10 Juni 2025
18:32 WIB
Mengenal Efek Stroboskopik Yang Menipu Mata
Efek stroboskopik merupakan ilusi visual bisa menipu mata dan menimbulkan persepsi berbeda pada tiap individu.
Penulis: Mohammad Widyar Rahman
Editor: Rikando Somba
Stroboskopik (stroboscopic effect) adalah efek optik yang membuat objek yang bergerak tampak seperti bergerak lebih lambat dari kecepatan sebenarnya, atau bahkan tampak diam, atau bergerak mundur.Shutterstock/Master1305
Pernahkah kamu melihat velg ban kendaraan yang tampak diam atau berputar terbalik saat direkam dengan kamera? Atau mungkin kamu pernah menonton video baling-baling helikopter yang terlihat seperti tidak bergerak sama sekali?
Jika iya, kamu sedang menyaksikan salah satu keajaiban optik yang dikenal sebagai efek stroboskopik.
Efek stroboskopik dikenal juga sebagai aliasing temporal , merupakan ilusi visual yang terjadi pada saat objek yang bergerak cepat dilihat melalui rekaman dengan frekuensi gambar tertentu atau disinari oleh cahaya berkedip (seperti lampu strobe). Dalam kondisi tertentu, objek yang sebenarnya bergerak secara kontinu bisa tampak seolah-olah melambat, berbalik arah, atau bahkan diam sepenuhnya.
Ilusi ini terjadi karena otak memproses cahaya yang masuk ke mata secara bertahap, sehingga persepsi gerakan bisa berbeda dari kenyataan. Pada saat kilatan cahaya atau frame rekaman tidak sinkron dengan kecepatan gerakan objek, otak dapat tertipu. Bahkan otak kemudian menyusun gambar yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Hal tersebutlah menjelaskan mengapa baling-baling helikopter bisa tampak berputar ke arah yang salah atau diam.
Studi oleh Nakayama (1985) menunjukkan bahwa sistem visual manusia menyandikan gerakan berdasarkan urutan perubahan ruang dan waktu, yang menyebabkan munculnya efek ilusi ini.
Awalnya, efek stroboskopik—yang disebut sebagai stroboscopic motion analysis—digunakan dalam dunia sains dan teknik, terutama untuk menganalisis gerakan cepat. Dengan bantuan cahaya strobe yang disetel pada frekuensi tertentu, para ilmuwan dapat "membekukan" gerakan sehingga memungkinkan analisis detail yang tidak terlihat oleh mata manusia biasa.
Seiring waktu, efek ini juga dimanfaatkan dalam dunia hiburan.
Dalam konser musik, misalnya, lampu strobe menciptakan suasana dramatis dengan gerakan yang tampak melambat atau patah-patah. Sementara itu, dalam film atau video musik, efek ini digunakan untuk menambah kesan futuristik, misterius, atau bahkan mencekam.
Di dunia perfilman, efek stroboskopik juga menjadi bagian dari prinsip dasar proyeksi gambar bergerak. Film konvensional terdiri dari rangkaian gambar diam (frame) yang ditampilkan dengan kecepatan tinggi—biasanya 24 frame per detik.
Kecepatan tersebut cukup untuk membuat otak manusia menggabungkan gambar-gambar tersebut menjadi satu kesatuan gerakan. Fenomena ini disebut juga sebagai persistence of vision, yaitu kemampuan mata untuk "menyimpan" gambar sesaat setelah gambar menghilang.
Meskipun terlihat mengagumkan, efek stroboskopik memiliki sisi negatif.
Bagi sebagian orang yang sensitif terhadap cahaya berkedip, efek ini bisa menyebabkan ketidaknyamanan, pusing, atau bahkan kejang. Kondisi ini dikenal sebagai epilepsi fotosensitif (photosensitive epilepsy).
Berdasarkan konsensus sekelompok ahli internasional yang dikumpulkan oleh Epilepsy Foundation, kilatan cahaya dalam kisaran frekuensi 5–30 kilatan cahaya per detik (hertz/Hz) adalah yang paling berisiko memicu reaksi tersebut. Agar aman, hasil konsensus merekomendasikan bahwa individu fotosensitif tidak boleh terkena kilatan cahaya lebih besar dari 3 Hz.
Efek ini juga menjadi perhatian dalam konteks keselamatan kerja. Di lingkungan industri seperti pabrik, pencahayaan yang berkedip dapat menciptakan ilusi bahwa mesin berhenti, padahal masih bergerak. Kesalahan persepsi sebagai akibat dari kilatan cahaya tersebut berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja.
Dalam dunia digital, pemahaman terhadap efek stroboskopik juga penting bagi para kreator konten. Saat merekam gerakan cepat atau membuat video slow motion, pengaturan pencahayaan dan shutter speed sangat menentukan apakah efek ini akan muncul dalam hasil rekaman. Misalnya, kamera dengan sistem rolling shutter lebih rentan terhadap efek ini jika tidak diatur dengan tepat.
Secara keseluruhan, efek stroboskopik menjadi bukti bahwa persepsi visual manusia tidak selalu sejalan dengan realitas fisik.
Seperti kamera, otak kita hanya menangkap cuplikan-cuplikan, dan sering kali keliru dalam menafsirkan realitas karena “frame rate” internal kita yang terbatas. Ilusi ini memperlihatkan bagaimana cahaya, waktu, dan gerak dapat berinteraksi dengan cara yang menakjubkan. Efek stroboskopik pun membuka ruang luas bagi eksplorasi, baik dalam ranah ilmiah maupun artistik.
Referensi: