23 Januari 2024
17:44 WIB
Penulis: Dwiditya Pamungkas
Di sektor ekonomi, selain ekonomi hijau alias green economy, sejatinya, ada juga istilah ekonomi berbasis lingkungan. Di antaranya adalah ekonomi biru atau blue economy. Konsep ekonomi biru sendiri, pertama kali dikenalkan oleh Gunter Pauli tahun 2010.
Pada tahun 2012, saat PBB mengadakan Konferensi Pembangunan Berkelanjutan (UNCSD) di Rio de Janeiro (Rio +20), negara-negara peserta sepakat untuk memajukan konsep Ekonomi Hijau untuk 'pembangunan berkelanjutan dan membrantas kemiskinan'. Namun, negara-negara kepulauan, mempertanyakan relevansi dan penerapan Ekonomi Hijau. Mereka berargumentasi, samudra dan lautan di dunia membutuhkan lebih banyak perhatian yang mendalam dan tindakan yang terkoordinasi, untuk mewujudkan terciptanya pembangunan berkelanjutan.
Atas usulan tersebut, sekelompok ahli melakukan pertemuan membahas mengenai kelautan, samudera dan pembangunan berkelanjutan. Hasil kerja dari Global Komisi Kelautan (Global Ocean Commision) ialah terbentuknya Kemitraan Global untuk Kelautan, dan Rencana lima tahun Agenda Aksi (2012-2016). Di sinilah PBB memberikan perhatian yang diperlukan terhadap pembangunan di sektor kelautan dan samudera.
PBB mendefinisikan Ekonomi Biru sebagai perekonomian yang “terdiri dari serangkaian sektor ekonomi dan kebijakan terkait yang secara bersamaan menentukan pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan". Tantangan penting dari ekonomi biru adalah untuk melakukan memahami dan mengelola berbagai aspek keberlanjutan kelautan.
Mulai dari sektor perikanan berkelanjutan, hingga sektor lainnya dan dikaitkan dengan pengelolaan ekosistem untuk mencegah terjadinya degradasi atau kerusakan (UN, 2023). Ekonomi biru juga memberikan tantangan dalam membangun kolaborasi lintas batas dan sektor, guna mengelola sumber daya laut yang berkelanjutan.
Blue Economy Development Index (BEDI)
Dalam rangka mengukur capaian negara dalam pembangunan ekonomi biru, Archiplegaic & Island States (AIS) Forum mengembangkan Blue Economy Development Index (BEDI). Indeks ini merupakan platform untuk memperkuat tata kelola kebijakan kelautan serta pesisir yang terintegrasi dalam sistem sosio-ekologis, sehingga dapat mendorong pencapaian tujuan pembangnan berkelanjutan yang merujuk pada SDGs.
Mengacu pada Adrianto,dkk (2020), BEDI menggunakan sistem evaluasi yang menggabungkan algoritma sentral, sebagai dasar untuk menganalisis kumpulan data yang relevan di berbagai sektor ekonomi kelautan, demi menentukan letak kesenjangan pembangunan. Algoritma ini didasarkan pada dua komponen utama analisis, yaitu Tingkat Pentingnya Ekonomi Biru dan Tingkat Dampak Ekonomi Biru.
Tingkat Pentingnya Ekonomi Biru berkaitan dengan tingkat ketersediaan sumber daya laut dan sumber daya manusia di suatu negara yang memungkinkan ekonomi biru tumbuh, dengan dua indikator evaluasi: modal laut dan faktor pendukung. Selain itu, modal laut memiliki dua parameter pengukuran; skala ekosistem dan skala sumber daya. Sedangkan faktor pendukung terdiri dari kapasitas tata kelola, kapasitas teknologi, dan kapasitas inovasi.
Tingkat Dampak Ekonomi Biru pun berkaitan dengan hasil sosial dan ekonomi yang dihasilkan dari pengembangan ekonomi biru, dengan dua indikator evaluasi; modal sosial dan pertumbuhan berkelanjutan. Modal sosial terdiri dari dua parameter pengukuran, yakni inklusivitas dan ketimpangan pendapatan. Sementara pertumbuhan berkelanjutan mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara dan tingkat lapangan pekerjaan (employment rate).

| Prajurit KRI Bima Suci menyelam di spot Arus Balee, Sabang, Aceh, Kamis (7/10/2021). Satgas Kartika Jala Krida (KJK) 2021 selain mendukung latihan praktek Taruna Akademi Angkatan Laut (AAL) Tingkat III Angkatan ke-68, juga mengeksplorasi wisata bahari guna mendukung program pemerintah dalam meningkatkan pariwisata di Indonesia. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja |
Ekonomi Biru dan Indonesia
Merujuk pada hasil pengukuran BEDI, pada tahun 2021 posisi Indonesia berada pada skor 4,30 atau masuk ke dalam kategori menengah/medium. Skor BEDI sendiri diukur dengan 0-9 poin, dengan kategori Rendah pada skor 0,5-2, kategori Menengah pada skor 2,5-5, kategori Tinggi dari 5,5-9. Skor tersebut menempatkan Indonesia berada pada urutan 36 dari 47 negara yang diamati oleh AIS Forum. Untungnya, mengacu pada laporan AIS Forum, Indonesia memiliki tren peningkatan pembangunan ekonomi biru.
Untuk diketahui, Indonesia telah melakukan adaptasi demi mencapai pembangunan ekonomi biru. Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Pasal 14 ayat 1 menyebutkan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan kewenangannya melakukan Pengelolaan Kelautan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, melalui pemanfaatan dan pengusahaan sumberdaya kelautan dengan menggunakan prinsip “Ekonomi Biru”.
Menurut beleid tersebut, apa yang dimaksud dengan “Ekonomi Biru” adalah suatu pendekatan untuk meningkatkan pengelolaan kelautan yang berkelanjutan dan konservasi sumberdaya kelautan dan pesisir dan ekosistemnya. Tujuannya, mewujudkan pertumbuhan ekonomi dengan prinsip-prinsip antara lain, keterlibatan masyarakat, efisiensi sumberdaya, meminimalkan limbah, dan nilai tambah ganda.
Merujuk pada Widodo dkk (2023), Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, pilar ekonomi biru akan menjadi dasar kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan dari 2021 hingga 2024. Pilar ini terdiri dari lima elemen. Antara lain, i) perluasan wilayah konservasi, ii) penerapan kebijakanpenangkapan ikan terukur berbasis kuota danzona penangkapan, iii) pengembangan perikanan budidaya berkelanjutan di laut, pesisir, dan tawaryang berorientasi ekspor, iv) pengendalian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan laut dari kegiatanekonomi yang merusak, dan iv) pengurangan sampah plastik di laut melalui gerakan nasional Bulan Cinta Laut.
Selain itu, Kementerian PPN/Bappenas juga meluncurkan Buku Kerangka Pembangunan Ekonomi Biru untuk transformasi di Indonesia. Buku tersebut disusun Kementerian PPN/Bappenas bersama Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), sebagai acuan pemangku kepentingan dalam mendefinisikan ekonomi biru sebagai mesin baru pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan dan inklusif. Mengacu pada pendapat Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, diketahui potensi Blue Economy diperkirakan mencapai US$1,33 miliar dan mampu menyerap 45 juta lapangan kerja (lihat Bappenas, 2021).
Mengacu pada Bappenas (2021), Kerangka Pembangunan Ekonomi Biru merupakan penjabaran dari amanat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Indonesia (RPJPN) 2005-2025. Tujuannya, mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang berdaulat, maju, dan tangguh melalui pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Selain itu, ada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Indonesia (RPJMN) 2020-2024 yang menekankan pentingnya pengelolaan kelautan dengan baik, untuk mencapai agenda pembangunan berkelanjutan.
Kerangka Pembangunan Ekonomi Biru pun mendukung inisiatif global dalam pencapaian Agenda 2030 on Sustainability Development Goals (SDGs), khususnya pada Tujuan 14, yakni melestarikan dan Memanfaatkan Secara Berkelanjutan Sumber Daya Kelautan dan Samudra untuk Pembangunan Berkelanjutan. Lalu, mendukung Tujuan 7 yakni, Akses Energi yang Terjangkau, Berkelanjutan dan Modern untuk Semua.
Selanjutnya, Tujuan 8, yakni Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan, Kesempatan Kerja yang Produktif dan Menyeluruh, serta Pekerjaan yang Layak untuk Semua. Adapun Tujuan 9, yakni Infrastruktur, Industri Inklusif dan Berkelanjutan serta Inovasi, dan Tujuan 17 yakni, Kemitraan Global untuk Pembangunan Berkelanjutan (Lihat Bappenas, 2021). Dari Kerangka Pembangunan Ekonomi Biru tersebut, peta jalan pembangunan ekonomi biru Indonesia dibuat untuk dijadikan pedoman dalam mencapai keberlanjutan pembangunan ekonomi serta sosial, khususnya pada sektor kelautan dan perikanan di Indonesia.
Referensi
Adrianto, Luky. Beny Osta Nababan dan Noah Eishner. (2020). BEDI: A Preliminar Study with Case Studies of 10 Archpelagics and Island States. AIS Forum.
Adnan, Ardhina Dian Islamiati, Sitti Hasana dan Fuad Mahfud Assidihe. (2023). Implementasi Blue Economy Di Indonesia Dengan Memanfaatkan Teknologi Big Data. Riset Sains dan Teknologi Kelautan Volume 6, Nomor 2, Tahun 2023 - Ekonomi Kelautan
Hamzah, Asep. (2022). Strategi Implementasi Ekonomi Biru Berbasis Pelabuhan Perikanan Di Provinsi Banten. Prosiding Seminar Nasional Perikanan Indonesia ke-23 Politeknik AUP, Jakarta, 23-24 Agustus 2022
Lemhannas. 2020. Analisis Geo V. Diakses pada: https://www.lemhannas.go.id/images/2022/MATERI_KUP/Kepemimpinan_Geo_V.pdf
Nasution, Marihot. (2022). Potensi Dan Tantangan Blue Economy Dalam Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia: Kajian Literatur. Jurnal Budget Vol. 7 Edisi 2, 2022. Pusat Kajian Anggaran. Hal: 340
Sakhuja, V. (2015). Harnessing the Blue Economy. Indian Foreign Affairs Journal, 10(1), 39–49. http://www.jstor.org/stable/45341010
Wibowo, Ari. Moh. Abdi Suhufan dan Bellicia A. (2023). Rambu-Rambu Kebijakan Ekonomi Biru di Indonesia. Transparancy International Indonesia: Jakarta
https://www.un.org/regularprocess/sites/www.un.org.regularprocess/files/rok_part_2.pdf
https://www.aisforum.org/blue-economy-development-index
https://bedi.aisforum.org/bediscore
https://www.bappenas.go.id/tags-berita/243