c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

CATATAN VALID

02 Oktober 2025

18:45 WIB

Curhat Boleh, Tapi Hindari Oversharing Dan Trauma Dumping

Tak sedikit orang yang mengira bahwa oversharing dan trauma dumping adalah hal yang sama, padahal sebenarnya tidak. Apa perbedaan antara kedua istilah ini?

Penulis: Nabila Ayu Ramadhani

Editor: Rikando Somba

<p>Curhat Boleh, Tapi Hindari <em>Oversharing&nbsp;</em>Dan<em>&nbsp;Trauma Dumping</em></p>
<p>Curhat Boleh, Tapi Hindari <em>Oversharing&nbsp;</em>Dan<em>&nbsp;Trauma Dumping</em></p>

Ilustrasi seorang wanita yang sedang curhat atau oversharing dengan temannya. Shutterstock/Hananeko_Studio.

Apakah Sobat Valid punya bestie yang kalau curhat rasanya panjang banget dan ceritanya terdengar sama saja? Misalnya, dia selalu cerita tentang hubungan asmara yang berjalan toxic, sehingga kita sebagai pendengar merasa malas menanggapi. 

Anehnya, berkali kita jtelah memberitahu jalan keluar, mulai dari solusi, sudut pandang, hingga kata-kata penyemangat, namun ia justru terlihat menghiraukan pendapat yang telah kita sampaikan. Kalau punya,artikel ini baik untuk memahami mereka.

Menurut survei yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO), sebanyak 359 juta jiwa di dunia tercatat mengalami gangguan mental pada tahun 2021. Parahnya, kasus ini cenderung didominasi oleh kelompok perempuan, khususnya anak-anak dan remaja. 

Salah satu tanda seseorang mengalami gangguan mental ini adalah perilaku oversharing dan trauma dumping. Kondisi ini terjadi di mana individu yang mengalami tekanan mental akan mencari bentuk pelarian, baik lewat unggahan di social media maupun bercerita kepada teman dengan menambahkan bumbu informasi yang terlalu banyak atau privat. 

Lantas, apakah kedua istilah ini sebenarnya topik yang sama? Jika tidak, apa perbedaan keduanya? Yuk, scroll dan temukan jawabannya!

Memahami Dua Konsep Kebiasaan Curhat yang Dianggap Berlebihan
Di tengah maraknya tren Fear of Missing Out (FOMO) dan tekanan sosial di era digital, banyak individu  secara terang-terangan mengunggah lika-liku kehidupan pribadi dan pengalaman traumatis mereka lewat akun media sosial pribadi maupun percakapan sehari-hari. 

Kondisi ini berpotensi memicu berbagai reaksi dari warganet atau teman yang dijadikan pendengar cerita, mulai dari merasa tidak nyaman, canggung, hingga meninggalkan pembicaraan di tengah jalan.

Alih-alih membangun kedekatan emosional dengan pendengar, praktik ini justru dapat memicu dampak negatif, baik bagi diri sendiri maupun orang-orang di sekelilingnya. Kondisi ini kerap diasosiasikan dengan oversharing dan trauma dumping.  

Trauma dumping
Sesuai penamaannya, trauma dumping merujuk pada perilaku seseorang yang menceritakan pengalaman traumatis secara mendalam kepada orang lain tanpa mempertimbangkan batasan emosional dan kesiapan lawan bicara. Hal ini kerap membuat pendengar merasa terbebani dan tidak nyaman selama alur pembicaraan. 

Jika dibiarkan, kondisi ini tidak hanya berpotensi merusak kualitas komunikasi antara pembicara dan audiens, tetapi juga mampu menciptakan jarak di antara keduanya.

Oversharing
Di sisi lain, oversharing adalah kebiasaan berbagi informasi pribadi secara berlebihan, baik dalam bentuk percakapan maupun platform social media

Dari sisi pihak yang berbagi cerita, praktik ini mungkin bermaksud untuk meringankan beban pikiran. Akan tetapi, hal ini kerap membuat pendengar merasa overwhelmed. Makanya, penting bagi setiap individu untuk lebih bijak dalam memilah informasi yang hendak dibagikan, baik melalui media sosial maupun curhat kepada teman terdekat.

Mengapa trauma dumping dan oversharing sebaiknya dihindari?

Saat merasa lelah, apa sih hal yang otomatis terbesit di benak kalian? Menelepon teman, mengelilingi sudut kota dengan kendaraan pribadi, atau malah menceritakannya di story media sosial? Kebiasaan ini bukanlah masalah fatal bila terkontrol secara baik dan bijak, lho. Toh, setiap orang pasti memiliki masalah yang dihadapi dan kerap membutuhkan sosok untuk berbagi beban.

Pada praktiknya, meski dianggap baik bagi kesehatan mental. kebiasaan berbagi cerita ini justru jadi ciri utama dari implementasi oversharing dan trauma dumping. Pertanyaannya, mengapa kegiatan ini justru berpotensi merusak mood pendengar?  

Sulit Mencari Solusi
Dalam menghadapi masalah pribadi, tak sedikit orang lebih memilih trauma dumping dan oversharing sebagai solusi cepat guna memulihkan mood dan tenaga dari tekanan yang begitu menyesakkan dada. Pada praktik gaya komunikasi ini, penyampai pesan kerap melebarkan masalahnya dengan berbagai hal yang terlalu jauh dari masalah utama. 

Hal ini membuat pendengar sering kali merasa sulit memahami dan mencari solusi dari masalah yang dialami pelaku oversharing atau trauma dumping, sehingga mereka makin malas menanggapi percakapan.

Trauma dumping bisa dibilang sebagai versi ekstrem dari oversharing. Mengapa demikian? Soalnya, praktik trauma dumping mengacu pada penyebaran pengalaman traumatis atau masalah emosional yang mendalam tanpa menilai kesiapan pendengar. 

Kondisi ini membuat pendengar merasa tertekan dan merasa tidak seharusnya mengetahui informasi tersebut, terutama karena sifatnya yang terlalu mendalam, sehingga ia enggan mendengarkan cerita lebih lanjut atau menghindari sesi curhat lainnya.

Penyebab Orang Terlalu Dramatis 
Ketika menghadapi masalah pribadi, sebagian orang cenderung langsung menceritakan setiap detailnya kepada orang lain, dibandingkan memendamnya sendiri. Padahal, kebiasaan ini bisa memicu berbagai reaksi dari pendengarnya. Orang yang melakukan oversharing dan trauma dumping kerap dianggap sekadar haus validasi atau bahkan caper (cari perhatian) terhadap orang-orang di sekitarnya.

Fenomena ini bahkan sering dikaitkan dengan istilah FOMO karena pelakunya dinilai ingin selalu terlihat aktif, populer, serta terhubung dengan masyarakat digital. Di momen itu, seseorang akan mengupayakan segala cara agar selalu terlihat eksis. 

Pada akhirnya, ia justru terjebak pada penerapan oversharing dan trauma dumping, khususnya dalam konteks digital. Ada sejumlah alasan di balik praktik oversharing dan trauma dumping yang dilakukan seseorang. Beberapa di antaranya adalah tekanan pekerjaan, beban masalah pribadi, serta tuntutan nilai sekolah. 

Berbagai tekanan pekerjaan, mulai dari deadline, target, serta lingkungan kerja yang tergolong toxic, menuntut karyawan untuk mampu beradaptasi tanpa memperhatikan faktor kesehatan mental maupun kondisi fisiknya. Sebagian dari mereka juga terkadang melupakan waktu istirahat, bermain bersama anak, hingga perhatian terhadap diri sendiri. Dalam kondisi ini, mereka memilih oversharing dan trauma dumping sebagai upaya efektif untuk menumpahkan unek-unek yang telah lama tersimpan.

Besarnya kebutuhan finansial, hingga konflik dengan pasangan atau teman termasuk dalam faktor-faktor pemicu timbulnya berbagai gangguan kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, hingga stres berkepanjangan. 

Ketika seseorang merasa kewalahan menghadapi persoalan pribadi, ia cenderung mencari cara yang dianggap mampu melepaskan beban pikiran, misalnya melalui oversharing yang kemudian berubah menjadi trauma dumping.

Banyak orang tua memerintahkan anak-anaknya untuk meraih nilai tinggi, lulus tepat waktu, dan aktif dalam berbagai kegiatan sekolah. Meski tujuan mereka agar anak tumbuh lebih baik darinya, namun tekanan semacam ini bisa memicu kelelahan mental, mulai dari stres, merasa tak aman, hingga trauma mendalam bagi anak. 

Hasilnya, anak-anak kerap mencari bahan pelarian, misalnya meng-upload foto disertai kata-kata penuh tekanan pada postingan akun media sosialnya.

Dampak Buruk Oversharing dan Trauma Dumping
Oversharing maupun trauma dumping sama-sama ditandai oleh sifat berlebihan dalam konteks berbagi informasi. Meskipun dua konsep ini sekilas terlihat sama, keduanya didasari oleh tujuan spesifik. Oversharing biasanya bertujuan menarik perhatian atau sekadar menerima validasi dari orang lain. Berbeda dengan trauma dumping yang lebih menggarisbawahi pelampiasan pengalaman traumatis sehingga menimbulkan kesan egois karena tidak memperhatikan kapasitas lawan bicaranya.

Kebiasaan oversharing dan trauma dumping ternyata juga menimbulkan sejumlah dampak buruk bagi pihak yang melakukannya, mulai dari menghambat proses penyembuhan diri, mendukung tindakan cyberbullying, serta meninggalkan jejak digital.

Trauma dumping dan oversharing sama-sama berpotensi memicu berbagai dampak negatif dalam hubungan sosial maupun kondisi psikologis seseorang. Kebiasaan ini seringkali mengganggu lawan bicara karena curahan hati yang dinilai terlalu dramatis tanpa mempertimbangkan kenyamanan penerima pesan. 

Pelaku oversharing ataupun trauma dumping kerap menambahkan bumbu cerita yang mengakibatkan pendengar merasa sulit memahami inti masalah atau semakin malas mendengarkan cerita karena sudah mencoba memberi solusi namun diabaikan oleh pencerita. Akibatnya, sang pencerita yang memiliki masalah pun semakin sulit menyembuhkan diri dari masalah yang dikisahkannya.

Mendukung Tindakan Cyberbullying
Pelaku oversharing dan trauma dumping kerap mengalami cyberbullying atau perundungan online karena unggahan informasi yang telah ia dipublikasikan. Artis, public figure, dan content creator misalnya, sering menjadi korban praktik oversharing dan trauma dumping. 

Hal ini dikarenakan setiap postingan yang mereka bagikan pasti selalu diperhatikan oleh banyak pihak, termasuk yang berbau penumpahan perasaan. Kondisi ini bisa memicu beragam perspektif warganet, termasuk komentar pedas hingga cyberbullying.

Seseorang yang telah membagikan sesuatu di platform media sosial cenderung lebih rentan kehilangan kontrol atas diri sendiri. Postingan yang sudah tersebar luas bisa tetap meninggalkan jejak digital meskipun telah hilang atau dihapus. Pada akhirnya, mereka yang terlanjur dinilai memiliki jejak digital buruk kerap menjadi sasaran perundungan, stigma negatif, atau bahkan terkena cancel culture di masa depan.

Jika Sobat Valid sudah menyadari bahwa selama ini kamu pernah melakukan trauma dumping dan oversharing, maka kalian sudah di jalan yang tepat. 

Kesadaran akan perilaku tersebut merupakan awal yang tepat untuk memperbaiki gaya komunikasimu dengan ornag lain. Baik oversharing maupun trauma dumping perlu dihindari karena berpotensi mengurangi kenyamanan pendengar selama pembicaraan berlangsung. 

Beragam upaya yang diyakini dapat mengurangi potensi melakukan dua praktik ini, baik lewat media sosial maupun interaksi tatap muka, misalnya memberi jeda sejenak, mengendalikan diri sendiri, hingga memastikan kesediaan pendengar.

Seseorang yang terlibat dalam kedua praktik ini sebaiknya mencoba menghentikan pembicaraan sejenak guna menetralkan beban pikiran, walaupun hanya dalam waktu yang tak cukup lama. Tak hanya itu, pelaku juga perlu membatasi durasi obrolan agar lawan bicara tidak merasa suntuk dan   merasa harus ikut berkontribusi walau sekadar menanggapi sepatah dua kata sehingga interaksi berjalan lancar dan nyaman bagi kedua belah pihak.

Kendalikan Diri Sendiri
Setiap orang perlu mencoba mengendalikan emosi agar dapat menjadi pribadi yang lebih tenang ketika menghadapi konflik. Menunjukkan amarah atau sikap terlalu dramatis selama bercerita tidak hanya akan menakuti lawan bicara, tetapi juga membuat mereka enggan berkomunikasi atau bahkan hanya sekadar bertegur sapa dengan pembicara. 

Oleh karena itu, kita perlu memahami pentingnya cara mengolah emosi, mengenali diri sendiri, dan memilih momen yang tepat ketika hendak berbagi cerita kepada orang lain.

Sebagian orang kini lebih memilih menanyakan terlebih dahulu mengenai kesanggupan pendengar sebelum mulai membicarakan pengalaman pribadinya. Selain menjaga rasa aman dan nyaman selama interaksi, persetujuan ini juga membantu memastikan agar ia tidak merasa risih atau terbebani oleh topik yang dibahas. Langkah ini juga termasuk dalam salah satu proses pendewasaan diri karena dinilai menghargai adanya batasan terhadap orang lain.

Jelasnya,  oversharing dan trauma dumping, ternyata sangat mempengaruhi penyebaran informasi dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, setiap individu didorong untuk mampu mengatur emosi, mencari solusi, hingga memperhatikan kesediaan orang lain guna menghindari dampak negatif pada kualitas komunikasi. 

Pertanyaannya, apakah Sobat Valid telah menerapkan gaya komunikasi efektif, baik lewat sosial media maupun interaksi langsung?  


 *Penulis merupakan mahasiswa aktif, tengah magang mandiri di Validnews.id.  

 

Referensi:

  1. Better Help. (2025, Agustus 06). Psikologi di Balik Pembuangan Trauma. Retrieved from betterhelp.
  2. Borst, H. (2023, September 28). Trauma Dumping: Tanda, Dampak, dan Strategi Mengatasinya. Retrieved from forbes.
  3. Cleveland Clinic. (n.d.). Ketika Curahan Hati Menjadi Racun: Apa Itu Trauma Dumping? Retrieved from clevelandclinic.
  4. World Health Organization. (2025, September 08). Gangguan kecemasan. Retrieved from WHO.

KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar