13 Februari 2025
17:35 WIB
Farmasi Indonesia, Dari Jamu Tradisional Menuju Farmasi Modern
Sektor farmasi di Indonesia terus berinovasi sejak masa kolonial. Mulai dari jamu tradisional, munculnya apotek, hingga masuknya AI, IoMT, dan e-health yang mendukung kemajuan farmasi Indonesia.
Penulis: Devi Rahmawati
Editor: Rikando Somba
Petugas Balai POM mengecek faktur penerimaan obat sirup untuk anak di sebuah apotek di Pasar L ama, Kota Serang, Banten, Selasa (25/10/2022). ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman
Farmasi di Indonesia memiliki sejarah panjang yang dimulai sejak zaman kerajaan, berkembang pesat pada masa kolonial, dan terus maju hingga era modern dengan dukungan teknologi. Dari racikan jamu tradisional hingga industri farmasi besar, perjalanan farmasi di Indonesia mencerminkan evolusi ilmu kesehatan di Tanah Air.
Perkembangan farmasi kita bisa diselisik dari lini masanya seperti berikut ini.
Racikan Tradisional Dan Apoktek Tertua
Sebelum farmasi modern hadir, masyarakat Indonesia telah lama mengenal sistem pengobatan berbasis tanaman herbal. Ramuan tradisional atau lebih dikenal sebagai jamu, sudah digunakan sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha, seperti Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Kitab-kitab kuno seperti Serat Centhini mencatat berbagai resep jamu yang masih digunakan hingga sekarang.
Para tabib kerajaan dan dukun memainkan peran penting dalam meracik obat dari bahan alami seperti kunyit, jahe, temulawak, dan daun sirih. Mereka mempercayai bahwa alam menyediakan segala yang dibutuhkan manusia untuk menjaga kesehatan. Sampai kini, jamu masih menjadi bagian dari budaya kesehatan masyarakat Indonesia, berdampingan dengan obat-obatan kimia.
Ketika Belanda menjajah Indonesia, sistem pengobatan modern mulai masuk. Pada abad ke-19, pemerintah kolonial mendirikan apotek-apotek pertama di Nusantara, terutama di Batavia (Jakarta), Surabaya, dan Semarang. Salah satu apotek tertua yang masih berdiri hingga kini adalah Apotek Kimia Farma yang berasal dari perusahaan farmasi milik Belanda, NV Chemicalien Handle Rathkamp & Co yang didirikan pada tahun 1817.
Di era kolonial, pendidikan farmasi juga mulai diperkenalkan. Sekolah-sekolah kedokteran seperti STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) yang berdiri pada 1851, mengajarkan ilmu farmasi kepada calon dokter pribumi. Namun, hanya sedikit orang Indonesia yang dapat mengakses pendidikan ini karena kebanyakan tenaga farmasi saat itu masih didominasi oleh orang Belanda.
Kebangkitan Farmasi Nasional
Setelah Indonesia merdeka pada 1945, pemerintah mulai membangun sistem kesehatan nasional, termasuk industri farmasi. Pada 13 Februari 1946, didirikan Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI) untuk menyatukan tenaga farmasi dan meningkatkan profesionalisme apoteker di Tanah Air.
Salah satu langkah penting di era ini adalah nasionalisasi perusahaan farmasi milik Belanda. NV Chemicalien Handle Rathkamp & Co diambil alih oleh pemerintah Indonesia dan menjadi Kimia Farma, perusahaan farmasi pertama yang dimiliki oleh negara. Perusahaan ini kemudian berkembang pesat dan menjadi salah satu pemain utama dalam industri farmasi nasional.
Pada tahun 1970-an, industri farmasi di Indonesia mulai mengalami pertumbuhan pesat. Pemerintah mendorong produksi obat dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada impor. Beberapa perusahaan farmasi besar lahir di era ini, seperti Kalbe Farma, Sanbe Farma, Dexa Medica, dan Indofarma.
Regulasi farmasi juga diperkuat dengan pembentukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang bertugas memastikan keamanan dan kualitas obat yang beredar di Indonesia. Selain itu, universitas-universitas mulai membuka program studi farmasi, sehingga mencetak lebih banyak tenaga ahli di bidang ini.
Farmasi di Era Digital
Memasuki abad ke-21, industri farmasi di Indonesia semakin berkembang dengan adanya kemajuan teknologi dan digitalisasi. Salah satu momen penting adalah ketika Indonesia berhasil memproduksi sendiri berbagai jenis vaksin melalui Bio Farma yang telah beroperasi sejak 1890 dan kini menjadi salah satu produsen vaksin terbesar di Asia.
Selain itu, munculnya apotek online dan layanan e-health seperti Halodoc dan Alodokter mengubah cara masyarakat mendapatkan obat dan konsultasi kesehatan. Teknologi kecerdasan buatan (AI) juga mulai digunakan dalam penelitian obat dan pengembangan farmasi. AI membantu dalam analisis data klinis, penemuan senyawa obat baru, serta personalisasi pengobatan berdasarkan profil genetik pasien.
Tidak hanya itu. Indonesia juga mulai mengadopsi teknologi Internet of Medical Things (IoMT) yang memungkinkan perangkat medis terhubung secara digital untuk memantau kesehatan pasien secara real-time. Teknologi ini memungkinkan pemantauan terapi obat secara lebih efektif, meningkatkan kepatuhan pasien, dan mengurangi risiko efek samping.
Referensi:
Antaranews. (2024). Menjelajahi Dunia Farmasi: Peluang Karir yang Menanti di Balik Obat-obatan. Diakses melalui: https://www.antaranews.com/berita/4141809/menjelajahi-dunia-farmasi-peluang-karir-yang-menanti-di-balik-obat-obatan.
Gumilar, S. (2023). Penelusuran Jejak Sejarah Farmasi di Masa Hindia Belanda. Khazanah Multidisiplin, 4(2), 253-280.
Gumilar, S. (2023). “Apotheek”: Gerbang Budaya Farmasi di Indonesia (1900-1942). Historia Madania: Jurnal Ilmu Sejarah, 7(1), 17-31.