01 Juli 2025
15:00 WIB
Lahirnya Rudal Dalam Bayang Perang Dan Ambisi Teknologi
Rudal modern dapat ditelusuri sejak dari roket sederhana berbubuk mesiu di Tiongkok pada abad ke-13 hingga V‑2 Jerman, serta peran ambisi Wernher von Braun.
Penulis: Mohammad Widyar Rahman
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi Rudal. Shutterstock/Anelo
Sobat Valid, tahu kah kalian bahwa teknologi rudal modern melewati proses panjang sejak dari roket sederhana berbubuk mesiu di Tiongkok abad ke-13? Meski masih sangat primitif, teknologi di Tiongkok itu lah yang menjadi fondasi awal dari sistem propulsi (tenaga pendorong) roket yang akan berkembang jauh lebih kompleks di abad-abad berikutnya.
Lompatan besar terjadi pada awal abad ke-20 ketika Hermann Oberth menerbitkan karya penting berjudul Die Rakete zu den Planetenräumen pada tahun 1923. Buku tersebut memaparkan secara ilmiah dan matematis potensi roket berbahan bakar cair untuk menembus atmosfer dan melakukan perjalanan ke ruang angkasa.
Gagasan Oberth menyalakan imajinasi generasi muda Eropa yang tertarik pada eksplorasi luar angkasa dan teknologi penerbangan roket, salah satunya bernama Wernher von Braun.
Pada usia remaja, von Braun sudah bereksperimen dengan petasan besar di halaman sekolah. Pada usia dewasa, ia bergabung dengan Verein für Raumschiffahrt (VfR), sebuah organisasi eksplorasi antariksa di Jerman yang juga melibatkan Oberth.
Ketekunannya mengantarkan von Braun untuk bekerja di bawah Pemerintah Jerman pada 1930-an. Kala itu von Braun mulai mengembangkan roket untuk keperluan militer. Dalam catatan sejarahnya, NASA menggambarkan von Braun sejak awal melihat roket tidak hanya sebagai senjata, tapi juga sebagai alat eksplorasi ilmiah yang besar potensinya bagi masa depan umat manusia.
Puncak dari pengembangan awal ini adalah rudal V-2, senjata balistik pertama yang pernah digunakan dalam pertempuran. Rudal ini berbahan bakar cair, memiliki jangkauan sekitar 500 kilometer, dan mampu melaju hingga 3.500 mil per jam atau setara dengan 5.633 kilometer per jam.
Pengembangan rudal V-2 ini menjadikan senjata pertama dalam sejarah yang melintasi batas luar atmosfer dan kembali memasuki atmosfer Bumi dengan kecepatan supersonik lebih dari Mach 4.
Rudal V-2 bukan hanya senjata presisi tinggi, tetapi juga merupakan fondasi dari roket luar angkasa modern karena melibatkan sistem navigasi otomatis dan struktur yang mampu bertahan dalam tekanan atmosfer tinggi. Meskipun dirancang sebagai alat serangan, rudal V-2 juga menandai awal dari pengembangan berbagai sistem rudal balistik dan roket luar angkasa di masa depan.
Konsekuensinya sangat besar, karena sejak saat itu dunia memasuki era baru di mana jarak geografis tidak menjadi penghalang dalam perang.
Setelah Perang Dunia II berakhir, von Braun dan banyak ilmuwan Jerman lainnya direkrut oleh Amerika Serikat dalam Operasi Paperclip. Ia kemudian menjadi tokoh sentral dalam program rudal Amerika dan memainkan peran krusial dalam pengembangan rudal balistik jarak jauh serta roket Saturn V yang digunakan dalam program Apollo.
Von Braun percaya bahwa teknologi roket yang awalnya dikembangkan untuk tujuan militer bisa menjadi fondasi perjalanan antariksa sipil. Visi inilah yang kemudian diwujudkan melalui program luar angkasa NASA, menjadikannya simbol pergeseran fungsi roket dari senjata menjadi alat eksplorasi.
Pada masa Perang Dingin, Amerika Serikat dan Uni Soviet mengadopsi teknologi balistik ini untuk menciptakan rudal jarak menengah hingga rudal balistik antarbenua (Intercontinental Ballistic Missiles/ICBM). Rudal jenis ini mampu melintasi benua dalam waktu kurang dari satu jam, menjadikannya bagian dari sistem pencegah serangan strategis (deterensi) dalam geopolitik global.
Pengaruh teknologi rudal yang berasal dari era awal ini kemudian menyebar ke banyak negara lain. Prancis, Inggris, dan Tiongkok mengembangkan sistem rudal balistik mereka sendiri, termasuk yang berkepentingan strategis dan nuklir. Di Asia Selatan, India dan Pakistan mengembangkan program rudal nasional dengan kapasitas regional.
Kemudian, Korea Utara menjadi pusat perhatian karena kemampuan rudal jarak jauh yang dikembangkan secara agresif. Di kawasan Timur Tengah, Iran dan Israel termasuk negara yang membangun kemampuan rudal balistik baik sebagai sistem pertahanan maupun instrumen proyeksi kekuatan.
Penyebaran ini menunjukkan bagaimana warisan teknologi dari masa von Braun terus bertransformasi dan direplikasi lintas benua, menjelma menjadi simbol supremasi teknologi sekaligus instrumen kekuatan geopolitik. Dari roket mesiu Tiongkok hingga rudal balistik antarbenua, perjalanan panjang itu merekam paradoks antara kecanggihan rekayasa dan jejak konflik yang menyertainya.
Referensi:
1. Center for Strategic and International Studies. (2024). Missile Threat: Shahab-3 (Iran). Retrieved from https://missilethreat.csis.org/missile/shahab-3/
2. Missile Defense Advocacy Alliance. (2023). Iranian Ballistic Missile Program Overview. Retrieved from https://missiledefenseadvocacy.org/missile-threat-and-proliferation/todays-missile-threat/iran/
3. NASA. (2023). Wernher von Braun. Retrieved from https://www.nasa.gov/people/wernher-von-braun/
4. Neufeld, M. J. (2007). Wernher von Braun’s Ultimate Weapon. Bulletin of the Atomic Scientists, 63(6), 41–47.
5. Wall, M. (2023). V-2 Rocket: The Nazi Missile that Launched the Space Age. Retrieved from https://www.space.com/v2-rocket