c

Selamat

Jumat, 7 November 2025

CATATAN VALID

09 Juni 2025

14:00 WIB

Membela Teman Saat Salah, Tanda Kamu Alami Ultimate Attribution Error

Mencoba menutupi kejahatan orang lain bukanlah cinta. Begitu juga membela teman saat salah, betapapun dekatnya hubungan orang tersebut dengan diri kita.

Penulis: Novelia

Editor: Rikando Somba

<p>Membela Teman Saat Salah, Tanda Kamu Alami <em id="isPasted">Ultimate Attribution Error</em></p>
<p>Membela Teman Saat Salah, Tanda Kamu Alami <em id="isPasted">Ultimate Attribution Error</em></p>

Ilustrasi mengobrol dengan teman sekelompok. Sumber: Shutterstock/oneinchpunch

Pernahkah kamu mengalami situasi di mana seseorang atau suatu kelompok yang memiliki hubungan dekat denganmu diduga melakukan kesalahan atau hal yang tidak patut? Saat itu, Sobat Valid mungkin akan merasakan dilema terkait sikap seperti apa yang harus ditunjukkan. Wajar saja, sebab pengalaman berupa kelekatan dengan pihak tersebut sedikit banyak akan memengaruhi penilaianmu sendiri.

Fenomena seperti inilah yang menggugah ketertarikan Thomas Fraser Pettigrew ketika merumuskan sebuah konsep psikologis pada 1979.

Sebagai seorang psikolog sosial, Pettigrew banyak melakukan studi terkait hubungan antarmanusia, baik itu hubungan dalam kelompok ataupun interpersonal, serta bagaimana relasi tersebut memengaruhi sikap dan kepercayaan seseorang. Hal ini pula yang akhirnya membuat dirinya menyimpulkan konsep atau pola ultimate attribution error, yakni bahwa interpretasi seseorang atas sebuah fenomena akan cenderung terbias pada kelompok di mana ia berasal atau terlibat.

Dalam ultimate attribution error, Pettigrew memperhatikan tiga elemen ketika sebuah fenomena terjadi. Ketiganya adalah sentimen perilaku yang dikategorikan menjadi positif dan negatif, relasi pelaku dengan penilai yang dikategorikan menjadi ingroup dan outgroup, serta faktor yang cenderung dipilih sebagai motif yang dikategorikan menjadi eksternal dan internal.

Pettigrew menyimpulkan, saat seseorang dalam kelompok tertentu melihat orang ada di dalam kelompok yang sama dengannya (ingroup) melakukan tindakan dengan sentimen negatif, maka ia akan cenderung menilainya sebagai dampak dari faktor eksternal. Sebaliknya, ketika rekan sekelompoknya tersebut melakukan tindakan positif, maka faktor yang cenderung akan dinilai sebagai penyebab adalah faktor internal.

Sebagai contoh adalah fenomena saat seorang sahabat yang terlibat dalam kelompok yang sama denganmu diduga, atau bahkan sudah terbukti melakukan pencurian atau kecurangan. Kamu akan cenderung sulit menerima kenyataan tersebut, dan berpotensi untuk menyangkalnya. 

Mirisnya, apabila bahkan seseorang tersebut telah terbukti bersalah, kamu cenderung akan menjustifikasinya dengan berbagai alasan. Misalnya dengan menciptakan logika bahwa yang dilakukannya adalah dampak dari luar, seperti tekanan finansial yang tengah dialami, atau bentuk pembalasan atas rasa sakit hatinya terhadap orang lain.

Alih-alih dengan tegas menyatakan bahwa yang dilakukan temanmu memang salah, kamu akan cenderung sibuk mencari alasan, mengapa ia melakukannya.

Penilaian akan berbeda jika tindakan yang dilakukan teman sekelompokmu itu adalah perbuatan dengan sentimen positif. Kamu akan lebih mudah menyatakan ia bahwa perbuatan baiknya adalah hasil dari faktor internal. Kamu cenderung tidak akan terlalu peduli apa alasan dari perbuatan baik yang dia lakukan. 

Apakah ada faktor eksternal yang menjadi pendorong? Kamu tidak acuh. Bagimu, sesederhana bahwa ia memang seorang yang berhati baik.

Sebaliknya, saat pihak di luar kelompok (outgroup) melakukan tindakan positif, seseorang akan cenderung melihat motif eksternal sebagai penyebabnya. Sementara jika tindakan yang dilakukan outsider tersebut bertendensi negatif, maka ia akan lebih memilih faktor internal.

Dengan contoh yang tindakan yang sama, seorang outsider kelompokmu melakukan pencurian, kamu cenderung akan langsung menerimanya sebagai perbuatan yang salah, tanpa mempertanyakan apakah ada faktor eksternal yang memengaruhi perbuatannya. Dan jika mislanya outsider tersebut melakukan kebaikan tertentu, kamu cenderung akan mengira-ngira, apa yang melatarbelakangi tindakan tersebut, meski mungkin sebenarnya sesederhana bahwa ia memang punya sifat yang baik.

Konsep ultimate attribution error yang dijelaskan oleh Pettigrew ini mungkin memang sekadar pola dan tak selalu terjadi pada tiap-tiap kita. Akan tetapi, kecenderungan tersebut terbilang nyata. 

Penting bagi kita untuk tetap jeli dan kritis, agak dapat menilai secara objektif setiap fenomena yang terjadi, siapapun pelakunya dan seperti apapun relasinya dengan kita.

Jika seseorang yang kita kenal dekat melakukan kejahatan atau hal yang tidak patut, penting bagi kita untuk menyatakan bahwa ia memang salah. Tidak ada salahnya menggali alasan apa yang melatarbelakangi tindakannya tersebut, asalkan kita tidak menyangkal ataupun menjustifikasinya hanya demi mempertahankan kedekatan personal dan ikatan yang telah terjalin.

Karena seperti kata tokoh fiktif Kogoro Mouri dalam salah satu episode anime Detektif Conan, “Mencoba menutupi kejahatan orang lain bukanlah cinta. Itu adalah kejahatan yang lebih besar lagi.”

 

Referensi: 

  1. Durham, Meenakshi Gigi & Kellner, D. M. (2001). Media and Cultural Studies: Encoding/Decoding. Massachutes : Blackwell Publishers Inc.
  2. Pettigrew, T. F. (1979). The ultimate attribution error: Extending Allport’s cognitive analysis of prejudice. Personality and Social Psychology Bulletin, 5(4), 461–476.

KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar