24 April 2023
16:00 WIB
Penulis: Novelia
Editor: Rikando Somba
Jika mendengar kata pengemis, yang mungkin terbayang oleh kita mungkin adalah orang-orang yang kekurangan secara finansial dan suka menengadahkan tangan untuk meminta uang di tepian jalan. Namun pernahkah Sobat Valid mencari tahu apa kata dasar dari pengemis dan mengemis?
Jika mencari dalam situs resmi Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mungkin Anda akan diarahkan kepada kata 'kemis' sebagai kata dasar dari kedua kata tersebut.
Nah, ternyata di antara kata kemis, mengemis, dan pengemis ini ada suatu sejarah yang membentuk asal usulnya. Sebuah tradisi pada masa kerajaan menjadi jawaban dari kebingungan adanya kata kemis, pengemis, dan mengemis.
Dahulu, Keraton Kesunanan Surakarta Hadiningrat atau yang lebih umum kita ketahui sebagai Solo, memiliki pemimpin-pemimpin yang murah hati. Mereka tak segan memberi sedekah berupa kepingan logam atau yang disebut 'udhik-udhik' oleh kalangan masyarakat biasa.
Namun, penerima udhik-udhik sejatinya tidak terbatas bagi masyarakat yang kekurangan saja. Ada juga juga kelompok masyarakat yang mampu. Soalnya, udhik-udhik tak hanya dinilai sebagai pemberian yang bernilai finansial, tetapi juga simbol keberuntungan. Bagi masyarakat kala itu, mendapatkan pemberian dari raja adalah suatu keberkahan.
Nah, pada masa pemerintahan Sri Susuhan Pakubuwono X, terdapat tradisi di mana sang raja menyempatkan diri menyapa langsung masyarakat yang mengabdi padanya. Kebiasaan itu dilakukan setiap hari Kamis. Raja akan mengelilingi wilayah pemerintahannya. Mulai dari istana, alun-alun, hingga ke Masjid Agung, disambanginya.
Karena sudah akrab dengan kebiasaan Pakubuwono X 'jalan-jalan', masyarakat pun lama-kelamaan terbiasa dan selalu bersiap sebelum kedatangan sang raja. Mereka berbaris rapi di jalan yang akan dilewati raja dan menundukkan kepala sebagai pertanda hormat.
Saban Hari Kamis
Raja Pakubuwono X pun tak melewatkan kesempatan. Melihat rakyatnya berkumpul dan menunjukkan rasa hormat, ia membuat kebijakan untuk sekaligus memberikan 'udhik-udhik' setiap menyapa warga pada hari Kamis. Akhirnya tradisi jalan-jalan sambul bersedekah ini disebut tradisi Kemisan, mengacu pada kata Kemis yang merupakan bahasa Jawa dari Kamis.
Dari tradisi Kemisan kemudian muncul istilah-istilah baru. Masyarakat yang menerima udhik-udhik dari raja kemudian disebut 'wong kemisan' dan lama kelamaan disingkat menjadi 'wong ngemis'. Inilah yang menjadi cikal bakal dari kata mengemis dan pengemis.
Lambat laun, wong ngemis lebih didominasi oleh kelompok-kelompok yang kurang mampu dan jumlahnya semakin banyak dari minggu ke minggu.
Melihat perubahan ini, Pakubuwono X kemudian mendirikan sebuah tempat pelatihan kreativitas yang ditujukan bagi para penerima udhik-udhik tersebut. Hal ini ditujukan agar mereka juga dapat lebih mandiri dan tak hanya mengandalkan pemberian sebagai pemenuh kebutuhan.
Meski begitu, setelah wafatnya Pakubuwono X, tradisi Kemisan masih terus berlanjut. Intensitasnya pun meningkat tak hanya dilakukan setiap hari Kamis. Pada setiap kesempatan di mana terdapat keramaian yang didominasi masyarakat kurang mampu, raja akan membagikan udhik-udhik.
Walau mengandung sisi manusiawi dan kebaikan dari sang raja, tradisi ini akhirnya mengarahkan para wong ngemis untuk mengharapkan pemberian. Makanya, perlahan sebutan 'wong ngemis' pun berubah arti.
Dahulu, para penerima sedekah hanya mendapatkan uang dari raja, dan itu hanya merupakan simbolisasi 'berkah' yang diharapkan. Namun kini, mengemis dilakukan untuk kehidupan. Bahkan tak sedikit yang bahkan menjadikannya mata pencaharian.
Wong ngemis pun lambat laun digunakan sebagai kata umum untuk menyebut orang yang menerima pemberian dari orang yang lebih berkecukupan. Istilah ini pada akhirnya diserap ke dalam bahasa Indonesia baku menjadi 'pengemis' yang kita kenal selama ini.