c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

CATATAN VALID

27 September 2025

17:42 WIB

Ketahanan Iklim: Perisai Indonesia Di Tengah Badai Global

Ketahanan iklim menjadi kunci menghadapi krisis iklim di Indonesia. Dari banjir rob hingga kekeringan, adaptasi iklim penting untuk menjaga kehidupan tetap berlanjut.

Penulis: Bayu Fajar Wirawan

Editor: Rikando Somba

<p>Ketahanan Iklim: Perisai Indonesia Di Tengah Badai Global</p>
<p>Ketahanan Iklim: Perisai Indonesia Di Tengah Badai Global</p>

Ilustrasi Perubahan Iklim. Shutterstock/kwest

Pernahkah Anda memperhatikan rumah-rumah di pesisir utara Jakarta? Sobat Valid tentu memperhatikan, dinding-dindingnya menjulang tinggi, tampak tak lazim bagi mata awam. 

Apakah itu sekadar gaya arsitektur? Tentu tidak. Ketinggian dinding itu adalah bentuk perlawanan warga terhadap air laut yang saban hari kian merangsek ke daratan.

Banjir rob kini bukan lagi peristiwa luar biasa—ia telah menjadi rutinitas. Jalanan dipasangi tanggul darurat, pompa air bekerja tanpa henti, dan sebagian permukiman bahkan harus ditinggalkan. Jakarta, kota megapolitan dengan lebih dari 10 juta jiwa, hidup dalam bayang-bayang air asin yang tak pernah surut.

Di belahan lain negeri, Nusa Tenggara Timur menghadapi ancaman berbeda namun tak kalah genting: kekeringan panjang. Sumur-sumur mengering, musim tanam bergeser, dan ribuan keluarga hanya bisa menggantungkan harapan pada bantuan air bersih.

Dua kisah ini menyingkap satu kenyataan yang tak terbantahkan: krisis iklim bukanlah ancaman di masa depan. Ia sudah hadir dalam kehidupan sehari-hari, menempatkan Indonesia di garis depan kerentanan global.

Apa Itu Ketahanan Iklim?                               

Di tengah badai ini, konsep ketahanan iklim (climate resilience) menjadi kunci. Pertanyaannya: bagaimana bangsa sebesar Indonesia dapat bertahan, beradaptasi, bahkan tumbuh di tengah gempuran perubahan iklim?

Menurut IBM Climate resilience, ketahanan iklim adalah kemampuan ekosistem, masyarakat, atau bisnis untuk mengantisipasi, mempersiapkan, dan menanggapi dampak perubahan iklim. Sistem yang tangguh mampu mempertahankan fungsi-fungsi penting sekaligus menyesuaikan diri dengan kondisi baru yang ditimbulkan perubahan iklim.

Ketahanan iklim bukan hanya soal mencegah bencana. Ia menyangkut bagaimana masyarakat tetap dapat melanjutkan kehidupan, menjaga roda ekonomi, dan mempertahankan warisan budaya, meski diterpa gelombang perubahan yang tak terduga.

Dalam kajian pembangunan, ketahanan iklim dipandang sebagai pilar utama keberlanjutan. Ia menjadi penghubung antara mitigasi, adaptasi, dan resiliensi sosial. Tanpa fondasi ini, pembangunan bisa runtuh hanya oleh satu musim kering yang berkepanjangan atau satu banjir besar yang melumpuhkan.

Wajah Krisis Iklim Global                        

Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa dalam tiga dekade terakhir, suhu rata-rata Indonesia naik sekitar 0,5°C. Dampaknya nyata: pola hujan bergeser, musim kemarau memanjang, dan curah hujan ekstrem makin sering terjadi.

Ancaman lain datang dari kenaikan permukaan laut akibat mencairnya es kutub. Bank Dunia memperkirakan sekitar 110 juta penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir rendah yang berisiko tenggelam pada akhir abad ini jika emisi gas rumah kaca tidak ditekan. Kondisi ini memperburuk kerentanan masyarakat miskin, yang dengan sekali gagal panen atau satu bencana besar dapat kehilangan seluruh penghidupannya.

Ketahanan Iklim: Lebih dari Sekadar Bertahan                                                         

Di tengah gempuran perubahan iklim yang semakin nyata, istilah ketahanan iklim atau climate resilience menjadi semakin relevan dan mendesak untuk dipahami. Konsep ini bukan sekadar tentang bertahan menghadapi bencana, melainkan tentang bagaimana masyarakat, ekosistem, dan sistem ekonomi mampu beradaptasi—bahkan tumbuh—di tengah kondisi yang terus berubah.

Ketahanan iklim sendiri mencakup tiga dimensi utama yang saling berkaitan:

  1. Kesiapsiagaan terhadap risiko yang telah teridentifikasi Misalnya, membangun infrastruktur tahan banjir, memperkuat tanggul pesisir, atau menerapkan sistem peringatan dini yang responsif. Langkah-langkah ini bukan hanya protektif, tetapi juga preventif.
  2. Kemampuan untuk pulih dengan cepat setelah bencana Contohnya melalui skema asuransi pertanian yang melindungi petani dari gagal panen, atau dana darurat daerah yang memungkinkan pemulihan sosial dan ekonomi secara cepat dan terarah.
  3. Adaptasi jangka panjang yang berkelanjutan Seperti mengubah pola tanam sesuai iklim baru, memperkenalkan teknologi irigasi hemat air, atau merelokasi permukiman dari zona rawan ke wilayah yang lebih aman dan produktif.

Belajar dari Lapangan                                  

Di berbagai penjuru Indonesia, komunitas lokal mulai membuktikan bahwa ketahanan iklim bukan sekadar konsep di atas kertas, melainkan praktik nyata yang bisa menyelamatkan kehidupan.

Di Semarang, pemerintah kota membangun tanggul laut raksasa (sea wall) untuk menahan serbuan rob. Tidak berhenti di situ, tambak-tambak ikan yang selama ini terancam tenggelam direvitalisasi dengan pendekatan ekowisata. Hasilnya, nelayan tidak hanya bisa melanjutkan mata pencaharian mereka, tetapi juga memperoleh peluang baru dari sektor wisata.

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), desa-desa yang kerap dilanda kekeringan berinovasi dengan sistem panen air hujan. Air yang ditampung dalam bak penampungan besar pada musim penghujan menjadi penyelamat ketika musim kemarau panjang tiba. Praktik sederhana ini terbukti mampu menjaga ketersediaan air bersih untuk ribuan keluarga.

Sementara itu, di Yogyakarta, para petani menyesuaikan pola tanam mereka. Dengan sistem tanam bergilir yang lebih adaptif terhadap cuaca ekstrem, risiko gagal panen dapat ditekan, sehingga ketahanan pangan tetap terjaga meski iklim makin sulit diprediksi.

Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa ketahanan iklim berakar dari banyak sumber: keputusan strategis negara, terobosan ilmiah, dan kebijaksanaan komunitas. Semuanya berpadu untuk menjaga agar kehidupan tetap berjalan meski iklim tak lagi bersahabat.

Jalan Panjang Menuju Ketahanan Iklim  

Meski berbagai inisiatif telah bermunculan di seluruh penjuru negeri, jalan menuju Indonesia yang benar-benar tangguh terhadap iklim masih panjang dan penuh tantangan. Ketahanan iklim bukan hanya soal niat baik, tetapi juga soal kapasitas nyata untuk bertindak secara sistematis dan berkelanjutan.

Setidaknya ada tiga tantangan utama yang perlu dihadapi:

  1. Pertama, soal pendanaan. Banyak daerah kesulitan mengalokasikan anggaran khusus untuk adaptasi iklim. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) lebih sering terserap untuk kebutuhan rutin, sehingga ruang fiskal untuk inovasi iklim menjadi sangat terbatas.
  2. Kedua, ketimpangan kapasitas antar wilayah. Tidak semua daerah memiliki tenaga ahli, data iklim yang akurat, atau teknologi yang memadai untuk merancang strategi adaptasi. Akibatnya, respons terhadap risiko iklim menjadi tidak merata dan cenderung reaktif.
  3. Ketiga, rendahnya kesadaran publik. Masih banyak masyarakat yang memandang banjir, kekeringan, atau longsor sebagai “takdir alam,” bukan sebagai bagian dari pola krisis iklim global yang bisa dipahami dan diantisipasi. Tanpa pemahaman yang kuat, partisipasi masyarakat dalam adaptasi pun menjadi terbatas.

Jika hambatan-hambatan ini tidak segera diatasi, maka upaya membangun ketahanan iklim akan sulit berjalan efektif. Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih terintegrasi—menggabungkan kebijakan, pembiayaan, kapasitas teknis, dan kesadaran kolektif—agar mampu bertahan dan berkembang di tengah dunia yang terus berubah.

Mengubah Ancaman Menjadi Peluang  

Krisis iklim membawa ancaman besar bagi kehidupan dan pembangunan. Namun di balik ketidakpastian itu, terbuka peluang untuk membangun masa depan yang lebih tangguh dan berkelanjutan.

Investasi dalam energi terbarukan, transportasi ramah lingkungan, dan pertanian adaptif bukan hanya solusi bagi lingkungan—mereka juga menjadi penggerak ekonomi baru. Transisi menuju ekonomi hijau membuka ruang bagi inovasi, efisiensi, dan keadilan sosial yang lebih luas.

Laporan dari lembaga internasional seperti International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa peralihan menuju ekonomi hijau berpotensi menciptakan jutaan lapangan kerja baru di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sektor-sektor seperti energi surya, pengelolaan limbah, dan pertanian cerdas iklim menawarkan peluang kerja yang berkelanjutan dan inklusif.

Ketahanan iklim bukan semata soal bertahan dari krisis. I

Ia adalah strategi untuk membentuk masa depan yang lebih adil, sejahtera, dan berdaya lenting—di mana masyarakat tidak hanya selamat, tetapi juga berkembang di tengah perubahan.

Karena itu, ketahanan iklim harus menjadi arus utama dalam pembangunan nasional, bukan sekadar pelengkap. Ia harus hadir dalam anggaran, perencanaan, pendidikan, dan partisipasi publik. Tanpa itu, pembangunan hanya akan menjadi mimpi yang rapuh. Tapi dengan itu, Indonesia bisa menjadi bangsa yang tak hanya selamat dari krisis, tetapi juga memimpin perubahan menuju dunia yang lebih berkelanjutan.

 

Referensi:

  1. https://www.ibm.com/id-id/think/topics/climate-resilience  https://www.c2es.org/document/what-is-climate-resilience-and-why-does-it-matter/
  2. chrome extension://efaidnbmnnnibpcajpcglclefindmkaj/https://www.c2es.org/wp-content/uploads/2019/04/what-is-climate-resilience.pdf                         3.  chrome extension://efaidnbmnnnibpcajpcglclefindmkaj/https://lcdi-indonesia.id/wp-content/uploads/2021/11/1_List-of-Priority-Locations-Climate-Resilience-Actions.pdf

KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar