c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

CATATAN VALID

14 November 2025

15:00 WIB

Climate Finance Di Indonesia Dan Peranan Untuk Transisi Ekonomi Hijau

Climate finance kini menjadi salah satu kunci penting dalam perjalanan Indonesia menuju ekonomi hijau. Tanpa dukungannya, sulit bagi negara berkembang untuk mempercepat transisi energi bersih.

Penulis: Oktarina Paramitha Sandy

Editor: Rikando Somba

<p><em>Climate Finance&nbsp;</em>Di Indonesia Dan Peranan Untuk Transisi Ekonomi Hijau</p>
<p><em>Climate Finance&nbsp;</em>Di Indonesia Dan Peranan Untuk Transisi Ekonomi Hijau</p>

Ilustrasi climate finance dengan gambar pohon pada uang dengan ikon CO2 di latar belakang hijau. Shutterstock/witsarut sakorn.

Bicara soal perubahan iklim, kita mungkin sudah sering dengar istilah pemanasan global atau cuaca ekstrem yang makin tidak menentu akhir-akhir ini. Namun, di balik berbagai upaya menekan dampak perubahan iklim, ada satu hal mendasar yang jarang dibicarakan. 

Dari mana sebenarnya dana untuk membiayai semua langkah ini berasal? 

Pertanyaan itu membawa kita pada konsep climate finance atau pendanaan iklim, yang kini menjadi salah satu kunci penting dalam perjalanan Indonesia menuju ekonomi hijau.

Pendanaan iklim pada dasarnya bukan hanya soal angka di atas kertas, melainkan fondasi agar berbagai inisiatif ramah lingkungan benar-benar bisa dijalankan. Tanpa dukungan finansial yang cukup, sulit bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk mempercepat transisi energi bersih, melindungi ekosistem alam, atau membantu masyarakat beradaptasi terhadap dampak iklim yang makin terasa. 

Melalui mekanisme climate finance, dana dari berbagai sumber, baik pemerintah, lembaga internasional, maupun sektor swasta,  diarahkan untuk mendukung program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Di Indonesia, kebutuhan pendanaan ini sangat besar. Sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap banjir, kekeringan, dan naiknya permukaan laut, Indonesia harus menyiapkan sistem pendanaan yang mampu menjangkau hingga ke daerah-daerah. 

Pendanaan iklim juga membuka peluang bagi hadirnya berbagai instrumen keuangan hijau seperti green sukuk, green bonds, dan skema blended finance yang menggabungkan dana publik dan swasta. Dengan mekanisme seperti ini, proyek-proyek energi terbarukan, rehabilitasi hutan, atau pengelolaan limbah berkelanjutan bisa memiliki sumber dana yang lebih stabil.

Namun, pendanaan yang besar saja tidak cukup. Kualitas tata kelola, transparansi pelaporan, dan arah investasi juga menentukan seberapa efektif dana tersebut digunakan. Tanpa sistem yang kuat, ada risiko munculnya proyek yang hanya berlabel “hijau” tanpa memberikan dampak nyata terhadap pengurangan emisi atau peningkatan ketahanan iklim.

Dikutip dari penelitian berjudul Revisiting the role of International Climate Finance (ICF) Towards Achieving the Nationally Determined Contribution (NDC) target: A case study of the Indonesian energy sector (2022), pendanaan iklim internasional memainkan peran strategis dalam mendukung agenda pembangunan rendah karbon Indonesia. Studi tersebut menjelaskan bahwa keberhasilan implementasi climate finance di Indonesia tidak hanya bergantung pada besarnya dana yang diterima, tetapi juga pada seberapa baik sinergi antara kebijakan nasional dan aliran pendanaan global dijalankan secara terintegrasi.

Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa dukungan dana dari lembaga internasional seperti Green Climate Fund (GCF), World Bank, dan Asian Development Bank (ADB) memiliki peran besar dalam membiayai proyek energi bersih, konservasi hutan, serta pengelolaan risiko bencana berbasis adaptasi iklim. Namun, dana tersebut baru akan memberikan dampak optimal jika disertai dengan arah kebijakan domestik yang konsisten dan sistem tata kelola yang transparan.

Selain itu, pendanaan iklim yang terarah dapat mempercepat transformasi sektor energi Indonesia, terutama dalam transisi dari energi berbasis fosil menuju sumber energi terbarukan seperti surya, angin, dan panas bumi. Selain itu, pendanaan yang efektif juga dapat memperkuat ketahanan sosial dan ekonomi masyarakat di wilayah rentan terhadap bencana iklim, misalnya melalui dukungan untuk program adaptasi di sektor pertanian dan pengelolaan air.

Apa Itu Climate Finance dan Apa Pentingnya
Kalau kamu pernah bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang menanggung biaya besar di balik berbagai proyek lingkungan? Mulai dari pembangunan pembangkit listrik tenaga surya, rehabilitasi hutan, sampai transportasi rendah emisi? Jawabannya ada pada satu konsep penting, yaitu climate finance atau pendanaan iklim.

Secara sederhana, climate finance adalah aliran dana yang dikumpulkan dan dialokasikan secara khusus untuk mendukung upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Dana ini bisa datang dari pemerintah, sektor swasta, lembaga keuangan nasional, hingga dukungan internasional seperti Green Climate Fund atau World Bank. Tapi, pendanaan iklim nggak cuma soal investasi besar di energi bersih. Ia juga mencakup program pemberdayaan masyarakat, pembangunan infrastruktur tahan bencana, dan dukungan bagi sektor pertanian agar bisa lebih adaptif terhadap perubahan pola cuaca.

Kenapa hal ini penting untuk Indonesia? Jawabannya cukup sederhana. Indonesia adalah salah satu negara paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, kita berhadapan langsung dengan ancaman kenaikan permukaan air laut, abrasi, serta cuaca ekstrem yang makin sering terjadi. Di sisi lain, hutan tropis Indonesia menyimpan potensi besar dalam menyerap emisi karbon global, tapi juga menjadi sumber risiko jika pengelolaannya tidak berkelanjutan.

Berdasarkan laporan, Indonesia diperkirakan membutuhkan investasi sekitar US$3,5 triliun  hingga 2030 untuk mencapai target pengurangan emisi sesuai komitmen nasional. Dana sebesar ini dibutuhkan untuk mempercepat transisi menuju energi bersih, memperluas pengelolaan hutan berkelanjutan, serta membangun infrastruktur rendah emisi di berbagai sektor.

Namun, perlu dicatat, memiliki dana saja tidaklah cukup, sebab yang terpenting adalah bagaimana dana itu dikelola dan diarahkan. Dikutip dari penelitian berjudul Determinants of Green Finance Implementation in Indonesia (2025), keberhasilan penerapan pendanaan hijau di Indonesia sangat ditentukan oleh dua hal utama: efektivitas tata kelola (governance effectiveness) dan dukungan kebijakan yang konsisten (policy and regulatory support). 

Studi ini menegaskan bahwa meskipun dana untuk proyek hijau semakin meningkat, tanpa regulasi yang jelas dan sistem koordinasi yang kuat, dampaknya terhadap pengurangan emisi dan pertumbuhan ekonomi hijau akan sulit dirasakan secara nyata

Dengan kata lain, climate finance bukan cuma soal uang, tapi tentang bagaimana dana tersebut dikelola dengan transparan dan diarahkan pada sektor yang benar-benar strategis. Pendanaan yang efektif bisa mempercepat pembangunan pembangkit listrik tenaga surya di daerah terpencil, membantu petani beradaptasi dengan pola cuaca baru, dan menciptakan lapangan kerja hijau yang lebih inklusif. Jadi, ketika kita bicara soal masa depan ekonomi hijau di Indonesia, pembiayaan iklim bukan hanya alat pendukung, tapi fondasi utama yang menentukan seberapa cepat dan seberapa jauh kita bisa bergerak menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.

Gambaran Umum Climate Finance di Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia mulai menunjukkan keseriusan dalam membangun sistem pendanaan iklim yang terarah dan berkelanjutan. Langkah ini bukan hanya bagian dari komitmen global untuk menekan emisi karbon, tapi juga strategi jangka panjang agar pertumbuhan ekonomi bisa berjalan seiring dengan perlindungan lingkungan. Salah satu tonggak pentingnya adalah penerapan Green Economy Framework dan Low Carbon Development Initiative (LCDI), dua kebijakan utama yang kini menjadi panduan Indonesia dalam transisi menuju ekonomi rendah karbon.

Kerangka LCDI yang disusun oleh Bappenas bukan sekadar dokumen perencanaan, tapi juga peta jalan yang menyatukan target iklim dengan strategi pembangunan nasional. Melalui pendekatan ini, kebijakan ekonomi dan lingkungan dirancang agar saling menguatkan. Artinya, setiap proyek infrastruktur, energi, maupun industri kini dilihat bukan hanya dari nilai ekonominya, tapi juga dari sejauh mana kontribusinya terhadap pengurangan emisi dan keberlanjutan ekosistem.

Dari sisi kelembagaan, kehadiran Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) sejak 2019 jadi langkah besar dalam memperkuat tata kelola pendanaan iklim di Indonesia. Lembaga ini memiliki peran penting dalam menyalurkan dana lingkungan dan iklim untuk proyek-proyek hijau, mulai dari konservasi hutan, restorasi lahan gambut, sampai pengembangan energi terbarukan. BPDLH juga berfungsi sebagai penghubung antara sumber dana internasional dan kebutuhan pembiayaan di dalam negeri, sehingga aliran dana bisa lebih transparan, terarah, dan berdampak langsung ke masyarakat.

Berdasarkan penelitian berjudul Mendesain Kelembagaan Perantara Nasional untuk Memobilisasi Pendanaan Iklim di Indonesia: Studi Kasus Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) (2025), keberhasilan sistem pendanaan iklim di Indonesia sangat ditentukan oleh seberapa kuat desain dan tata kelola kelembagaannya. Penelitian ini menekankan bahwa BPDLH tidak hanya berfungsi sebagai penyalur dana, tetapi juga sebagai pengawal transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas penggunaan dana iklim.

Dengan sistem pelaporan yang jelas dan koordinasi lintas lembaga yang baik, dana yang tersalurkan bisa memberikan dampak nyata terhadap upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Namun, tantangan utama Indonesia bukan hanya soal ketersediaan dana, tapi bagaimana memastikan sistem kelembagaan mampu menjembatani berbagai kepentingan dengan baik

Dari sisi sumber pendanaan, Indonesia punya beberapa instrumen yang semakin berkembang. Salah satu yang paling menonjol adalah Green Sukuk, yaitu obligasi hijau berbasis prinsip syariah yang pertama kali diterbitkan pada 2018. Hingga 2024, total penerbitannya sudah mencapai lebih dari US$8 miliar, menjadikan Indonesia sebagai salah satu penerbit green sukuk terbesar di dunia Dana dari sukuk hijau ini digunakan untuk mendanai proyek-proyek seperti pembangunan pembangkit energi terbarukan, pengelolaan limbah, efisiensi energi, hingga rehabilitasi kawasan pesisir.

Pemerintah menargetkan alokasi anggaran untuk program lingkungan dan iklim mencapai 20–30% dari total APBN pada tahun 2030. Sektor swasta pun mulai ikut bergerak dengan berinvestasi dalam energi bersih, menerbitkan green bonds, hingga mengembangkan skema pembiayaan berbasis Environmental, Social, and Governance (ESG).

Kalau semua inisiatif ini terus dijalankan secara konsisten, Indonesia punya peluang besar untuk memanfaatkan climate finance sebagai motor penggerak utama dalam transisi menuju ekonomi hijau. Tantangannya memang tidak kecil, tapi dengan koordinasi yang kuat, tata kelola yang transparan, dan dukungan lintas sektor, pendanaan iklim bisa menjadi fondasi kokoh bagi masa depan pembangunan yang lebih berkelanjutan.

Masa Depan Climate Finance di Indonesia
Potensi pertumbuhan investasi hijau dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan juga terbilang besar. Berdasarkan proyeksi Institute for Essential Services Reform (IESR) 2024, investasi di sektor energi terbarukan bisa mencapai Rp600 triliun hingga 2030, asalkan ekosistem pendanaannya diperbaiki dan dibuat lebih efisien. Angka ini bukan hal yang mustahil, mengingat kebutuhan energi Indonesia yang terus meningkat, ditambah dengan komitmen pemerintah untuk memperluas bauran energi bersih. Kalau tata kelola pendanaan diperkuat dan proses birokrasi disederhanakan, aliran modal ke sektor hijau bisa tumbuh jauh lebih cepat dari sekarang.

Lebih jauh lagi, arah pengembangan climate finance akan semakin terintegrasi dengan strategi pembangunan nasional dan inisiatif seperti Low Carbon Development Initiative (LCDI). Ini artinya, kebijakan pendanaan iklim tidak lagi berdiri sendiri sebagai program lingkungan, tapi menjadi bagian dari mesin utama pertumbuhan ekonomi. 

Kamu bisa bayangkan, ketika investasi hijau mulai masif, efek ikutannya juga besar, muncul lapangan kerja baru di bidang energi bersih, konservasi lingkungan, teknologi ramah lingkungan, sampai jasa konsultasi ESG. Dengan begitu, ekonomi hijau bukan cuma idealisme, tapi peluang ekonomi nyata yang bisa dinikmati banyak orang.

Namun, masa depan climate finance juga bergantung pada kemampuan Indonesia menjaga kepercayaan investor dan mitra internasional. Dukungan dari forum global seperti Paris Agreement serta lembaga pendanaan iklim dunia seperti Green Climate Fund akan tetap jadi pendorong penting.

Kalau sistem pendanaan iklim bisa dijalankan dengan transparan, akuntabel, dan inovatif, Indonesia punya peluang besar untuk bukan hanya mencapai target Net Zero Emission 2060, tapi juga tampil sebagai salah satu pemimpin regional dalam pengembangan ekonomi hijau.

* Penulis adalah kontributor di Validnews.id   

 

Referensi:

  1. Revisiting the role of international climate finance (ICF) towards achieving the nationally determined contribution (NDC) target: A case study of the Indonesian energy sector (2022) 
  2. Determinants of green finance implementation in Indonesia: Evidence from panel data analysis of institutional, market, issuer, and macroeconomic factors (2025) 
  3. Mendesain kelembagaan perantara nasional untuk memobilisasi pendanaan iklim di Indonesia: studi kasus BPDLH (2025) 
  4. Strengthening the Indonesian climate governance in energy sector towards achieving the NDC target (2020) 

KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar