12 Desember 2024
15:00 WIB
Domyak: Ritual Pemanggil Hujan Khas Purwakarta
Domyak, ritual pemanggil hujan dari Purwakarta, menggabungkan musik tradisional, doa, dan simbol alam untuk memohon keseimbangan serta keberkahan hujan.
Penulis: Devi Rahmawati
Editor: Rikando Somba
Kelompok Sanggar Sinar Pusaka menghadirkan Tari Wawayangan pada acara revitalisasi Seni Domyak di Teater Terbuka Taman Budaya Jawa Barat, Bandung, Jawa Barat (8/4/2012). Antara Foto/Agus Bebeng
Tradisi pemanggil hujan adalah salah satu bentuk kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di berbagai wilayah Indonesia. Salah satu bentuk yang unik dari tradisi ini adalah Domyak. Ritual ini berasal dari kaki Gunung Burangrang, Desa Pasirangin, Kecamatan Darangdan, Kabupaten Purwakarta.
Domyak merupakan kesenian helaran dalam bentuk arak-arakan atau parade. Ritual ini berangkat dari permasalahan yang menimpa masyarakat, yakni kemarau panjang. Kegiatan ini dimulai dari tengah desa, hingga ke sumber mata air. Oleh karena itu, ritual ini digunakan sebagai media permohonan meminta hujan kepada sang pencipta.
Pada tahun 1980, ritual ini dikenal dari kesenian Buncis, baru kemudian umum disebut dengan Domyak.
Domyak berasal dari kata “ngadogdog” dan “rampayak” yang berarti bermain musik dog-dog dengan tarian adat. Alat musik yang digunakan antara lain, dog-dog atau bedug, kenong, gong, terompet, dan angklung. Secara tersirat, alat musik ini dikelompokkan ke dalam 3 jenis, yakni alat musik hidup, penengah, dan mati.
Proses Ritual Domyak
Domyak adalah salah satu seni pertunjukkan yang memiliki beberapa tahapan. Bagian ini terdiri dari persiapan, gending tatalu, ngadoa, dan hiburan kesenian. Ritual Domyak dibuka dengan doa kepada Allah SWT dan menunaikan salat hajat sebelum berkeliling kampung.
Selanjutnya, seekor kucing dimasukkan ke dalam kurungan atau biasa disebut dengan dongdang ucing yang dibawa oleh dua orang dengan iringan alat musik. Ritual Mapag Banyu dimulai dengan mupuhan yang dipimpin oleh pengasuh ritual. Ritual ini lebih dahulu meminta izin kepada para leluhur dengan melantunkan kidung atau pujian. Setelah itu, kucing dikeluarkan dari kandangnya dan dimandikan, hal ini disebut sebagai ngibakan kucing.
Setelah mupuhan dilaksanakan, acara puncaknya adalah berdoa untuk meminta hujan turun di Desa Pasirangin. Apabila seluruh rangkaian doa telah selesai, acara dilanjutkan dengan kesenian tradisional, seperti pencak silat dan berbagai atraksi kukudaan, seseroan, debus, dan sulap.
Nilai Simbolik Dalam Transformasi Modern
Ritual Domyak tidak hanya sekadar sebuah bentuk permohonan kepada alam, tetapi juga mengandung makna filosofis yang dalam. Hubungan antara manusia dan alam dalam tradisi ini sangat ditekankan, di mana masyarakat menyadari bahwa mereka adalah bagian dari ekosistem yang lebih besar.
Domyak mengajarkan bahwa manusia tidak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan alam dan mereka harus merawat serta menghormati alam agar dapat hidup selaras dengannya.
Tradisi ini mencerminkan hubungan erat antara manusia dan alam, di mana masyarakat mengandalkan ritual tradisional untuk memohon turunnya hujan pada musim kemarau yang berkepanjangan atau untuk menghadapi kekeringan yang mengancam mata pencaharian mereka.
Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, tradisi Domyak sebagai upacara pemanggilan hujan pun mengalami perubahan. Generasi muda mungkin tidak lagi bergantung pada ritual ini seperti nenek moyang mereka, hal ini karena sudah ada sistem irigasi modern dan sumber air yang lebih teratur. Namun, di beberapa desa terpencil, tradisi ini tetap hidup dan dipraktikkan sebagai bagian dari warisan budaya yang ingin terus dilestarikan.
Dalam konteks budaya modern, Domyak sering kali dimasukkan sebagai bagian dari festival budaya tahunan, dengan tujuan menjaga tradisi agar tidak hilang ditelan kemajuan zaman. Masyarakat setempat menyadari pentingnya melestarikan upacara ini sebagai bagian dari identitas budaya mereka dan bentuk penghormatan terhadap leluhur.
Tradisi pemanggil hujan Domyak adalah salah satu contoh nyata dari kekayaan budaya dan kearifan lokal di Indonesia. Meskipun ritual ini tampak sederhana, namun mengandung makna mendalam tentang kehidupan, keseimbangan alam, dan spiritualitas.
Domyak menjadi cerminan bahwa di tengah kemajuan zaman, manusia tetap memiliki hubungan yang erat dengan alam, dan kebersamaan dalam menjaga, serta merawat alam untuk menghadapi berbagai tantangan kehidupan, termasuk kebutuhan akan hujan yang membawa kehidupan.
Referensi:
Prakasa, A. B. (2018). Proses Perubahan Nilai Ritual Adat Domyak (Studi Fenomenologi Pada Petani Abangan Di Desa Pasirangin, Kecamatan Darangdan, Kabupaten Purwakarta) (Doctoral dissertation, Universitas Brawijaya).
Prawiyogi, A. G., Dwimarwati, R., & Afryanto, S. (2022). Nilai Pedagosis dalam Ritual Domyak. Pantun: Jurnal Ilmiah Seni Budaya, 7(1), 1-11.
Taufiqqurahman, F., Yusup, E., & Poerana, A. F. (2023). Komunikasi Ritual Pada Tradisi Domyak Di Desa Pasirangin Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta (Kajian Etnografi Komunikasi Dell Hymes). NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 10(2), 544-550.