20 Oktober 2025
14:30 WIB
Benarkah Mobil Hemat Energi Bisa Kurangi Polusi Udara?
Beragam solusi untuk tangani polusi udara di perkotaan digalakkan. Salah satunya, lewat wacana menghadirkan mobil hemat energi. Namun, seberapa signifikan pengaruh ide ini?
Penulis: Novelia
Editor: Rikando Somba
Tim kendaraan hemat energi kebanggaan Universitas Gadjah Mada, Semar UGM. (@semarugm) Semar UGM
Sobat Valid yang tinggal di daerah pegunungan atau dataran tinggi sudah pasti pernah mengalami pagi berkabut yang dingin dan menyejukkan. Kabut bisa menjadi hal yang sehari-hari bisa Sobat Valid saksikan di daerah-daerah sejuk dan berpohon banyak.
Namun, jangan salah. Kalau Sobat Valid bangun pagi di Jakarta ataupun Surabaya, kabut juga bisa dijumpai, lho. Sayangnya, alih-alih berasal dari kondisi natural yang menandakan udara sehat dan dingin, kabut di dua kota besar ini lebih banyak berasal dari lapisan tipis asap kendaraan bermotor yang terus bertambah jumlahnya. Bahkan, kerap bisa kita lihat kabut serupa di menutupi langit.
Di tengah keresahan akan polusi udara yang menjadi momok di berbagai kota besar, beragam solusi mulai terdengar,. Ada yang terkesan utopis, sampai yang seolah realistis.
Salah satunya, wacana menghadirkan mobil hemat energi. Akan tetapi, mampukah implementasi ide ini benar-benar memperbaiki kualitas udara di perkotaan?
Apa Itu Mobil Hemat Energi?
Sebelum mengetahui apa kelebihan maupun dampak mobil hemat energi bagi lingkungan, tentu saja kita perlu mengetahui lebih mendalam mengenai definisi dari jenis kendaraan ini. Istilah mobil hemat energi merujuk pada kendaraan yang penggunaan bahan bakarnya lebih efisien dibandingkan mobil atau kendaraan konvensional lainnya, atau bahkan tidak menggunakan bahan bakar fosil sama sekali.
Ada beberapa jenis mobil hemat energi, di antaranya mobil hybrid, mobil listrik murni, serta mobil berbahan bakar alternatif. Antara mobil hybrid dan mobil listrik murni, memiliki kesamaan dalam hal menggunakan tenaga listrik. Perbedaannya, jika penggunaan motor listrik pada mobil hybrid masih digabungkan dengan mesin bensin, mobil listrik murni atau battery electric vehicle sepenuhnya digerakkan oleh baterai bertenaga listrik.
Berbeda lagi dengan mobil berbahan bakar alternatif yang, sesuai namanya, digerakkan oleh energi alternatif seperti hidrogen, bioetanol, ataupun compresses natural gas (CNG).
Sebagai salah satu negara yang bisa dibilang terdepan dalam bidang otomotif dan teknologi, Jepang telah menjajal produksi mobil hemat energi sejak lama. Ketika euforia mobil listrik mulai mendunia pada tahun 2000-an, Jepang mendahuluinya. Pada tahun 1997, pabrikan Toyota memproduksi mobil hybrid dengan nama varian Toyota Prius. Kini, lebih dari 30% mobil baru yang dijual di negeri matahari terbit ini adalah mobil hybrid.
Di sisi lain, Indonesia juga bukan baru-baru ini mengenal konsep mobil hemat energi. Sebagai bagian Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah meluncurkan program Low Cost Green Car (LCGC) pada 2013 untuk mendorong efisiensi bahan bakar sebanyak 20 km/liter.
Sejarah Mobil Hemat Energi
Jika ditilik sejarahnya, ide dan implementasi mengenai kendaraan efisien sebenarnya bukanlah barang baru. Meskipun kini terkesan sebagai konsep berbau modern, jenis kendaraan ini nyatanya telah hadir sejak tahun 1832, dua tahun setelah mobil tenaga uap lahir di 1830. Seorang insinyur asal Skotlandia bernama Robert Anderson lah yang untuk pertama kalinya mengembangkan mobil roda tiga bertenaga baterai listrik. Temuan ini tercatat sebagai mobil listrik pertama di dunia.
Setelah penemuan tersebut, dilakukan berbagai pengembangan, dari segi mesin maupun baterai. Tak heran, kala itu mobil listrik bahkan bisa dibilang lebih populer dibandingkan kendaraan yang digerakkan oleh bensin. Sayangnya, keterbatasan baterai akhirnya membuat pemasaran mobil jenis ini teredam. Mobil bensin pun kembali mendominasi hingga abad ke-20.
Semua mulai berubah ketika krisis minyak melanda dunia pada tahun 1970-an. Para produsen mobil mulai berpikir ulang, mempertimbangkan penggunaan mesin yang lebih irit bahan bakar. Dengan berbagai riset dan percobaan, tenaga listrik mulai kembali dilirik. Puncaknya, Toyota Prius jadi mobil hybrid pertama di dunia yang diproduksi dan pasarkan secara massal pada 1997.
Butuh lebih dari satu dekade setelah itu, sampai akhirnya Tesla memperkenalkan produk mobil listrik perdananya pada 2008. Di bawah kepemimpinan CEO Elon Musk yang baru saja menjabat di tahun yang sama, kelahiran produk otomotif yang diberi nama Roadster itu menjadi titik awal revolusi EV modern.
Pergerakan Elon bersama Tesla memicu hasrat kompetisi di dunia otomotif. Perusahaan mulai berlomba-lomba menciptakan sarana transportasi yang mendorong penggunaan energi bersih. Tak hanya pelaku industri, tren ini juga mengubah arah kebijakan. Sejak tahun 2010-an, mulai banyak negara yang memberkan insentif bagi pembelian kendaraan rendah emisi.
Pelan tapi pasti, tren global bergeser. Berbagai kesepakatan dan perjanjian antarnegara untuk mencapai net-zero emissions ’memaksa’ pemerintah untuk melakukan elektrifikasi penuh pada kendaraan. Uni Eropa bahkan telah menargetkan pelarangan penjualan mobil bertenaga bensin baru pada 2035 mendatang. Akan tetapi, apakah dorongan ini memang sudah bersifat mendesak? Seberapa penting keberadaan mobil hemat energi bagi kita saat ini?

Kenapa Kita Membutuhkan Mobil Hemat Energi?
Kalau ditanya kenapa, kita perlu melihat bagaimana minat masyarakat yang juga makin besar pada mobil hemat energi. Di Indonesia saja, penjualan mobil listrik pada tahun 2024 sudah mencapai lebih dari 20 ribu unit. Lalu, seberapa besar peningkatannya? Kenaikannya 300% dibandingkan tahun sebelumnya, Sobat Valid!
Entah memang didasari alasan kesadaran pentingnya menjaga lingkungan atau sekadar memenuhi tuntutan gaya hidup, tren penggunaan mobil hemat energi kini tak lagi dianggap asing. PLN bahkan sudah menyiapkan lebih dari 1.200 stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) di seluruh Indonesia pada 2025 ini. Melihat data perkembangan yang sangat drastis ini, urgensi apa sih menjadi pemicunya?
Nyatanya, mobil hemat energi memang jadi salah satu harapan bagi polusi udara di Indonesia yang cukup parah, terutama di kota-kota besar. Bayangkan saja, data IQAir 2024 bahkan menunjukkan bahwa Jakarta pernah duduk di posisi keenam sebagai kota dengan udara paling tercemar di dunia, dengan nilai PM2.5 hingga 70-80 micrograms per cubic meter (μg/m3). Padahal ambang batas dari WHO ada di angka 5 μg/m3!
Nah, sekarang kita bahas dengan perhitungan, apa yang bisa diubah kalau kita beralih ke mobil hemat energi. Penggunaan satu mobil bertenaga bensin menghasilkan kira-kira 4,6 ton CO2 setiap tahunnya. Uniknya, besaran emisi yang sama bisa kita kurangi dalam setahun kalau saja ada satu juta mobil yang beralih jadi EV! Yap, sebanyak 4,6 ton CO2 , alias besaran pengurangan emisi yang setara kalau kita menanam lebih dari 70 juta poohon!
Memang perlu diakui, fakta bahwa mayoritas sumber listrik yang berbahan bakar energi fosil di Indonesia membuat emisi kita tidak nihil seperti sejumlah negara lain yang telah sepenuhnya memanfaatkan energi terbarukan. Meski begitu, bauran energi bersih pada pembangkit listrik yang pelan-pelan kita jajaki menjadi langkah awal yang patut diapresiasi. Pemanfaatan energi baru maupun penggunaan teknologi ramah lingkungan, menjadi pijakan kokoh di masa transisi energi ini.
Kabar baiknya, studi yang dilakukan International Energy Agency (IEA) menyimpulkan bawa mobil listrik di negara yang masih bergantung pada pembangkit listrik bertenaga fosil atau batubara tetap memberi pengaruh baik yang signifikan. Kendaraan ini menghasilkan emisi kira-kira 30% lebih rendah dibandingkan mobil bensin konvensional.
Proyeksi BRIN juga menyatakan bahwa bila 30% kendaraan di Jakarta beralih pada electronic vehicles, emisi CO2 bisa turun setidaknya sebesar 12%! Sepanjang 2025, kita telah melihat perkembangan yang cukup menggembirakan di Jakarta, di mana mobil listrik maupun hybrid sudah banyak berlalu lalang. Memang sih, kontribusinya terhadap penurunan polusi bahkan masih belum mencapai 2%. Tapi ini langkah awal yang baik, bukan?
Kompetisi Mobil Hemat Energi Menjamah Kampus
Tak hanya pemerintah dan masyarakat yang berkemampuan finansial melakukan pembelian EV, tren dan pengembangan mobil hemat energi juga telah menjadi perhatian sejumlah generasi muda yang masih menempuh pendidikan tinggi. Salah satunya mereka yang berasal dari Universitas Gajah Mada (UGM).
Dibekali kesadaran akan polusi dan pemanasan global, serta pentingnya mendukung efisiensi energi dan pembangunan berkelanjutan, SEMAR UGM lahir pada tahun 2009 dan memfokuskan diri di industri otomotif. Tim yang terdiri dari 20 mahasiswa program sarjana dari berbagai jurusan ini secara konsisten merancang, mengakumulasi, meriset, sampai membuat kendaraan dengan konsumsi energi dalam jumlah yang terbilang ultra-low. Lebih dari 90% dari komponen kendaraan ini diproduksi di Laboratorium Desain dan Pengembangan Produk UGM.
Tak hanya memproduksi, mereka juga mengikuti berbagai ajang kompetisi, seperti Shell Eco-marathon, ataupun Kompetisi Mobil Hemat energi 2025 yang diadakan pada Oktober ini. Dalam ajang-ajang seperti ini, kendaraan yang mereka rancang dinilai dan dievaluasi oleh para akademisi dan pakar industri terkemuka di bidang otomotif.
Semangat yang ditunjukkan para mahasiswa UGM ini menunjukkan bahwa solusi menjaga lingkungan tak harus datang dari mesin-mesin ‘racikan’ luar negeri. Lewat tangan-tangan cekatan generasi muda di ruang laboratorium di kampus lokal saja, bisa lahir gagasan besar tentang mobilitas rendah emisi yang mendukung masa depan berkelanjutan.
Mobil hemat energi memang konsep brilian yang menyimpan segudang harapan bagi bumi yang lebih baik. Tapi jangan lupa, udara bersih bukan cuma produk dari kendaraan canggih. Ia juga hadir dari kebijakan pemerintah yang tepat dan perilaku masyarakat yang sadar, dalam hal ini mengenai bagaimana bermobilitas yang bijak.
Jika sekarang kita masih berdiskusi tentang kendaraan mana yang mesinnya lebih irit energi, mari berharap bahwa di masa depan pertanyaan kita akan bergeser menjadi: masih perlukah kita mengggunakan kendaraan pribadi?
Referensi: