18 Juni 2024
18:00 WIB
Kisah Garam Himalaya Hingga Krayan
Umumnya garam yang kita kenal berasal dari laut. Namun faktanya garam pun bisa berasal dari gunung, seperti kisah garam Himalaya hingga Krayan yang terletak di wilayah berbeda.
Penulis: Bayu Fajar Wirawan
Editor: Rikando Somba
Foto kristal garam merah muda khas Himalaya
Asam di gunung, garam di laut bertemu dalam satu belanga. Begitulah bunyi peribahasa yang bermakna bahwa jodoh seseorang walaupun berada di jarak yang jauh, akhirnya pasti bertemu juga. Nampaknya peribahasa tersebut tidak berlaku pada Garam Himalaya Pakistan ataupun Garam Krayan yang berasal dari Nunukan Kalimantan Utara, Indonesia.
Mengapa begitu? Karena garam-garam tersebut tidak berasal dari laut, melainkan dari gunung. Lantas bagaimana ceritanya sehingga garam gunung tersebut bisa terbentuk?
Garam Himalaya
Meskipun disebut sebagai garam Himalaya, sebetulnya garam ini tidak berasal dari Himalaya. Garam ini justru ditambang dari kawasan yang berjarak sekitar 186 mil dari Himalaya.
Garam Himalaya ditambang dari Khewra yang terletak di terletak di kaki pegunungan Salt Range yang merupakan bagian dari pegunungan Himalaya, wilayah punjap Pakistan. Dengan luas 110 km², tambang Garam Khewra adalah tambang garam terbesar kedua di dunia yang menghasilkan sekitar 400.000-ton garam per tahunnya. Sekitar seperempat dari jumlah garam tersebut dikirim ke India dalam bentuk mentah tanpa label yang dijual dengan harga sekitar US$40 per tonnya.
Di India garam ini diolah sedemikian rupa hingga tampak indah dan menarik. Lalu dijual dengan harga yang berlipat ganda dibandingkan jenis garam pada umumnya. Dari India inilah garam yang sejatinya ditambang di Pakistan dikenal dengan nama garam Himalaya.
Garam Himalaya, juga dikenal sebagai garam merah muda atau garam batu. Garam unik ini ditambang dari tambang garam Khewra di Pakistan. Tambang garam ini, tempat utama penambangan garam Himalaya, adalah salah satu tambang garam tertua dan terbesar di dunia.
Endapan garam di wilayah ini dipercaya terbentuk lebih dari 600 juta tahun yang lalu selama era Prakambrium ketika laut purba menguap dan meninggalkan hamparan garam yang luas. Endapan garam kemudian ditutupi oleh lapisan batuan dan sedimen, sehingga menjaganya dari kontaminasi.
Menurut legenda, Alexander Agung adalah orang pertama yang menemukan tambang ini. Alexander Agung adalah Raja Makedonia yang memerintah mulai dari 336-323 sebelum masehi. Ia merupakan penguasa kerajaan yang membentang dari pantai laut Aigea ke India. Pada salah satu pertempurannya yang paling ganas melawan Raja Porus di sungai Jelum di Punjap Modern pada 326 tahun sebelum masehi, Alexander menemukan kuda-kuda bala tentaranya menjilat batu-batu dan menemukan batu-batu yang terasa asin.
Meskipun Alexander dan pasukannya menemukan garam di wilayah punjap lebih dari 2000 tahun yang lalu. Namun Suku Janjua Raja lah yang berhasil melakukan penambangan garam secara komersil di wilayah Khewra tersebut pada abad ke-13. Dan membuatnya menjadi tambang garam terbesar kedua di dunia.
Garam Himalaya telah digunakan selama berabad-abad oleh masyarakat setempat untuk memasak, tujuan pengobatan, dan bahkan sebagai mata uang. Itu juga diperdagangkan di sepanjang jalur garam kuno yang menghubungkan wilayah Himalaya dengan wilayah lain di Asia. Batuan garam Himalaya terdiri dari natrium klorida, yang menyumbang sekitar 98% komposisi kimianya, 2% sisanya terdiri dari mineral, termasuk kalsium, magnesium, potasium, dan zat besi, yang memberi warna merah jambu yang khas pada garam.
Mineral ini diyakini lebih mudah diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh dibandingkan dengan bentuk garam lainnya, meski jumlah sebenarnya yang ada dalam garam Himalaya relatif kecil.
Garam Himalaya digunakan dalam berbagai cara, baik dalam bidang kuliner maupun non-kuliner. Dalam masakan, sering digunakan sebagai bumbu atau garam akhir, menambahkan rasa halus dan sedikit warna pada masakan. Garam juga dapat digunakan untuk membuat balok atau piring garam untuk memasak dan menyajikan makanan, karena garam dapat menahan panas dengan baik dan memberikan rasa yang unik pada makanan.
Di luar dapur, garam Himalaya digunakan dalam perawatan spa, seperti mandi garam dan scrub garam, karena konon memiliki khasiat meremajakan kulit. Ini juga digunakan pada lampu dan tempat lilin, dimana panas dari sumber cahaya dikatakan melepaskan ion negatif yang dapat meningkatkan kualitas udara dan suasana hati. Dengan kandungan mineral dan komposisinya yang unik, Garam Himalaya diklaim dapat memberikan beberapa manfaat kesehatan seperti; peningkatan keseimbangan elektrolit, hidrasi, dan asupan mineral. Walaupun bukti ilmiah yang mendukung klaim ini masih terbatas.
Lalu bagaimana dengan garam gunung di Indonesia? Apakah negara kita juga memilikinya? Ya, negara kita juga memiliki garam yang berasal dari gunung. Salah satunya berasal dari Krayan, Nunukan, Kalimantan Utara.
Bagaimana kisahnya?
Garam Krayan
Garam Krayan, atau garam gunung, berasal dari mata air garam di Dataran Tinggi Krayan. Air dengan salinitas tinggi ini mengalir dari dalam tanah, terperangkap jutaan tahun yang lalu ketika daerah tersebut masih tertutupi oleh laut. Saat ini, ada 33 mata air garam yang diketahui di Dataran Tinggi Krayan, tetapi tidak semuanya digunakan untuk memproduksi garam Krayan yang dikenal lokal sebagai Tucu.
Ada dua jenis garam dasar yang dihasilkan pada garam krayan yaitu: garam yang berbentuk bubuk dengan kristal halus dan yang lainnya berbentuk kristal yang lebih kasar. Pada garam kasar berwarna putih, sedangkan pada garam halus berwarna abu-abu. Keduanya memiliki rasa yang lebih lembut dibandingkan garam laut.
Garam Krayan mengandung sejumlah besar yodium, dan telah disukai oleh masyarakat setempat selama berabad-abad. Garam ini digunakan baik dalam memasak, mengawetkan daging dan ikan, dan sebagai garam meja. Seperti halnya di Himalaya, penduduk setempat mempercayai bahwa garam ini dapat menyembuhkan penyakit kulit dan mendisinfeksi luka kecil.
Legenda setempat mengatakan bahwa garam krayan ditemukan oleh seorang pemburu. Dikisahkan bahwa setelah pemburu menembak seekor burung dengan sumpitannya, hewan buruan itu jatuh ke daerah rawa di hutan. Pemburu memungutnya, mencabut bulunya dan mencucinya di air rawa, lalu pulang ke rumah.
Di rumah, ia memasak burung itu di atas api dan terkejut dengan rasa dagingnya yang beraroma, yang belum pernah ia cicipi sebelumnya. Dia kembali ke tempat dia berburu dan dia melihat sekeliling untuk mencari tahu mengapa burung itu terasa begitu gurih. Dia mencicipi air rawa dan menyadari bahwa airnya berbeda. Setelah peristiwa itu, orang-orang mulai menggunakan air tersebut untuk memasak makanan hingga mereka menemukan cara untuk menguapkan air dan menggunakan kristal garam.
Proses pembuatan garam krayan melibatkan perebusan air dari mata air garam gunung. Garam ini kemudian dikemas dalam tabung bambu yang dikeringkan dengan api dan dapat bertahan selama beberapa tahun. Metode produksi garam krayan dikembangkan secara tradisional, dengan menggunakan drum logam untuk memasak garam dalam jumlah besar agara waktu pengolahan lebih singkat.
Di Krayan, Beberapa mata air garam adalah milik masyarakat, dan sebagian lainnya milik keluarga. Dalam kasus terakhir, sebagian dari garam yang dihasilkan diberikan kepada keluarga yang mempunyai hak adat atas mata air garam sebagai tanda penghormatan dan pengakuan. Sebagian garam yang dihasilkan selanjutnya diasapi dalam batang bambu di atas api dan dibungkus dengan daun ilad (dari genus Licuala) atau daun lontar deremah (Arenga undullatifolia) dan diikat dengan tali.
Ini adalah cara tradisional menyimpan garam, yang kemudian disimpan di antara tumpukan kayu bakar di atas perapian di dapur. Paket kecil juga diberikan sebagai oleh-oleh kepada tamu atau dijual kepada pengunjung Kalimantan bagian ini.
Garam Krayan selain dapat mencegah penyakit gondok berkat kandungan yodiumnya, Ia juga memiliki nilai ekonomi. Garam yang dihasilkan dari pegunungan Krayan, sejauh ini sudah telah dipasarkan oleh penduduk lokal hingga ke Malaysia. Di Malaysia, Garam Krayan dijual dengan harga mencapai 20-ringgit atau setara dengan 68 ribu rupiah per kilogram.
Dari hasil usaha produksi garam gunung ini, banyak masyarakat yang menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi. Walaupun proses pemasarannya melalui liku-liku yang cukup berat dikarenakan daerah Krayan yang masih dengan akses terisolir yang kurang baik.
Referensi:
Himalyan Salt: Is It Good for Your Health? Benefits and Risks (webmd.com)
Himalayan Salt: History, Composition, Uses, and Benefits - Select Salt
Why is it called himalayan sea salt? - Chef's Resource (chefsresource.com)
Mountain Salt | WWF (panda.org)
Rice, salt, and indigenous food biodiversity in the Krayan Highlands - Slow Food
Krayan Highlands Mountain Salt - Arca del Gusto - Slow Food Foundation (fondazioneslowfood.com)