13 November 2025
15:15 WIB
Mengenal Fenomena Black Campaign Di Dunia Politik
Black campaign bukan barang baru, terutama di dunia politik. Akan tetapi, kehadiran media sosial di tengah berkembang pesatnya teknologi memberinya dampak yang jauh lebih luas.
Penulis: Novelia
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi black campaign atau kampanye hitam yang digambarkan dengan konsep berita hoax, fitnah, dan palsu. Dimodifikasi dari Shutterstock/beast01.
Masih ingat panasnya suasana di sekitar pemilu 2024? Sejumlah spanduk berjejer, slogan bertaburan. Semua pihak mengeklaim janji perubahan. Ruang publik seolah berubah jadi ajang pertarungan wacana. Sayangnya, tak semua bagian dari kompetisi ini punya nuansa positif. Media sosial malah jauh lebih vulgar menampilkan pesan dukung-mendukung sampai menjatuhkan figur tertentu.
Ada satu sisi gelap demokrasi yang sering hadir, yakni fenomena black campaign.
Fenomena ini sebenarnya bukan barang baru, terutama di dunia politik. Akan tetapi, kehadiran media sosial di tengah berkembang pesatnya teknologi memberinya dampak yang jauh lebih luas.
Kalau dulu berbagai kabar burung dan fitnah biasa beredar dari obrolan satu ke obrolan lainnya, kini semuanya dapat dengan mudah tersebar lewat Instagram, YouTube, TikTok, X, hingga Facebook.
Tak hanya berbahaya bagi korbannya, lebih jauh lagi aksi black campaign juga berdampak terhadap terjadinya dualisme di tengah masyarakat, serta menelanjangi kepercayaan publik terhadap tokoh atau pihak tertentu. Saat hal ini terjadi, politik tak ubahnya sekadar permainan persepsi tanpa bukti.
Nah, agar bisa mewaspadai fenomena ini, kita perlu mengenal apa itu black campaign lebih dekat. Mulai dari definisinya, cara kerjanya, hingga dampak yang ditimbulkan.
Apa Itu Black Campaign?
Sederhananya, black campaign bisa didefinisikan sebagai upaya sistematis yang dilakukan untuk menjatuhkan reputasi lawan dalam sebuah kompetisi lewat fitnah, kebohongan, hingga manipulasi data. Bukan untuk menguji kemampuan dan rekam jejak sang korban, tujuan aksi ini justru untuk melahirkan persepsi negatif yang sukar atau bahkan tidak mungkin diluruskan.
Hal-hal tersebutlah yang membuat black campaign tidak bisa disamakan dengan kritik ataupun argumen debat yang sehat. Kampanye jenis ini biasanya terjadi di wilayah abu-abu antara kebohongan dan fakta. Separuh dari kebenaran yang ada dibungkus sedemikian rupa sehingga tampak sebagai satu fakta negatif utuh yang sangat masuk akal.
Salah satu contoh paling umum adalah melalui penyebaran foto ataupun video yang diedit atau berbeda konteks, namun dibuat seolah berhubungan dengan isu yang diperbincangkan. Contoh lainnya, dengan menyebarkan narasi informasi bohong, namun dilengkapi pernyataan “katanya”.
Untuk mengidentifikasi fenomena ini mudah saja. Aksi black campaign umumnya ditandai dengan salah satu, sebagian, atau seluruh ciri-ciri berikut ini:
1. tuduhan tak berdasat yang sifatnya destruktif;
2. narasi emosional tanpa data yang mampu menggiring opini;
3. menggunakan isu sensitif seperti agama, ras, atau ideologi; serta
4. disebarkan masif melalui akun anonim di media sosial atau grup tertutup di aplikasi pesan.
Pada era yang menjadikan algoritma sebagai elemen penting media sosial, black campaign disulap jadi bentuk baru propaganda digital. Dari satu unggahan yang menyesatkan saja, berbagai informasi dapat diolah dan sebarkan ulang oleh akun-akun palsu atau berbayar, membuatnya terlihat seperti fakta yang tak bisa dibantah.
Tujuan dan Motif di Balik Black Campaign
Mungkin beberapa di antara kita berpikir, kenapa black campaign bisa terus muncul, padahal risikonya tinggi? Bahkan, jika korbannya mau, sebenarnya mudah saja kasus ini dipersoalkan secara hukum.
Ternyata, jawabannya sederhana saja. Karena jenis kampanye ini efektif untuk dilakukan!
Sifat praktis yang ditawarkan black campaign dalam menjatuhkan elektabilistas lawan dan mengalihkan masyarakat dari isu yang sebenarnya lebih penting, membuat aksi ini jadi senjata bagi kandidat yang tak terlalu kuat dalam hal rekam jejak dan gagasan.
Jika dikategorikan, motif-motif black campaign bisa dibagi menjadi empat, yakni motif elektoral; psikologis; ekonomi dan strategis; serta ideologis dan identitas.
Motif elektoral melatarbelakangi pelaku black campaign untuk berupaya agar publik tidak lagi memercayai lawannya dalam kompetisi. Dengan demikian, mereka diharapkan beralih memilih kandidat yang lain, yakni dirinya sendiri. Jika ini terjadi secara masif, besar kemungkinan sang pelaku memenangkan kompetisi.
Ironi memang, fitnah seolah lebih cepat bekerja dibanding penjelasan rasional.
Selain itu, ada pula motif psikologis, yang menjadikan emosi sebagai alat pengendali opini. Hal ini sebenarnya didorong pula dengan keberadaan media sosial. Soalnya, narasi yang menakutkan atau memancing amarah ternyata lebih mudah viral. Masyarakat pun lebih didorong untuk berekasi, bukannya berpikir.
Dalam hal politik, motif ideologis dan identitas juga sangat memengaruhi terjadinya black campaign. Di Indonesia, misalnya, isu ras dan agama tak jarang disalahgunakan untuk membelah suara masyarakat. Berbagai tuduhan, seperti "PKI", "anti-Islam", hingga "non-pribumi" sering dijadikan "senjata perang".
Terakhir, black campaign juga terkait dengan motif ekonomi dan strategis. Biasanya, beberapa industri bayangan ada di balik aksi ini.
Mereka membangun pasukan yang punya sejumlah fungsi untuk membangun opini publik tertentu. Sebut saja para buzzer dan tim spesialis media sosial. Dengan bayaran yang tak terlalu mahal, satu pesan bohong bisa menjangkau ribuan, bahkan jutaan pengguna media sosial hanya dalam beberapa jam saja.
Bentuk dan Cara Kerja Black Campaign
Black campaign biasanya punya banyak bentuk. Ada yang melakukannya secara terang-terangan, ada juga yang terselubung. Beberapa di antaranya adalah penyebaran hoaks visual, seperti foto dan video yang diambil di luar konteks; artikel atau informasi palsu dari situs atau sumber yang tak jelas; hingga mim politik atau komentar sinis yang terkesan lucu, namun sebenarnya menjadi tuduhan terselubung.
Belakangan, bahkan ada strategi yang lebih komprehensif untuk melakukan kampanye jahat ini. Caranya, sejumlah buzzer dikoordinasikan untuk bertugas secara masif dari berbagai media sosial dengan mengangkat satu isu. Skenario ini dilakukan agar seolah ada opini publik yang lahir secara alami dan spontan dari akar rumput. Strategi ini kerap disebut astroturfing.
Sementara itu, untuk cara kerjanya, black campaign umumnya mengikuti logika algoritma media sosial. Sebagai langkah awal, narasi provokatif dirancang. Biasanya, berupa isu yang sensasional atau menyentuh emosi. Kemudian, narasi tersebut akan didorong ke permukaan oleh akun-akun pendukung dan buzzer sehingga menjadi trending topic di dunia maya.
Akibatnya, masyarakat awam yang melihat konten terkait berulang kali akan mulai memercayainya. Bahkan, tanpa memverifikasi faktanya terlebih dahulu.
Sebuah penelitian di bidang komunikasi politik membuktikan bahwa pengulangan adalah kunci sukses dari sebuah propaganda. Makanya, saat sebuah pesan yang salah diulang terus menerus, terjadi sebuah efek yang dinamakan illusory truth effect, alias bagaimana otak manusia perlahan akhirnya menganggap hal tersebut benar.
Akan lebih berbahaya juga jika kampanye hitam ini dikamuflasekan sebagai diskusi publik. Perbincangan yang nyatanya hanya debat kusir itu akan membuat batasan antara kebebasan berpendapat dan penyebaran kebohongan jadi sangat tipis.
Dampak Black Campaign
Tak cuma melukai korban yang diserang, praktik black campaign nyatanya juga menimbulkan efek kolektif pada masyarakat. Pertama, aksi ini menurunkan kualitas demokrasi karena para pemilih kehilangan kesempatan untuk menilai gagasan secara rasional. Pasalnya, di tengah debat publik yang telah didominasi fitnah, demokrasi berubah jadi sekadar arena adu kebencian.
Kedua, fenomena ini juga akan memperdalam polarisasi. Masyarakat akan terbagi ke dalam kubu-kubu yang saling mencurigai satu sama lain. Pada pertarungan pilpres antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto sebelumnya misalnya, muncul istilah “cebong” dan ”kampret” yang merepresentasikan bagaimana masing-masih pihak memanggil pihak lawan.
Layaknya fanwar di dunia hiburan, mereka saling menjatuhkan kredibilitas lawan.
Ketiga, black campaign juga mengikis kepercayaan publik terhadap institusi publik. Saat suatu berita palsu dibiarkan beredar tanpa konsekuensi tegas, masyarakat akhirnya meragukan semua bentuk informasi, baik yang benar sekalipun. Bila terus terjadi, kondisi ini menciptakan information fatigue, yakni kelelahan terhadap kebenaran itu sendiri.
Terakhir, yang tak kalah berbahaya, kampanye hitam bisa memicu kekerasan sosial. Dari beberapa kasus yang terjadi, terbukti bahwa propaganda kebencian punya kemampuan besar untuk menyalakan api konflik. Di Indonesia khususnya, beberapa hoaks politik di dunia maya terbukti mengakibatkan perpecahan dan kerusuhan di dunia nyata.
Black campaign bisa terus terjadi bukan hanya karena para pelakunya pandai menciptakan kebohongan, tapi juga karena sebagian masyarakat malas memverifikasi fakta.
Dalam situasi seperti ini, akan lebih cerdas kalau kita menahan diri setiap kali membaca setiap konten yang punya tendensi tertentu di media sosial, kemudian memeriksa terlebih dahulu sumber datanya. Setiap kali melakukannya, berarti kamu secara tak langsung ikut menjaga ruang publik dari kampanye hitam.
Jadi, hati-hati di internet ya, Sobat Valid!
Referensi: