28 April 2025
13:00 WIB
Jejak Panjang Transportasi Bus Di Indonesia
Dari masa kolonial hingga era digital, bus menjadi bagian penting dalam transportasi dan mobilitas masyarakat Indonesia yang mencerminkan perubahan sosial, ekonomi, hingga kemajuan teknologi.
Penulis: Devi Rahmawati
Editor: Rikando Somba
PO bus Primadona merilis Skylander Double Decker buatan Karoseri New Armada sebagai double decker bus terbaik miliknya pada Januari 2022. Shutterstock/Melvin hilman
Transportasi umum merupakan bagian penting dari infrastruktur suatu negara, dan bus menjadi salah satu moda transportasi yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia sejak lama. Perjalanan sejarah bus di Indonesia menyimpan kisah yang tak hanya soal pergerakan fisik dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga tentang perubahan sosial, ekonomi, hingga budaya masyarakat.
Dari masa kolonial hingga era modern, bus telah mengalami banyak perubahan yang mencerminkan perkembangan zaman. Yuk, simak perkembangan bus di bawah ini.
Bus di Masa Kolonial dan Pasca Kemerdekaan
Penggunaan bus di Indonesia dimulai pada masa penjajahan Belanda, sekitar awal abad ke-20. Saat itu, kendaraan bermotor masih langka, dan mobil pribadi menjadi simbol status kaum elit. Namun, pemerintah kolonial dan perusahaan swasta mulai memperkenalkan angkutan massal, termasuk bus, di kota-kota besar seperti Batavia (sekarang Jakarta), Surabaya, dan Bandung.
Bus pada masa itu dioperasikan oleh perusahaan Belanda dan difungsikan sebagai pelengkap sistem trem listrik yang lebih dulu populer. Sejak kebutuhan akan mobilitas masyarakat semakin meningkat, bus perlahan mulai mengisi peran penting dalam transportasi antarkota dan pedesaan.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 1945, pemerintah mulai mengembangkan sistem transportasi nasional. Beberapa perusahaan bus mulai bermunculan, baik milik negara maupun swasta. Salah satu yang paling terkenal adalah Perum DAMRI (Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia) yang berdiri pada 1946. Awalnya melayani pengangkutan logistik untuk tentara dan rakyat, DAMRI kemudian berkembang menjadi operator bus antarkota dan dalam kota yang penting di Indonesia.
Masa Keemasan Bus Antarkota
Dekade 1970–1990-an bisa dibilang sebagai masa keemasan bagi angkutan bus antarkota. Pada masa itu, infrastruktur jalan mulai berkembang, termasuk pembangunan jalan raya lintas Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Hal ini memungkinkan banyak perusahaan otobus (PO) bermunculan dan melayani trayek antarkota antarprovinsi (AKAP) maupun dalam provinsi (AKDP).
PO legendaris, seperti PO Harapan Jaya, PO Sinar Jaya, PO Kramat Djati, dan PO Rosalia Indah mulai mendapat tempat di hati masyarakat. Mereka menawarkan berbagai kelas layanan, dari ekonomi hingga eksekutif, dengan armada yang semakin modern dan nyaman.
Pada saat itu, tiket bus jauh lebih terjangkau dibandingkan moda transportasi udara yang masih terbatas dan mahal. Oleh karena itu, banyak warga, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera, mengandalkan bus untuk bepergian jauh, termasuk mudik saat Lebaran.
Tantangan dan Transformasi Bus
Memasuki abad ke-21, bus mulai menghadapi tantangan baru. Pertama, perkembangan pesat industri penerbangan dengan munculnya maskapai berbiaya rendah (low cost carrier) seperti Lion Air pada awal 2000-an membuat masyarakat beralih dari bus ke pesawat karena waktu tempuh lebih cepat.
Kedua, pertumbuhan kendaraan pribadi dan kemacetan yang makin parah di kota-kota besar membuat layanan bus dalam kota menjadi kurang efisien dan tidak lagi menarik bagi masyarakat kelas menengah. Walau begitu industri bus mati tidak mati suri.
Sebaliknya, banyak operator mulai melakukan transformasi. PO bus mulai meningkatkan standar armada mereka, dari sisi kenyamanan, keselamatan, hingga layanan. Bus sleeper, double decker, bahkan armada dengan hiburan pribadi seperti layar LCD dan WiFi mulai diperkenalkan.
Di sisi lain, sistem bus kota juga mengalami perubahan sejak tahun 2004, saat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meluncurkan TransJakarta, dengan sistem Bus Rapid Transit (BRT) pertama di Asia Tenggara. Sistem ini mengadopsi konsep jalur khusus (busway), halte tertutup, dan pembayaran non-tunai yang mirip dengan sistem metro di kota-kota besar dunia.
TransJakarta menjadi model baru bagi sistem transportasi publik berbasis bus di Indonesia. Keberhasilannya mendorong kota-kota lain seperti Bandung (Trans Metro Bandung), Yogyakarta (Trans Jogja), Solo (Batik Solo Trans), dan Makassar (Trans Mamminasata) untuk mengembangkan sistem BRT serupa.
Sistem ini tidak hanya meningkatkan efisiensi dan kecepatan transportasi, tapi juga mendorong masyarakat kota untuk kembali menggunakan angkutan umum, serta membantu mengurangi emisi karbon dari kendaraan pribadi.
Perkembangan teknologi digital turut merevolusi industri transportasi bus. Pemesanan tiket kini bisa dilakukan melalui aplikasi dan situs resmi PO bus masing-masing. Beberapa PO juga sudah menerapkan sistem e-ticketing dan pelacakan bus secara real-time. Selain itu, isu keberlanjutan menjadi perhatian penting. Beberapa operator dan pemerintah daerah mulai menguji coba penggunaan bus listrik, seperti di Jakarta dan Surabaya. Ini menjadi langkah awal menuju transportasi yang ramah lingkungan dan hemat energi.
Referensi: