04 Juni 2025
15:00 WIB
Mengenal Dramaturgi Dalam Dunia Kerja
Di dunia kerja maupun media sosial, kita sering kali berusaha menampilkan diri seolah-olah sempurna. Dalam teori dramaturgi, ini adalah cara memainkan peran untuk memenuhi ekspektasi seseorang.
Penulis: Devi Rahmawati
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi karyawan sedang melakukan rapat di sebuah perusahaan. Shutterstock/Myvisuals
Apakah Sobat Valid pernah merasa harus berpura-pura saat di kantor? Tersenyum walau lagi kesal, bilang oke padahal tidak siap. Atau, justru terlihat sibuk meskipun sebenarnya sedang bingung? Ternyata, semua itu bukan hal aneh. Dalam ilmu sosiologi, ada teori yang menjelaskan hal ini, namanya dramaturgi.
Menurut Erving Goffman, kehidupan sosial kita itu seperti pertunjukan drama. Kita semua adalah pemain yang berusaha tampil baik di depan penonton atau orang-orang di sekitar kita. Dunia kerja adalah salah satu panggung paling nyata dalam teori ini.
Antara Panggung dan Peran
Dalam dramaturgi, terdapat dua jenis panggung yang mencerminkan cara seseorang menampilkan dirinya dalam kehidupan sosial, termasuk di dunia kerja.
Panggung depan (front stage) adalah tempat di mana kita tampil di hadapan orang lain. Di panggung ini, individu berusaha menjaga penampilan serta sikap agar terlihat profesional, sopan, dan kompeten. Di lingkungan kantor, panggung depan dapat berupa ruang kerja, ruang rapat, atau bahkan grup WhatsApp kantor, tempat kita memainkan peran sesuai harapan.
Sebaliknya, panggung belakang (backstage) adalah ruang tempat kita bisa melepas 'topeng', menjadi lebih santai, dan menunjukkan sisi yang lebih jujur. Ini bisa terjadi saat kita sedang berbincang santai dengan teman dekat, saat jam istirahat, di toilet kantor, atau ketika kamera aplikasi Zoom dimatikan.
Di panggung ini, kita bisa mengeluh, mengakui rasa bingung, atau mengungkapkan rasa lelah yang tidak bisa diekspresikan di ruang formal.
Kenapa Banyak Orang Melakukan Ini?
Secara alami, manusia memiliki kebutuhan untuk diterima dan dihargai dalam lingkungan sosialnya. Maka, menyesuaikan diri dengan ekspektasi orang lain bukanlah sesuatu yang aneh. Kita tampil baik-baik saja bukan karena ingin menipu, melainkan karena ingin mempertahankan relasi, memenuhi tanggung jawab, atau menjaga stabilitas suasana kerja.
Bisa dibilang, kita bisa saja memakai topeng bukan untuk menutupi kebohongan, tetapi untuk menyesuaikan diri dengan skrip sosial yang sedang berlangsung. Dalam dunia kerja, hal ini sering kali menjadi bagian dari etika profesional—tidak semua perasaan bisa diekspresikan secara mentah, dan tidak semua kejujuran cocok disampaikan di setiap situasi.
Namun, jika terlalu sering dan terlalu lama memerankan sosok yang jauh dari kenyataan diri sendiri, hal ini bisa menjadi beban psikologis. Rasa lelah, keterasingan, bahkan kehilangan jati diri. Akibatnya, seseorang bisa mengalami stres berkepanjangan, burnout, atau merasa asing dalam kesehariannya.
Saat Dunia Maya Jadi Panggung Tambahan
Sekarang, media sosial, seperti LinkedIn, Instagram, TikTok, dan sebagainya juga telah menjadi panggung baru dalam kehidupan profesional dan personal kita. Di sana, banyak orang menampilkan pencapaian atau prestasi, semangat kerja, serta perjalanan karier yang terlihat mulus dan menginspirasi.
Namun, penting untuk diingat bahwa apa yang ditampilkan di media sosial hanyalah sebagian kecil dari kenyataan.
Layaknya sebuah pertunjukan, unggahan-unggahan itu sering kali merupakan versi terbaik dari cerita yang ingin dibagikan ke publik. Bukan berarti apa yang ditampilkan itu tidak benar, banyak pencapaian memang nyata dan layak diapresiasi. Hanya saja, tidak semua sisi dari perjuangan dan proses itu ikut terlihat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa secara tidak langsung, setiap orang tengah memainkan peran tertentu di ruang digital yang penuh ekspektasi.
Di LinkedIn, misalnya, kita kerap melihat peran profesional sukses, pemimpin muda inspiratif, atau karyawan berdedikasi yang ditampilkan secara konsisten. Peran-peran ini tidak salah, tetapi penting untuk disadari bahwa di balik itu semua, ada sisi-sisi lain yang lebih personal, seperti rasa ragu, ketidakpastian akan masa depan, atau keinginan untuk berhenti sejenak dan beristirahat.
Sebagai audiens, kita perlu membangun kesadaran kritis agar tidak mudah terjebak dalam perbandingan sosial yang merugikan. Ketika linimasa dipenuhi dengan pencapaian orang lain, wajar jika sesekali kita merasa tertinggal atau tidak cukup hebat.
Padahal, sering kali yang tidak terlihat justru jauh lebih banyak dari yang ditampilkan. Dramaturgi di media sosial mengingatkan kita bahwa kesuksesan jarang berjalan lurus, dan tiap orang menjalani prosesnya dengan cara yang berbeda-beda.
Sebaliknya, sebagai pengguna, kita juga perlu memberikan ruang untuk kejujuran dan refleksi, baik terhadap diri sendiri maupun dalam berbagi ke publik. Tidak semua hal harus dikemas sebagai pencapaian besar. Terkadang, membagikan proses, kegagalan, atau tantangan yang dihadapi justru bisa membuka ruang baru bagi narasi yang lebih manusiawi dalam dunia professional.
Dengan memahami dramaturgi bekerja di ruang digital, kita bisa menjadi pribadi yang lebih bijak dalam menampilkan diri, sekaligus lebih empatik saat melihat orang lain.
Yang mesti kita ingat bersama, dunia profesional bukan hanya soal tampil sempurna di depan layar. Namun, dunia profesional juga tentang membangun makna dan integritas di balik setiap peran yang kita mainkan, baik ketika berada di panggung utama, maupun saat berada di balik tirai.
Referensi: