c

Selamat

Senin, 10 November 2025

CATATAN VALID

25 Oktober 2025

17:15 WIB

Green Startup Dan Masa Depan Ekonomi Hijau Indonesia

Green startup hadir sebagai motor ekonomi hijau dengan inovasi ramah lingkungan, dari energi bersih hingga pengelolaan limbah. Meski terkendala modal dan regulasi, peluangnya kian besar di Indonesia.

Penulis: Devi Rahmawati

Editor: Rikando Somba

<p><em>Green Startup</em> Dan Masa Depan Ekonomi Hijau Indonesia</p>
<p><em>Green Startup</em> Dan Masa Depan Ekonomi Hijau Indonesia</p>

Panel surya dan turbin angin - Energi terbarukan untuk industri hijau. Kilang minyak, industri petro kimia Minyak dan Gas yang besar, tangki penyimpanan minyak dan saluran pipa, Ekosistem dan lingkungan yang baik. Shutterstock/bombermoon

Perkembangan ekonomi berkelanjutan kini membuka peluang bagi munculnya green startup atau perusahaan rintisan yang memanfaatkan inovasi teknologi dan model bisnis baru untuk mengatasi berbagai masalah lingkungan. Indonesia, dengan tantangan ekologis yang besar sekaligus potensi ekonomi digital yang terus berkembang, berada di persimpangan penting, apakah startup hijau bisa menjadi penggerak utama menuju ekonomi rendah karbon, atau justru sekadar tren sementara?

Apa Itu Green Startup? 

Green startup atau startup hijau merupakan bentuk usaha rintisan yang menjadikan isu lingkungan sebagai inti bisnisnya, bukan lagi sekadar pelengkap. Mereka berfokus pada pengembangan produk, layanan, atau teknologi yang mampu memberikan manfaat bagi lingkungan, mulai dari pengurangan emisi karbon, efisiensi energi, pengelolaan limbah, hingga pelestarian sumber daya alam.

Contoh nyata dapat ditemukan pada berbagai bidang. Di sektor energi, misalnya, startup seperti Xurya Daya Indonesia menawarkan solusi panel surya tanpa investasi awal bagi perusahaan, yang mendorong transisi menuju energi bersih. Di bidang pertanian, ada Efishery, yang menggunakan Internet of Things (IoT) untuk meningkatkan efisiensi pakan ikan dan mengurangi limbah. Di sisi lain, Waste4Change fokus pada pengelolaan sampah berbasis daur ulang dan tanggung jawab sosial. Berbagai inisiatif ini menunjukkan bahwa model bisnis hijau tidak hanya mengedepankan keuntungan finansial, tetapi juga keberlanjutan ekologis dan sosial.

Konsep green startup muncul seiring meningkatnya kesadaran global terhadap perubahan iklim dan degradasi lingkungan. Pandangan ini diperkuat oleh riset Chapman et al. (2022) yang menyatakan bahwa green startup menjadi salah satu ujung tombak inovasi dalam mencapai target pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals), terutama di negara berkembang.

Mengapa Indonesia Butuh Green Startup

Indonesia memiliki alasan yang sangat kuat untuk mendorong pertumbuhan green startup sebagai bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan. Alasan pertama adalah tingginya tekanan lingkungan yang dihadapi negara ini. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca Indonesia terus meningkat selama dua dekade terakhir. Kenaikan ini sebagian besar berasal dari sektor energi, transportasi, dan deforestasi—tiga sektor yang menjadi tulang punggung ekonomi sekaligus sumber utama pencemaran.

Kedua, green startup mampu menjembatani kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaan transisi energi. Laporan Institute for Essential Services Reform (IESR) tahun 2025 menunjukkan bahwa kontribusi energi terbarukan terhadap bauran energi nasional masih sekitar 13,1%, jauh di bawah target 23% pada 2025. Startup hijau dengan pendekatan desentralisasi, seperti microgrid surya, sistem penyimpanan energi, atau efisiensi energi untuk rumah tangga, dapat membantu mempercepat pencapaian target tersebut.

Ketiga, ekonomi hijau menciptakan peluang kerja baru. Laporan UNDP Indonesia (2023) menyebutkan bahwa peralihan menuju ekonomi rendah karbon berpotensi menciptakan lebih dari 4 juta lapangan kerja baru pada 2030, terutama di sektor energi terbarukan, pertanian berkelanjutan, dan pengelolaan limbah. 

Kehadiran startup hijau membuka jalan bagi wirausahawan muda untuk terlibat langsung dalam transformasi tersebut, sekaligus meningkatkan daya saing ekonomi nasional.

Selain itu, meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap produk ramah lingkungan juga memperkuat potensi pasar bagi startup hijau. Survei NielsenIQ (2024) menunjukkan bahwa 74% konsumen Indonesia bersedia membayar lebih untuk produk yang dinilai ramah lingkungan atau berkelanjutan. Tren ini menciptakan peluang bagi startup yang dapat menghadirkan solusi hijau dengan harga dan aksesibilitas yang bersaing.

Tantangan Green Startup di Indonesia

Meski prospeknya cerah, perjalanan green startup di Indonesia tidak mudah. Tantangan pertama adalah akses pembiayaan. Sebagian besar investor masih menganggap bisnis hijau berisiko tinggi karena membutuhkan modal besar dan waktu pengembalian yang relatif lama. 

Banyak startup hijau kesulitan memperoleh modal tahap awal karena dianggap belum memberikan keuntungan finansial yang cepat.

Kedua, dukungan kebijakan dan regulasi masih belum optimal. Banyak aturan yang tumpang tindih, misalnya antara izin pengelolaan limbah industri, sertifikasi energi terbarukan, dan kebijakan insentif pajak bagi produk hijau. Koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah juga belum sepenuhnya terintegrasi. Akibatnya, inovasi yang sebenarnya siap diterapkan sering terhambat oleh proses administrasi yang panjang.

Tantangan ketiga adalah keterbatasan infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM). Pengembangan teknologi hijau membutuhkan tenaga ahli di bidang teknik, riset, dan manufaktur yang mumpuni. Namun, data World Bank (2023) menunjukkan bahwa hanya sekitar 18% tenaga kerja di Indonesia yang memiliki keterampilan digital atau teknis menengah hingga tinggi. Ketimpangan ini memperlambat pengembangan produk berbasis teknologi hijau.

Selain itu, adopsi pasar terhadap produk hijau masih terbatas. Meskipun kesadaran konsumen meningkat, banyak masyarakat yang masih memilih produk konvensional karena harga produk ramah lingkungan cenderung lebih mahal. Sebagian startup gagal berkembang karena kesulitan menyeimbangkan biaya produksi yang tinggi dengan daya beli masyarakat.

Tantangan lainnya datang dari pengukuran dampak lingkungan yang belum baku. Banyak investor ESG (Environmental, Social, and Governance) membutuhkan data kuantitatif seperti jumlah pengurangan emisi karbon atau volume limbah yang berhasil dikelola. Namun, tidak semua startup mampu menyusun laporan berbasis metodologi ilmiah yang diakui secara global, seperti carbon accounting atau life cycle assessment.

Peluang dan Masa Depan Startup Hijau di Indonesia.                                       Meski dihadapkan pada banyak tantangan, prospek masa depan green startup di Indonesia tetap menjanjikan. Pertama, permintaan pasar terhadap solusi ramah lingkungan terus meningkat. Tren gaya hidup berkelanjutan kini bukan hanya wacana, tetapi sudah menjadi nilai jual utama bagi banyak produk. Di saat sama, perusahaan besar pun mulai menerapkan target net-zero dan mencari mitra startup untuk membantu mereka mencapai efisiensi energi, mengurangi emisi, atau mengelola limbah. Ini membuka peluang kerja sama B2B yang besar bagi startup hijau.

Kedua, dukungan pemerintah dan lembaga internasional semakin kuat. Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, pemerintah menempatkan ekonomi hijau sebagai salah satu fokus utama pembangunan. Selain itu, program seperti Green Economy Indonesia (GEI) yang didukung oleh UNIDO dan GIZ menyediakan dana hibah dan pelatihan bagi startup di bidang energi, pertanian, dan pengelolaan limbah.

Ketiga, biaya teknologi hijau semakin terjangkau. Harga panel surya, baterai litium, dan sensor IoT menurun secara signifikan dalam lima tahun terakhir. Hal ini memungkinkan startup untuk menawarkan solusi hemat energi dengan biaya yang kompetitif. Startup juga bisa memanfaatkan model bisnis inovatif seperti leasing, subscription, atau pay-as-you-go untuk menjangkau pasar yang lebih luas tanpa membebani konsumen.

Keempat, kolaborasi lintas sektor semakin terbuka. Banyak universitas mulai membuka program inkubasi untuk startup berbasis teknologi lingkungan, seperti UI Incubator dan ITS Techno Park. Kolaborasi antara akademisi, pelaku bisnis, dan pemerintah menjadi kunci penting dalam memperkuat riset, memperluas jaringan, serta mempercepat komersialisasi produk.

Dengan semakin banyaknya dukungan, masa depan green startup di Indonesia akan sangat bergantung pada bagaimana ekosistemnya dibangun. Jika pembuat kebijakan mampu menyelaraskan regulasi, investor bersedia mengambil risiko jangka panjang, dan masyarakat mau mendukung konsumsi hijau, maka startup hijau bisa menjadi motor penggerak utama ekonomi nasional yang lebih tangguh dan berkelanjutan.

 

Referensi:

  1. Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik lingkungan hidup Indonesia 2023. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
  2. Chapman, G., Hockerts, K., & Rauter, R. (2022). Green start-ups and the role of founder personality in sustainable entrepreneurship. Journal of Cleaner Production, 345, 131134.
  3. European Commission. (2022). Supporting green start-ups in the EU: Policy and ecosystem overview. Brussels: European Commission.
  4. Institute for Essential Services Reform (IESR). (2025). Indonesia energy transition outlook 2025. Jakarta: IESR.
  5. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2022). Enhanced nationally determined contribution (NDC) Indonesia 2022. Jakarta: KLHK.
  6. NielsenIQ. (2024). Southeast Asia sustainability consumer insight report 2024. Singapore: NielsenIQ.
  7. United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia. (2023). Green jobs and sustainable economic transition in Indonesia. Jakarta: UNDP Indonesia.
  8. World Bank. (2023). Indonesia digital skills landscape report 2023. Washington, DC: World Bank Group.

KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar