12 Juni 2025
16:20 WIB
Melihat Perbedaan Standar Garis Kemiskinan
Berdasarkan standar kemiskinan terbaru, World Bank mengungkapkan lebih dari 68% penduduk Indonesia masuk kategori miskin. Sementara, menurut BPS, jumlah orang miskin hanya 8,57% dari total populasi.
Penulis: Kevin Sihotang
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi Kemiskinan/ ShutterstockTOM...foto
Belakangan ini, isu seputar garis kemiskinan ramai diperbincangkan di media massa dan media sosial. Pasalnya, Bank Dunia baru saja mengubah standar garis kemiskinan global.
Dengan perubahan ini, jumlah orang miskin di dunia jadi meningkat, termasuk di Indonesia. Perhitungan apa yang diubah oleh Bank Dunia?
Sebelum ke sana, mari kita lihat, apakah yang dimaksud dengan garis kemiskinan itu?
Mengutip laman Badan Pusat Statistik, garis kemiskinan merupakan representasi dari jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan dan kebutuhan pokok bukan makanan.
Adapun, nilai Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari dua komponennya, yakni Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). GKM mengukur kebutuhan minimal kalori yakni 2.100 kilokalori (kkal) per kapita per hari, serta nilai ekonominya. Komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi yakni padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lainnya.
Sementara GKNM mengukur kebutuhan dasar selain makanan, seperti perumahan, kesehatan, dan pendidikan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.
BPS secara rutin menetapkan dan memperbarui garis kemiskinan berdasarkan harga dan kebutuhan dasar. Standar garis kemiskinan nasional di Indonesia saat ini (berdasarkan Susenas September 2024) adalah Rp 595.242 per kapita per bulan. Ini berarti seseorang masuk kategori miskin jika pengeluarannya kurang dari Rp 595.242 per bulan.
Standar Garis Kemiskinan Bank Dunia
Melalui Laporan “June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform”, Bank Dunia secara resmi merevisi standar garis kemiskinannya dengan mengacu pada perhitungan purchasing power parity (PPP) 2021.
PPP sendiri merupakan teori ekonomi yang digunakan untuk membandingkan daya beli mata uang antar negara. Dengan kata lain, PPP mengukur seberapa banyak barang dan jasa yang dapat dibeli dengan jumlah uang tertentu di berbagai negara.
Sebelumnya, untuk standar garis kemiskinan internasional, Bank Dunia mengadopsi perhitungan PPP 2017, yakni US$2,15 PPP per orang per hari. Kini, dengan PPP 2021, angka tersebut berubah menjadi US$3 per orang per hari.
Kemudian, standar garis kemiskinan negara dengan penghasilan menengah ke bawah dari yang sebelumnya US$3,65 per orang per hari, menjadi US$4,20 per orang per hari. Lalu, standar garis kemiskinan negara dengan penghasilan menengah menjadi US$8,30 per orang per hari dari yang sebelumnya US$6,85.
Dengan perhitungan Bank Dunia yang baru ini, persentase penduduk miskin di Indonesia yang digolongkan dalam kategori negara berpenghasilan menengah, melonjak ke 68,25% dari total populasi pada 2024 atau mencapai 194,4 juta orang. Dengan kata lain, dari setiap 3 orang penduduk Indonesia, 2 orang di antaranya masuk kategori miskin.
Sebelumnya, dalam laporan Poverty & Equity Brief edisi April 2025 yang masih mengacu pada PPP 2017, Bank Dunia mencatat persentase penduduk miskin di Indonesia mencapai 60,3% dari total populasi pada 2024 atau sekitar 171,8 juta orang.
Sementara itu, berdasarkan data BPS yang tidak menggunakan standar kemiskinan Bank Dunia, jumlah penduduk miskin di Indonesia jauh lebih rendah, yakni mencapai 24,06 juta orang. Jumlahnya setara dengan 8,57% dari total populasi per September 2024.
Terkait hal ini, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan, perbedaan muncul disebabkan adanya perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan untuk tujuan yang berbeda.
Ia mengatakan, bila standar kemiskinan global Bank Dunia diterapkan, tentu akan menghasilkan jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi. Sementara, Amalia menjelaskan, BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN) yang mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia.
"Angka kemiskinan Indonesia sebesar 60,3%, diperoleh dari estimasi tingkat kemiskinan dengan menggunakan standar sebesar US$6,85 PPP yang disusun berdasarkan median garis kemiskinan 37 negara berpendapatan menengah atas, bukan berdasarkan kebutuhan dasar penduduk Indonesia secara spesifik," jelasnya dalam keterangan resmi yang diterima Validnews, dikutip Kamis (12/6).
Standar Indonesia Terlalu Rendah
Di sisi lain, Garis Kemiskinan (GK) Indonesia dinilai terlalu rendah, sehingga perlu dilakukan penyesuaian dengan pendekatan Bank Dunia. Hal ini diungkapkan oleh Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin.
Wijayanto mengatakan, salah satu solusi yang bisa dilakukan pemerintah adalah menaikkan standar tersebut secara gradual.
“Salah satu solusi yang mungkin adalah menaikkan secara gradual, menuju standar Bank Dunia saat PDB per kapita kita mendekati US$9.500, mendekati median negara berpendapatan menengah atas, misalnya,” ujar Wijayanto sebagaimana dikutip dari Antara, Kamis (12/6).
Kendati demikian, Wijayanto tak menampik bahwa standar Bank Dunia masih terlalu tinggi bagi Indonesia, mengingat standar tersebut diperuntukkan bagi negara berpendapatan menengah atas dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita berkisar US$4.500-14.000. Sementara PDB per kapita Indonesia sebesar US$4.900. Meski masuk ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas, Indonesia berada pada ambang batas bawah standar kelompok tersebut.
Namun, Wijayanto mengatakan kurangnya akurasi data tingkat kemiskinan dapat berimbas pada tingkat efektivitas program pemerintah. Standar GK yang rendah juga pada akhirnya membuat pemerintah hanya berfokus pada program bantuan sosial (bansos). Padahal menurutnya, pemerintah dianggap perlu menjalankan program yang sifatnya struktural dan substantif. Misalnya, dengan meningkatkan anggaran Kementerian Pekerjaan Umum (PU) untuk proyek padat karya, seperti jalan desa dan irigasi.
Kemudian, memperbesar diskon bunga untuk proyek rumah rakyat melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) serta relaksasi secara rasional penghematan biaya rapat dan perjalanan dinas.
Referensi: