01 Oktober 2025
14:00 WIB
Ini lah 6 Eco-Village di Indonesia Yang Wajib Jadi Contoh Desa Berkelanjutan
Setidaknya ada enam eco-village di Indonesia yang layak dijadikan contoh oleh desa-desa lainnya di Indonesia untuk menjaga kelestarian lingkungan. Tertarik mengunjunginya, Sobat Valid?
Penulis: Oktarina Paramitha Sandy
Editor: Rikando Somba
Homestay pertanian ramah lingkungan dengan hamparan sawah di Thailand tengah, hamparan sawah selama musim hujan di Thailand. Sepasang pria dan wanita sedang berlibur di sebuah pertanian. Shutterstock/fokke baarssen.
Kalau kamu perhatikan situasi saat ini, konsep eco-village terasa makin relevan. Perubahan iklim global membuat banyak desa harus beradaptasi dengan cuaca ekstrem, krisis air, hingga degradasi lahan.
Di sisi lain, Indonesia punya komitmen untuk mencapai target Sustainable Development Goals (SDGs), yang salah satu fokusnya adalah pembangunan desa berkelanjutan.
Nah, eco-village bisa menjadi strategi nyata untuk mendukung upaya tersebut. Saat ini di Indonesia sudah banyak desa-desa yang mulai mengadopsi konsep eco-village untuk mendukung keberlanjutan lingkungan.
Konsep ini sendiri hadir sebagai jawaban atas berbagai tantangan zaman. Secara sederhana, eco-village adalah pemukiman yang dibangun dengan prinsip keberlanjutan.
Praktiknya bisa Sobat Valid lihat dari berbagai aspek, mulai dari pengelolaan sampah rumah tangga, penerapan pertanian organik yang bebas bahan kimia, penggunaan energi hemat dan bersih, hingga pelestarian budaya lokal yang sudah diwariskan turun-temurun.
Yang membuat konsep ini semakin menarik adalah kenyataan bahwa eco-village tidak hanya berfokus pada lingkungan. Konsep ini juga mencakup bagaimana masyarakat bisa mandiri secara ekonomi, memiliki peluang usaha baru, dan tetap menjaga identitas budaya yang mereka banggakan.
Dengan begitu, desa bukan sekadar tempat tinggal, melainkan ruang hidup yang sehat, produktif, dan berdaya.
Dikutip dari penelitian berjudul Increasing Resilience, Sustainable Village Development and Land Use Change in Tarumajaya Village of Indonesia (2024), pembangunan desa berkelanjutan di Indonesia memiliki peran besar dalam meningkatkan ketahanan masyarakat, terutama ketika menghadapi perubahan penggunaan lahan dan tekanan lingkungan yang semakin kompleks.
Hal ini menegaskan bahwa eco-village bukan sekadar tren hijau yang viral sesaat, melainkan strategi jangka panjang yang mampu menjawab tantangan zaman sekaligus memberi arah baru bagi pembangunan desa di Indonesia.
Kabar baiknya, Sobat Valid tidak perlu jauh-jauh mencari contoh nyata penerapan desa ramah lingkungan ini. Di berbagai wilayah, sudah ada banyak desa yang berhasil menerapkan prinsip eco-village sesuai dengan kondisi dan potensi lokal mereka.
Setiap desa punya cerita unik yang memperlihatkan bagaimana prinsip keberlanjutan bisa diwujudkan dengan cara yang berbeda. Ada desa yang menjaga tata ruang adatnya tetap lestari agar lingkungan tetap seimbang.
Ada juga desa yang memanfaatkan sumber daya air, bukan hanya untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi sekaligus dikembangkan menjadi objek wisata yang memberdayakan ekonomi warga.

Kini ada enam eco-village di Indonesia yang layak dijadikan contoh oleh desa-desa lainnya di Indonesia untuk menjaga kelestarian lingkungan. Keenam desa ini bukan hanya berhasil menjaga lingkungan saja loh, tetapi juga mampu mengangkat ekonomi warganya sekaligus melestarikan budaya lokal. Berikut enam desa yang wajib kamu ketahui!
1. Desa Penglipuran, Bali
Kalau bicara desa yang paling menonjol dalam hal eco-village di Indonesia, Desa Penglipuran di Kabupaten Bangli, Bali, hampir selalu muncul di urutan teratas. Desa adat ini bukan cuma menjaga arsitektur tradisional Bali dan tata ruangnya yang rapi, tapi juga menjalankan prinsip hidup bersih dan harmonis dengan alam dengan sangat konsisten.
Desa ini, berhasil mempertahankan sistem ruang publik dan pekarangan rumah tangga yang dirawat secara teliti. Tanaman lokal tumbuh di mana-mana, mulai dari halaman rumah, sepanjang jalan kecil, dan di area publik.
Sampah plastik berserakan? Hampir tidak akan kamu jumpai karena kebijakan lokal dan kesadaran masyarakat desa yang sama-sama kuat. Sampah plastik diolah atau diminimalkan, sementara sampah organik banyak yang diubah menjadi kompos oleh warga sendiri. Keindahan alami desa serta kebersihan lingkungan bukan cuma untuk menarik wisatawan, melainkan jadi bagian dari budaya sehari-hari.
Upaya ini juga semakin kuat dikarenakan filosofi hidup masyarakat di desa ini yang dibangun berdasarkan Tri Hita. Di mana, harmoni antara manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan sesama. Penduduk setempat dan lembaga adat memiliki aturan lokal (“awig-awig”) yang mengatur bagaimana penggunaan ruang, pembangunan bangunan, hingga kelestarian lingkungan. Hukum adat ini tidak hanya simbol, tetapi benar-benar dijalankan dan diawasi oleh warga.
Dikutip dari penelitian Strategi Keberlanjutan pada Desa Wisata Adat Penglipuran, Bali tahun 2023, strategi keberlanjutan yang diterapkan di desa ini ternyata memiliki empat pilar utama yang saling melengkapi.
Pertama, Physical Element, yaitu upaya mempertahankan tata ruang desa tradisional yang sudah diwariskan sejak ratusan tahun lalu. Setiap rumah dibangun dengan pola yang seragam, menggunakan material ramah lingkungan, serta menghadap ke arah tertentu sesuai filosofi Hindu Bali.
Kedua, Worthy Environment, yang berfokus pada pelestarian lingkungan hidup. Desa Penglipuran masih memiliki hutan bambu luas yang berfungsi sebagai penyangga ekosistem, penyedia air bersih, dan penahan erosi tanah. Warga desa secara kolektif menjaga kawasan ini, mulai dari mengatur pemanfaatan bambu secara berkelanjutan sampai melakukan reboisasi ketika ada tanaman yang ditebang.
Ketiga, Culture, yang berakar pada filosofi Tri Hita Karana. Nilai ini menekankan keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam.
Praktiknya terlihat jelas: warga aktif bergotong royong membersihkan desa, memelihara pura sebagai pusat spiritual, dan menjaga hubungan sosial yang harmonis. Terakhir, Economic Growth, di mana desa memanfaatkan potensi pariwisata tanpa kehilangan identitas lokal. Warga didorong untuk membuka usaha berbasis kearifan lokal, seperti kerajinan bambu, homestay tradisional, dan kuliner khas Bali. Hasilnya, ekonomi desa bertumbuh tanpa harus mengorbankan lingkungan atau budaya.
2. Desa Ponggok, Klaten
Kalau kamu pernah mendengar tentang Umbul Ponggok, mungkin kamu sudah bisa menebak bagaimana desa ini berhasil bangkit dari keterbatasan. Desa Ponggok, yang berada di Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, dulunya identik dengan kemiskinan dan minimnya akses air bersih.
Warga desa hidup dari sektor pertanian yang hasilnya tidak selalu stabil, sementara sumber daya yang ada belum dimanfaatkan secara optimal.
Semua berubah ketika masyarakat bersama Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) memutuskan untuk mengelola Umbul Ponggok, sebuah mata air alami yang jernih dengan debit air melimpah.
Melalui pengelolaan yang berbasis komunitas, Umbul Ponggok kini berkembang menjadi destinasi wisata air tawar yang terkenal secara nasional.
Uniknya, kolam alami ini bukan hanya digunakan untuk berenang atau snorkeling, tetapi juga menghadirkan pengalaman wisata bawah air dengan berbagai properti foto yang dipasang di dasar kolam. Inovasi sederhana ini menjadikan Umbul Ponggok sebagai magnet wisata, terutama di era media sosial.
Namun keberhasilan Ponggok tidak berhenti di daya tarik visual semata. Pengelolaan destinasi ini membawa dampak ekonomi nyata bagi masyarakat. Pendapatan yang diperoleh dari sektor wisata tidak hanya dinikmati oleh pengelola, tetapi juga dibagikan kembali untuk kepentingan bersama.
Dana yang terkumpul digunakan untuk perbaikan infrastruktur desa, penyediaan beasiswa pendidikan, program kesehatan, hingga bantuan sosial bagi warga yang membutuhkan. Dengan begitu, seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan manfaat dari berkembangnya pariwisata desa.
Dikutip dari penelitian Kajian Potensi dan Permasalahan Desa Ponggok sebagai Desa Wisata (2022), keberhasilan Ponggok tidak bisa dilepaskan dari model pengelolaan berbasis masyarakat.
Artinya, warga desa tidak hanya menjadi penonton dalam perkembangan wisata, tetapi juga terlibat langsung sebagai pengelola, pekerja, dan sekaligus penerima manfaat. Dengan sistem ini, rasa memiliki terhadap Umbul Ponggok tumbuh kuat, sehingga setiap warga merasa berkewajiban untuk menjaga kelestarian sumber daya air sekaligus mengembangkan potensi wisata.
Keberhasilan Ponggok bukan berarti tanpa tantangan. Salah satu isu penting adalah ketersediaan infrastruktur penunjang, seperti akses jalan menuju lokasi wisata, fasilitas parkir, serta sarana penunjang kenyamanan wisatawan.
Jika kebutuhan dasar ini tidak ditingkatkan, risiko yang muncul adalah turunnya minat kunjungan akibat terbatasnya fasilitas, yang pada akhirnya bisa menghambat keberlanjutan desa wisata.
Bisa dikatakan, desa ini pantas menjadi model desa wisata berkelanjutan, diperlukan sinergi lebih kuat antara masyarakat, pemerintah desa, dan pemangku kebijakan di tingkat kabupaten hingga provinsi.
Dukungan regulasi, pelatihan sumber daya manusia, dan pendampingan teknologi wisata berbasis digital menjadi faktor penting agar Ponggok tidak hanya dikenal sebagai destinasi populer, tetapi juga mampu menjaga konsistensi kualitas layanan wisata dalam jangka panjang.
3. Desa Cibodas, Bandung
Desa Cibodas di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, menjadi contoh menarik bagi kamu yang tertarik pada pertanian organik dan hidup berkelanjutan. Desa ini mengembangkan agrowisata ramah lingkungan, di mana para pengunjung bukan hanya sebagai penonton, tapi bisa ikut langsung dalam kegiatan pertanian, mulai dari proses penanaman hingga panen.
Desa ini cukup terkenal karena memiliki sejumlah kebun sayur organik dan hortikultura, yang dikelola oleh warga lokal untuk menyediakan produk sehat guna konsumsi dan untuk wisata edukatif.
Ada juga program edukasi tentang pengolahan kompos, hemat air, serta pemanfaatan energi alternatif, yang dirancang agar para petani dan wisatawan sama-sama belajar. Kegiatan ini dikelola oleh masyarakat desa dengan dukungan lembaga pemerintah lokal dan pelatihan sumber daya manusia yang rutin.
Yang membuat Cibodas makin istimewa adalah komitmen terhadap edukasi lingkungan. Sekolah-sekolah dan komunitas dari kota besar seperti Bandung dan Jakarta sering sekali menjadikan desa ini tujuan studi wisata.
Di sini, Sobat Valid bisa melihat anak-anak belajar tentang ekosistem tanah, penggunaan pupuk alami, atau bagaimana meminimalkan limbah pertanian. Wisatawan juga tertarik datang bukan hanya untuk menikmati alam, tapi untuk memahami cara hidup yang lebih sehat dan selaras dengan alam.
Lebih dari itu, agrowisata Cibodas dikelola secara gotong royong oleh masyarakat desa dengan dukungan dari pemerintah daerah serta pelatihan rutin untuk sumber daya manusia. Dukungan ini penting agar desa bisa terus berinovasi sekaligus menjaga kearifan lokal yang sudah diwariskan turun-temurun.
Hasilnya, Cibodas tumbuh menjadi destinasi wisata edukasi yang seimbang: menyenangkan untuk dikunjungi, bermanfaat untuk dipelajari, dan memberi dampak ekonomi yang positif bagi warganya.
Bahkan, berdasarkan yang tertulis pada Strategi Pengembangan Agrowisata di Desa Wisata Cibodas Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (2022), Cibodas digolongkan dalam kondisi “hold and maintain” jika ingin lebih berkembang. Diperlukan promosi yang lebih gencar, peningkatan infrastruktur wisata, inovasi kegiatan, serta pembentukan lembaga pengelola yang lebih terkoordinasi.
Meski begitu, penelitian tersebut juga mengingatkan adanya tantangan berupa fasilitas publik yang belum sepenuhnya memadai, akses jalan yang masih terbatas, serta perlunya dukungan regulasi dan pendanaan.
Hal ini menunjukkan bahwa Cibodas masih memiliki pekerjaan rumah yang cukup besar, namun justru inilah yang membuatnya menarik untuk terus diikuti sebagai model eco-village yang sedang berkembang.
4. Desa Nglanggeran, Gunung Kidul
Kalau kamu ingin melihat bagaimana sebuah desa di Indonesia bisa mendapat pengakuan dunia, maka Desa Nglanggeran di Gunung Kidul, Yogyakarta, adalah contohnya.
Desa ini berhasil meraih penghargaan UNWTO Best Tourism Village 2021, sebuah pencapaian prestisius yang diperebutkan oleh 174 desa dari 75 negara. Prestasi ini menunjukkan bahwa Nglanggeran bukan hanya sekadar destinasi wisata, tetapi juga teladan nyata dalam pembangunan desa berkelanjutan.
Keunikan Nglanggeran terletak pada pengelolaan Gunung Api Purba dengan pendekatan community-based tourism. Artinya, seluruh kegiatan pariwisata di desa ini melibatkan masyarakat sebagai aktor utama. Kamu bisa menemukan warga yang berperan sebagai pemandu wisata, pemilik homestay, hingga penjual kuliner khas desa. Dengan cara ini, pendapatan dari wisata tidak hanya dinikmati segelintir orang, tetapi benar-benar kembali untuk kesejahteraan bersama.
Yang lebih menarik, desa ini tidak hanya mengandalkan wisata alam. Warga juga aktif mengembangkan pertanian organik, program edukasi lingkungan, serta upaya pelestarian sumber daya alam.
Mereka mengelola sampah dengan sistem yang teratur, menjaga ketersediaan air melalui konservasi, dan melakukan penanaman pohon secara rutin. Semua kegiatan itu dijalankan dengan semangat gotong royong, sehingga manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat.
Dikutip dari situs resmi UNWTO, Desa Nglanggeran diakui berkat kemampuannya melibatkan pemuda dalam pariwisata. Anak-anak muda di desa ini tidak hanya menjadi penonton, tetapi benar-benar diberi ruang untuk terlibat dalam berbagai aspek pengelolaan, mulai dari promosi digital, pengelolaan homestay, hingga menciptakan produk kreatif yang bisa dipasarkan ke wisatawan.
Peran aktif generasi muda ini tidak hanya menghidupkan suasana desa, tetapi juga memperkuat dukungan keluarga terhadap berbagai inisiatif pembangunan desa. Dengan kata lain, pariwisata di Nglanggeran berhasil menciptakan ekosistem yang sehat, di mana semua kalangan punya kontribusi nyata.
Kesuksesan ini memberi pesan penting buat kamu: desa bisa maju tanpa harus kehilangan identitas budaya atau merusak alam. Nglanggeran justru memanfaatkan kearifan lokal dan kekuatan komunitas sebagai pondasi. Tradisi tetap terjaga, lingkungan tetap lestari, tapi warga juga bisa meraih kesejahteraan dari pariwisata berkelanjutan.
Kamu bisa lihat dari cara mereka menjaga tata ruang, melestarikan Gunung Api Purba, sampai memanfaatkan hasil bumi dengan pendekatan organik.
Lebih dari itu, Nglanggeran kini berkembang sebagai pusat inovasi dan edukasi. Banyak pelajar, peneliti, hingga wisatawan datang ke sini bukan hanya untuk menikmati keindahan alam, tapi juga untuk belajar tentang bagaimana desa bisa mandiri sekaligus modern dengan tetap berpegang pada nilai-nilai keberlanjutan.
Desa ini pun jadi teladan bagi banyak daerah lain di Indonesia yang ingin mengembangkan konsep serupa.
5. Desa Sukunan, Sleman
Desa berkelanjutan yang satu ini, dikenal karena program pengelolaan sampah terpadu yang berbasis masyarakat. Di desa ini, sistem pemilahan sampah diterapkan dengan sangat detail: sampah organik, anorganik, bahkan sampah berbahaya dipisahkan sejak dari rumah tangga.
Tapi Sukunan tidak hanya berhenti di pemilahan. Warga desa membuka bank sampah, tempat daur ulang, dan menjalankan berbagai program kreatif untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Produk daur ulang, seperti kerajinan tangan dari plastik, kain perca, hingga souvenir, diproduksi oleh warga dan dipasarkan. Dengan begitu, sampah yang dulu dianggap masalah berubah menjadi peluang ekonomi baru.
Konsep zero waste di Sukunan bukan sekadar slogan, melainkan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Warga diajak memilah sampah dari rumah, membawa tas belanja sendiri, membatasi penggunaan plastik sekali pakai.
Keteraturan ini membuat lingkungan desa tetap bersih dan nyaman. Bahkan, Sukunan kerap dikunjungi delegasi dari desa lain yang ingin belajar langsung model pengelolaan sampah terpadu.
Dikutip dari penelitian bertajuk Analisis Dampak Pengembangan Desa Wisata Berbasis Pengelolaan Sampah di Desa Wisata Sukunan yang dilaksanakan pada 2024, Desa Sukunan membuktikan bahwa pengelolaan sampah bisa menjadi kekuatan utama dalam membangun pariwisata berkelanjutan. Program yang dijalankan tidak berhenti pada sekadar kebersihan lingkungan, melainkan juga memberikan manfaat nyata di bidang ekonomi, sosial, dan edukasi.
Jika berkunjung ke desa ini, kita tidak hanya akan melihat sistem pemilahan sampah, tetapi juga ikut terlibat dalam bagaimana sampah bisa diolah menjadi produk bernilai.
Plastik bekas, misalnya, di tangan warga setempat diubah menjadi tas belanja, keranjang, hingga kerajinan tangan yang kemudian dijual sebagai souvenir ramah lingkungan. Hasil penjualan produk daur ulang ini turut meningkatkan pendapatan keluarga yang bergabung dalam program pengelolaan sampah.
Manfaatnya juga terasa dalam kehidupan sehari-hari. Warga kini terbiasa memilah sampah sejak dari rumah, sehingga jumlah sampah yang tercecer di lingkungan semakin berkurang. Lingkungan desa menjadi lebih rapi dan sehat, sementara wisatawan yang datang mendapatkan pengalaman baru sekaligus inspirasi untuk menerapkan pola hidup serupa di daerah asal mereka.
Keberhasilan Sukunan menumbuhkan rasa percaya diri sekaligus kebanggaan bagi warganya. Desa ini kini dikenal luas sebagai pusat edukasi pengelolaan sampah, dan reputasi tersebut membuat masyarakat semakin bersemangat menjaga konsistensi program yang ada.
Dengan dukungan kolektif inilah Sukunan berhasil menunjukkan bahwa konsep zero waste bisa benar-benar hidup dalam keseharian, bukan sekadar slogan.
6. Desa Kelecung, Bali
Selain desa penglipuran, desa Kelecung yang terlerak di Kabupaten Tabanan ini, bisa menjadi salah satu contoh menarik, bagaimana desa bisa menggabungkan keindahan alam, tradisi, dan keberlanjutan. Desa ini mengembangkan ekowisata berbasis pertanian organik dan homestay yang sepenuhnya dikelola oleh warga lokal.
Kelecung memiliki panorama sawah terasering yang luas, udara sejuk khas pegunungan, serta pemandangan alam yang memikat. Budaya Bali di sini masih sangat kental terasa: tradisi adat sering dipraktikkan, upacara‐upacara keagamaan desa masih dihargai dan dijalankan secara rutin.
Kamu yang datang ke sini bisa merasakan pengalaman desa Bali yang asli. Seperti, belajar menanam padi di sawah, ikut upacara adat, bahkan membantu memasak makanan tradisional Bali menggunakan bahan lokal dan cara tradisional.
Salah satu aspek paling khas di Kelecung adalah sistem subak (irigasi tradisional Bali), yang dikelola secara kolektif dan ramah lingkungan. Sistem ini telah membuktikan kemampuannya menjaga kesuburan tanah dan pola irigasi yang stabil selama bertahun-tahun. Konservasi alam dijaga lewat penanaman pohon, pengelolaan air secara bijaksana, serta kebijakan lokal yang mendorong warga untuk hidup selaras dengan lingkungannya.
Selain itu, Kelecung juga aktif dalam pemberdayaan masyarakat lewat kegiatan agrowisata dan homestay. Menginap di rumah penduduk di desa ini bukan hanya tempat tidur untuk wisatawan, tetapi juga sarana belajar budaya desa. Pendapatan dari wisata langsung dirasakan oleh warga, mulai dari pemilik homestay, pelaku pertanian organik, sampai pedagang makanan atau kerajinan lokal.
Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat meningkat, tanpa harus mengorbankan tradisi dan lingkungan.
Dikutip dari penelitian Pengelolaan Pokdarwis Dewi Kesari Kelecung Melalui Penguatan Kelembagaan dan Manajemen Keuangan di Desa Tegal Mengkeb, Tabanan, Bali opada2025), Desa Kelecung memiliki Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang diberi nama “Dewi Kesari” dengan anggota aktif mencapai sekitar 60 orang.
Pokdarwis ini tidak hanya berfokus pada pengelolaan kegiatan wisata, tetapi juga memainkan peran penting dalam mendukung pertanian lokal, terutama melalui kerja sama dengan Subak Gebang Gading Atas yang menjaga sistem irigasi tradisional Bali.
Selain itu, terdapat pula kelompok usaha mikro dan kecil yang dikelola oleh ibu-ibu PKK, seperti produksi makanan olahan, kerajinan tangan, dan layanan pendukung wisata lainnya. Keterlibatan lintas kelompok inilah yang membuat Desa Kelecung memiliki ekosistem sosial-ekonomi yang saling menopang.
Penelitian ini juga menyoroti bahwa kekuatan utama Kelecung terletak pada kelembagaan lokal yang solid dan manajemen keuangan sederhana namun efektif yang dijalankan Pokdarwis.
Sistem pencatatan keuangan yang transparan, meski masih bersifat manual, menjadi pondasi bagi warga untuk saling percaya dan merasa yakin bahwa hasil dari pariwisata benar-benar kembali ke masyarakat. Transparansi ini menciptakan rasa kepemilikan bersama, yang pada akhirnya memperkuat komitmen warga untuk menjaga desa tetap lestari dan ramah wisata.
Dalam pelaksanaanya, desa berkelanjutan ini menghadapi sejumlah tantangan nyata. Salah satunya adalah aspek pemasaran wisata. Selama ini, promosi masih lebih banyak mengandalkan jaringan lokal atau rekomendasi mulut ke mulut, sehingga jangkauannya terbatas. Hal ini membuat potensi wisata Kelecung belum sepenuhnya dikenal oleh wisatawan domestik, apalagi mancanegara.
*Penulis merupakan kontributor di Validnews.id
Referensi: