16 Agustus 2025
17:00 WIB
Green Bond, Instrumen Pembiayaan Penting Untuk Proyek Hijau
Aspek keberlanjutan menjadi fokus pemerintah dan pihak swasta. Namun, untuk mewujudkannya tidaklah murah. Green bond menjadi instrumen penting untuk menjembatani kebutuhan pembiayaan tersebut.
Penulis: Kevin Sihotang
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi Green Bond/Obligasi Hijau. Shutterstock/BOY ANTHONY
Kata “hijau” sering kita jumpai saat ini dalam pemberitaan ekonomi, keuangan, dan bisnis. Adapun “hijau” di sini merujuk pada aspek lingkungan dan keberlanjutan. Dalam satu dekade terakhir, isu lingkungan dan perubahan iklim semakin menyita perhatian dunia. Perusahaan-perusahaan besar dari berbagai sektor, khususnya energi dan manufaktur, mulai beralih ke energi hijau sebagai bagian dari strategi bisnis keberlanjutan.
Tak hanya dari sisi perusahaan, tuntutan keberlanjutan pun datang dari investor, regulasi, dan tren konsumen yang semakin peduli terhadap jejak karbon produk dan jasa.
Namun, peralihan menuju energi hijau membutuhkan dana yang tak sedikit. Ada kebutuhan investasi untuk membangun pembangkit energi terbarukan, mengganti peralatan dengan teknologi efisien energi, bahkan mengembangkan transportasi rendah emisi. Salah satu instrumen investasi untuk bisnis keberlanjutan ini adalah green bond atau obligasi hijau, apa itu?
Mengutip penjelasan Otoritas Jasa Keuangan, green bond merupakan efek bersifat utang yang dana hasil penerbitannya digunakan untuk membiayai (financing) atau membiayai ulang (refinancing) sebagian atau seluruh kegiatan usaha berwawasan lingkungan.
Sejarah Green Bond Dunia
Konsep green bond pertama kali muncul pada tahun 2007 ketika European Investment Bank (EIB) meluncurkan Climate Awareness Bond di Luxemburg. Instrumen ini memfokuskan pendanaan pada proyek energi terbarukan dan efisiensi energi, meskipun saat itu belum secara resmi menggunakan istilah “green bond”.
Setahun kemudian, atau pada 2008, World Bank bekerja sama dengan bank Swedia Skandinaviska Enskilda Banken (SEB) menerbitkan obligasi hijau pertama yang secara resmi memakai label “green bond”. Penerbitan obligasi ini dilakukan sebagai respons atas permintaan investor institusional dari Skandinavia yang ingin memastikan portofolio investasinya turut berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim.
Memasuki tahun 2010 hingga 2012, lembaga keuangan global lain seperti Asian Development Bank (ADB) dan African Development Bank (AfDB) mulai menerbitkan green bond, meski pangsa pasar terbilang masih relatif kecil. Kemudian, perkembangan signifikan terjadi pada 2013 hingga 2014 ketika penerbitan green bond mulai dilakukan oleh korporasi besar seperti EDF (Électricité de France) dan Toyota.
Pada periode yang sama, International Capital Market Association (ICMA) juga meluncurkan Green Bond Principles (GBP) yang menetapkan empat pilar utama, yakni penggunaan dana (use of proceeds), proses evaluasi proyek, manajemen dana, dan pelaporan. Prinsip ini menjadi standar global yang meningkatkan transparansi dan kredibilitas penerbitan green bond. Lalu, Persetujuan Paris atau Paris Agreement 2015 menjadi momentum penting bagi perkembangan green bond karena banyak negara akhirnya berkomitmen untuk membatasi kenaikan suhu global.
Green Bond di Indonesia
Sejarah green bond di Indonesia dimulai pada 2018 ketika Kementerian Keuangan menerbitkan Green Sukuk Global senilai US$ 1,25 miliar. Penerbitan ini menjadikan Indonesia sebagai negara pertama di dunia yang meluncurkan green sukuk berdaulat (sovereign green sukuk) di pasar internasional.
Di tahun yang sama, pemerintah juga menerbitkan green sukuk ritel di pasar domestik, memberikan kesempatan bagi masyarakat umum untuk berpartisipasi langsung dalam pembiayaan proyek hijau. Pemerintah pun melanjutkan penerbitan green sukuk setiap tahun.
Pada periode 2018-2024, sejumlah korporasi mulai menerbitkan obligasi hijau untuk mendanai proyek-proyek berkelanjutan. Misalnya PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang menerbitkan green bond senilai Rp3 triliun pada Juli 2018. Setidaknya, enam proyek akan dibiayai oleh dana hasil penerbitan surat utang ini, yakni proyek kereta ringan atau LRT di Palembang dan Jakarta. Kemudian, proyek pembuatan rolling stock atau gerbong LRT oleh PT INKA.
Kemudian, ada PT Bank Negara Indonesia (BNI) yang memperkuat komitmen di segmen green banking dengan menawarkan obligasi korporasi berwawasan lingkungan sebanyak-banyaknya Rp5 triliun. Lalu pada tahun 2019, Bank OCBC NISP menjadi bank swasta pertama di Indonesia yang menerbitkan obligasi hijau dengan nilai Rp500 miliar.

Terus Berkembang
Di kancah global, sejak diperkenalkan pertama kali pada 2007-2008, green bond telah mengalami pertumbuhan cukup pesat. Laporan dari Climate Bonds mengungkapkan, penerbitan seluruh jenis efek utang berwawasan lingkungan pada kuartal pertama tahun ini sudah mencapai US$5,9 triliun. Dari total tersebut, penerbitan obligasi hijau mencatatkan jumlah US$262,3 miliar yang meningkat 7% dibandingkan rata-rata volume kuartalan yang sebesar US$245,8 miliar sejak 2021.
Climate Bonds mengungkapkan, pertumbuhan ini mencerminkan meningkatnya permintaan investor dan keterlibatan penerbit dalam mendanai proyek-proyek yang berfokus pada iklim dan keberlanjutan.
Pasar obligasi hijau diperkirakan akan terus tumbuh. Laporan dari lembaga lain, Mordor Intelligence menilai pasar obligasi hijau secara global pada tahun 2025 diperkirakan mencapai US$673,12 miliar. Sementara laporan dari Green Earth, mengungkapkan bahwa pasar obligasi hijau ini akan mencapai nilai US$1 triliun hingga akhir 2025.
Adapun di Indonesia, total penerbitan sukuk hijau oleh Pemerintah hingga 2025, baik secara global maupun domestik, mencapai Rp 185,81 triliun. Hal ini seperti yang diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam agenda International Conference on Infrastructure (ICI) 2025 pada Juni lalu. Secara rinci, total penerbitan sukuk hijau global mencapai US$6,6 miliar atau setara Rp107,11 triliun dengan asumsi kurs saat ini. Secara domestik, Indonesia menerbitkan Rp78,7 triliun.
Sementara untuk obligasi hijau korporat, laporan OJK pada Juni 2025 mencatat bahwa terdapat 22 penawaran umum atas Efek Bersifat Utang atau Sukuk (EBUS) Berkelanjutan atau obligasi hijau dengan nilai emisi mencapai Rp36 triliun sejak tahun 2022 sampai Mei 2025.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan, Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi mengatakan nilai itu memang masih kecil apabila dibandingkan dengan nilai emisi penerbitan EBUS Non-Berkelanjutan. Namun, dengan sejumlah kebijakan dan aturan baru, pihaknya berharap jumlah penerbit dan nilai penerbitan obligasi berkelanjutan di Indonesia akan terus meningkat.
Pembiayaan atau pendanaan proyek hijau di Indonesia awalnya diatur dalam Peraturan OJK atau POJK Nomor 60/POJK.04/2017. Regulasi ini mengatur kriteria proyek hijau, tata cara penawaran, hingga kewajiban pelaporan, yang menjadi fondasi legal bagi pengembangan instrumen ini di pasar modal domestik.
Kemudian pada tahun 2023, OJK menerbitkan Peraturan OJK (POJK) No.18 tahun 2023, yang menggantikan dan memperluas cakupan dari POJK Nomor 60/POJK.04/2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan. POJK baru itu memasukkan obligasi sosial (social bond) dan obligasi berkelanjutan (sustainability bond) ke dalam kerangka hukum yang jelas, dan mempermudah akses perusahaan untuk menerbitkan EBUS Keberlanjutan.
Referensi: