c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

CATATAN VALID

05 Desember 2023

18:45 WIB

Hikikomori, Fenomena Pengucilan Diri Orang Jepang

Hikikomori adalah istilah yang dipopulerkan oleh Profesor Tamaki Saito untuk menggambarkan seseorang yang memilih mengisolasi diri dari dunia luar, baik secara fisik dan sosial.

Penulis: Bayu Fajar Wirawan

Editor: Rikando Somba

Hikikomori, Fenomena Pengucilan Diri Orang Jepang
Hikikomori, Fenomena Pengucilan Diri Orang Jepang
Ilustrasi seseorang mengurung diri. Shutterstock/Olena Yakobchuk

Menyendiri ada banyak arti. Banyak yang mengaitkannya dengan ritual peribadatan, pencarian jati diri, atau sebaliknya keterasingan. Di budaya Jepang, ada istilah lain soal menyendiri. Hikikomori adalah istilah menyendiri yang belakangan akrab di budaya kaum muda negeri Matahari terbit itu.   

Secara bahasa Hikikomori berarti 'menyendiri', 'isolasi diri', atau 'hidup terbatas'. Hikikomori biasa digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang memilih mengisolasi diri dari dunia luar. Mereka menghabiskan sebagian besar waktu mereka di dalam ruangan (biasanya kamar), enam bulan atau lebih, dan memutuskan hubungan sosial mereka dengan orang lain.

Hikikomori bukan hanya keadaan yang melibatkan isolasi secara fisik. Namun, kondisi ini juga terkait dengan penarikan psikologis ekstrem dari dunia sosial, seperti menghindari tempat-tempat di mana interaksi sosial aktif terjadi, baik di sekolah atau tempat kerja. 

Hikikomori pertama kali mendapatkan perhatian pada tahun 1990-an, ketika Jepang mengalami 'zaman es' ketenagakerjaan, yang membuat banyak anak muda kesulitan mencapai tujuan mereka. Periode tahun 1990-an,  menjadi masa kelam bagi para lulusan yang bersemangat menunggu posisi yang didambakan di perusahaan-perusahaan besar. Apa daya, kala itu lapangan kerja tertutup bagi lulusan baru.

Hal ini dilakukan pemerintah Jepang, untuk memangkas biaya dan melindungi pekerja yang lebih tua. Yang terjadi adalah perusahaan hanya menawarkan sedikit lapangan pekerjaan bagi lulusan baru. Di tahun itulah anak-anak muda Jepang dikenal sebagai “Generasi yang Hilang”. Banyak generasi muda Jepang saat itu, yang memilih untuk menyembunyikan rasa malu mereka dengan menarik diri dari masyarakat. Bahkan beberapa di antara mereka tidak pernah kembali lagi ke masyarakat. 

Di Jepang, Hikikomori banyak dilanda masyarakat menengah ke atas, dengan usia 20-an tahun., Mirisnya, hal ini biasanya terjadi pada orang yang berprestasi, dengan tingkat intelegensi tinggi atau profesi yang terpandang. Di tahun 2016, ditemukan sekitar 540 ribu orang yang mengalami Hikikomori. Kondisi ini semakin parah pasca pandemi Covid-19, yang mana angka Hikikomori melonjak sampai 1,5 juta orang. Yang artinya, ada peningkatan sekitar 150% sejak tahun 2016.  Dalam laporan Wall Street Journal, tercatat sebesar 500.000–2.000.000 orang Jepang penderita Hikikomori sampai saat ini.

Istilah Hikikomori diperkenalkan oleh Profesor Tamaki Saito dari Jepang pada tahun 1998. Dia melihat banyak anak muda yang tidak memenuhi kriteria diagnosis kesehatan mental, tapi tetap dalam keadaan penarikan diri yang ekstrem dan memprihatinkan. 

Ia pun memandang Hikikomori sebagai fenomena kesehatan mental sosiokultural, dan bukan penyakit mental yang jelas. Pada perjalanannya, Hikikomori pun mengalami evolusi, bukan sekedar dampak 'zaman es' ketenagakerjaan. Namun lebih pada kesehatan mental individunya, sehingga dalam kondisi apapun dapat menyebabkan seseorang menjadi penderita Hikikomori.

Penyebab Terjadinya Hikikomori
Menurut Furlong-2008, Hikikomori terjadi melalui sebuah proses yang panjang. Biasanya gejala berawal dari kinerja yang kurang baik di sekolah, kampus atau tempat kerja. Kemudian takut menghadapi tantangan atau kegagalan di lingkungan tersebut, tidak percaya diri, kecanduan gim, terjadi bully oleh teman-teman secara terus menerus, dan lain-lain. 

Selanjutnya, pengidap akan merasa tertekan dan trauma mendalam, yang akhirnya menyebabkan tidak masuk sekolah/kuliah/kantor. Lalu kemudian mereka menarik diri dari masyarakat. Khusus di Jepang, terdapat beberapa faktor pendukung yang membuat kasus Hikikomori malah marak hingga saat ini. Faktor-faktor itu antara lain;

1. Tekanan Akademik & Pekerjaan
Sistem pendidikan di Jepang amatlah kompetitif dan kaku, Hal ini menimbulkan banyak tekanan pada seseorang. Prestasi akademik seringkali dikaitkan dengan kesuksesan karier masa depan. Jika seseorang gagal di sekolah, kemungkinan besar karier juga akan hancur, dan tersebut menjadi aib buat diri sendiri dan keluarga. 

Di negeri Sakura, terdapat istilah "shushoku katsudo", semacam job hunting yang super kompetitif. Sesorang yang berhasil melewati seleksi ini, berpeluang besar memiliki jenjang karier yang baik dan terjamin masa depannya. Namun sebaliknya, Jika mereka gagal, maka mereka terpaksa harus bekerja di profesi dengan gaji rendah dan tanpa ada jaminan keamanan pekerjaan. 

2. Norma Sosial
Jepang adalah negara yang sangat menjunjung tinggi budaya konformitas dan kolektivitas. Terdapat tuntutan pada masyarakat Jepang agar dapat mengikuti standar sosial masyarakat yang berlaku. Seperti halnya dalam  cara berpakaian, gaya rambut, tingkah laku, cara berpikir, dan cara hidup, semuanya harus mengikuti standar sosial yang berlaku. Jika tidak dapat mengikuti, mereka dianggap aneh dan gagal. 

Salah satu bentuk dari budaya konformitas yang dikenal di Jepang adalah Honne dan Tatemae.  'Honne' itu merujuk ke jati diri seseorang, sementara 'Tatemae' adalah topeng publik yang mereka tunjukkan ke dunia luar. Budaya ini seringkali jadi sumber konflik batin dan banyak membuat masyarakat menjadi overwhelmed atau kewalahan. Keadan tersebut akhirnya memaksa mereka tidak mejadi dirinya sendiri, demi memenuhi standar sosial yang berlaku.

Norma lainnya yang juga dikenal di negeri Samurai adalah Sekentei. Ini  merujuk pada upaya untuk menjaga reputasi diri sendiri serta adanya tekanan untuk menampilkan kesan positif di mata orang lain.

Tuntutan norma diatas, membuat sebagian orang merasa stres dan akhirnya mengucilkan diri. Atau bisa dikatakan memilih jalan Hikikomori karena mereka merasa tidak mampu memenuhi peran sosial yang diharapkan masyarakat, termasuk dalam mengekspresikan jati diri mereka.

3. Pola Asuh & Status Ekonomi Keluarga
Hikikomori di Jepang banyak dialami oleh keluarga kelas menengah ke atas, dan berpendidikan tinggi. Kondisi ini memungkinkan seorang melakukan Hikikomori untuk mendapatkan dukungan dari orang tua tanpa batas waktu. Pada beberapa kasus, pola asuh orangtua yang over protective dan cenderung lembut, membuat seorang anak menjadi manja, ataupun kekanak-kanakan. Pola asuh  ini dikenal dengan istilah "Amae" (ketergantungan), yaitu perilaku seseorang yang ingin dicintai, diperhatikan, dan dijaga. Namun pada suatu sisi, secara tidak sadar membuat seseorang menjadi tergantung pada orang lain. 

Perasaan ingin dicintai, diperhatikan, dijaga seyogyanya adalah baik dan lumrah, namun jika terus menerus dan dilakukan secara berlebihan dapat menjadi bumerang. Seseorang dapat mengalami ketergantungan, dan hal ini dapat menjadi masalah serius.  

Sebagai contoh di negara Jepang terdapat istilah “80-50”, maksudnya adalah orang tua yang telah berusia sekitar 80 tahun, harus menanggung beban anaknya yang berusia 50 tahun. Faktanya pola asuh ini masih ditemukan di Jepang. Menjadi masalah bukan?. Karena sesungguhnya kita pun mengetahui bahwasannya di usia 50 tahun adalah yang sangat dewasa. Dan tidak selayaknya ketergantungan, apalagi dialami seorang pria.

Lalu, mengapa orang miskin jauh dari Hikikomori?

Alasan sebenarnya cukup sederhana. Mungkin Sobat Valid pun mengetahui, yaitu survival. Ya, dengan berfikir hidup untuk survive, orang yang kekurangan ekonomi tidak memiliki pilihan, mereka harus keluar bekerja agar dapat bertahan hidup, memiliki tempat tinggal, dan tidak kelaparan. Jarang ditemui dan jauh dari pikiran mereka untuk kuliah tinggi, kerja bagus, memiliki bisnis tertentu, dsb. Kalaupun terpikirkan, hal tersebut lebih kepada bentuk survive, atau keinginan berubah dari kondisi yang  serba kekurangan.

Lain halnya dengan seseorang yang tumbuh di keluarga middle-up secara ekonomi, biasanya mereka terbebani dengan berbagai ekspektasi tinggi, lebih dari sekedar survive di dunia akademik dan juga karier. Lalu, apa yang terjadi ketika mereka kesulitan memenuhi ekspektasi tersebut ? Ya, salah satu kemungkinannya adalah stres berat, menyerah dengan mengurung diri di kamar, dan memilih jalan hikikomori.

Pengidap Hikikomori secara mental dapat mempengaruhi diri yang mengalami, dan juga menjadi beban bagi keluarga. Orang tua di Jepang bisa menghabiskan waktu mereka sepanjang tahun, demi memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar anak mereka yang menderita Hikikomori. Hal itu mereka lakukan, karena mereka terlalu malu untuk minta bantuan secara eksternal, dan akhirnya beban itu ditanggung sendiri untuk menjaga dan melindungi citra keluarga.

Apa yang terjadi di Jepang, tidak menutup kemungkinan juga terjadi di Indonesia.  Dari hal ini, ada benang merah pelajaran hidup yang bisa diambil. Mungkin ada baiknya kita belajar dari kasus yang ada, agar tidak terlalu memanjakan anak, hidup dengan lebih apa adanya, tidak mudah baper dari bullying yang ada. Tak ada salahnya mencontoh si miskin bukan dari kemiskinannya,  tetapi lebih pada mental untuk selalu survive.


Referensi:

Furlong, A. (2008). The Japanese hikikomori phenomenon: acute social withdrawal among young people. The Sociological Review, 56(2), 310–325. https://doi.org/10.1111%2Fj.1467-954X.2008.00790.x
Hamasaki, Y., Pionnié-Dax, N., Dorard, G. et al. (2020). Identifying social withdrawal (Hikikomori) factors in adolescents: understanding the Hikikomori spectrum. Child Psychiatry Hum Dev, 1, 1-2. https://doi.org/10.1007/s10578-020-01064-8
Abdussalam, S. (2014). Peran keluarga dalam mengubah perilaku Hikikomori pada tokoh Taro Sudo dalam film Oniichan no Hanabi karya sutradara Masahiro Kunimoto (Unpublished Bachelor Thesis). Universitas Brawijaya, Indonesia.
Irvansyah, M. (2014). Analisis penyebab hikikomori melalui pendekatan fenomenologi. Japanology, 2(2), 29-39.
Priyanka, D. (2019, Januari 12). Mengenal hikikomori, sikap mengurung diri yang banyak dilakukan masyarakat Jepang. Sociolla Journal. Retrieved from https://journal.sociolla.com/lifestyle/mengenal-perilaku-hikikomori.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar