Sejumlah negara maju di dunia sudah merasakan pahitnya efek dari fenomena gamophobia. Jepang, misalnya, kini menghadapi krisis demografis dengan sekitar 28% penduduknya berusia di atas 65 tahun, sementara tingkat kelahirannya hanya 1,3 anak per wanita. Dikutip dari The Japan Times, banyak peneliti mengaitkan kondisi ini dengan kombinasi faktor ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk meningkatnya ketakutan akan komitmen di kalangan anak muda
Sementara itu, Korea Selatan bahkan lebih ekstrem. Dengan tingkat fertilitas 0,78 anak per wanita pada 2022, menjadi yang terendah di dunia. Dikutip dari The Korea Herald (2022), negara ini menghadapi ancaman penyusutan populasi yang serius. Fenomena marriage strike atau “mogok menikah”, yang menjadi salah satu pemicu utamanya, dan kini membuat struktur populasi Korea semakin tidak seimbang
Jika gamophobia terus meluas tanpa penanganan yang tepat, Indonesia berisiko mengikuti jejak yang sama. Dalam 20–30 tahun ke depan, kita bisa menghadapi stagnasi populasi, di mana jumlah kelahiran tidak cukup untuk menggantikan populasi yang menua. Krisis tenaga kerja pun akan sulit dihindari, dan daya saing ekonomi bisa terganggu karena berkurangnya generasi produktif.
Bisa dikatakan, gamophobia bukan hanya persoalan psikologis yang dialami individu tertentu, tetapi juga sebuah fenomena sosial yang diam-diam dapat memengaruhi arah masa depan demografi Indonesia.
Memahami dan menangani gamophobia dengan tepat menjadi langkah krusial, bukan hanya demi kesehatan mental para individu yang mengalaminya, tetapi juga untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan penduduk. Ini adalah investasi sosial jangka panjang, memastikan generasi muda memiliki kesiapan emosional yang cukup untuk menjalin hubungan yang sehat, saling mendukung, dan bertahan menghadapi tantangan hidup bersama.
Pendekatan yang efektif tidak bisa dilakukan secara parsial. Harus dimulai dari lingkup terkecil, yaitu keluarga, yang berperan membentuk pandangan awal anak tentang pernikahan. Lalu diperkuat oleh dukungan masyarakat yang tidak menekan, melainkan memberi ruang aman untuk berbicara tentang ketakutan dan keraguan. Dan ketika diperlukan, intervensi profesional seperti konseling atau terapi menjadi penopang penting untuk membantu mengurai akar masalah.
Jika langkah-langkah ini dijalankan secara konsisten, kita tidak hanya mengatasi rasa takut terhadap pernikahan, tetapi juga membentuk generasi yang lebih matang secara emosional. Generasi ini akan lebih siap untuk membangun komitmen yang sehat, saling menghargai, dan pada akhirnya berkontribusi pada terciptanya masa depan Indonesia yang seimbang, baik secara sosial maupun demografis.
*Penulis merupakan kontributor di Validnews.id
Referensi: