31 Desember 2021
18:16 WIB
Penulis: Mohammad Widyar Rahman
Tsunami. mendengar kata ini, sebagian besar orang umumnya akan berpikir soal gelombang tinggi dari lautan yang menghantam pantai dan melumat apapun yang dilewatinya. Tsunami Aceh 26 Desember 2004 lalu, misalnya, menjadi bencana yang masih lekat dalam ingatan masyarakat Indonesia.
Namun, tahukah Anda dari mana istilah ini berasal? Kapan istilah yang mewakili peristiwa gelombang tinggi air laut yang umumya membawa kerusakan masif ini pertama kali digunakan?
Usut punya usut, kemunculan pertama kata tsunami ditemukan dalam jurnal yang disimpan oleh seorang punggawa Shogun Jepang, Tokugawa leyasu, saat menerima berita tentang gempa bumi Sanriku, 2 Desember 1611.
Saat itu, berbagai istilah pun digunakan untuk menggambarkan peristiwa yang terjadi. Di antaranya, onami (gelombang besar), shikai namisu (gelombang yang naik ke segala arah), takanami (gelombang tinggi), takashio (air pasang), dan kaisho (gemuruh laut).
Ratusan tahun berlalu, peristiwa tsunami kembali menghantam Sanriku. Kejadian yang dinamai Great Sanriku Meiji itu menghantam Pantai Pasifik di timur laut Jepang pada malam hari, tanggal 15 Juni 1896. Kala itu, tinggi gelombang tsunami mencapai 38 m di Ryori Shirahama di Prefektur Iwate.
Gempa tersebut merupakan “gempa tsunami” yang khas dengan getaran tanah yang sangat lemah. Karena itulah, tidak ada penduduk yang mencoba mengungsi. Tak heran, tsunami ini mengakibatkan korban tewas mencapai 22.000 jiwa. Kerugian ekonomi mencapai sekitar 10% dari anggaran nasional saat itu.
Sejak kejadian itu, kata tsunami pertama kali disebutkan oleh penulis perjalanan Amerika yang bernama Eliza Ruhamah Scidmore yang menetap di Jepang sejak 1884. Ia sering mengunjungi saudara laki-lakinya yang bernama George, kemudian menjadi pegawai konsuler di Yokohama, selanjutnya bekerja di konsul jenderal. Selain itu, Ia juga menjadi seorang dosen di Universitas Chuo, Tokyo.
Eliza sendiri sebenarnya berbasis di Washington dan bergabung dengan National Geographic Society. Ia pun menulis beberapa buku tentang Jepang dan negara-negara kawasan Timur. Ia melaporkan ke National Geographic Magazine tentang tsunami yang sangat merusak yang melanda Sanriku, Jepang, pada tanggal 15 Juni 1896.
Istilah tsunami kemudian muncul di The Atlantic Monthly. Penulisnya bernama Lafcadio Hearn, seorang jurnalis dan penulis yang lahir dari orang tua Irlandia dan Yunani. Ia termasuk di antara orang asing yang menetap di Jepang, setelah Jepang membuka kembali pintunya ke dunia.
Hearn menetap di Jepang dan dinaturalisasi sebagai Koizumi Yakumo. Ia menikah dengan putri seorang samurai. Seperti halnya Scidmore, ia mendedikasikan dirinya untuk menggambarkan Jepang yang eksotis bagi orang barat di pergantian abad ke-20.
Terlepas dari itu semua, sekalipun kata tusnami belum disebutkan, sebenarnya masyarakat Eropa telah lebih dulu mencatat bencana serupa tsunami. Misalnya, bencana yang disebabkan oleh letusan gunung dan dihubungkan dengan gelombang tinggi air laut di Pulau Thera pada peradaban Minoa di Kreta (saat ini Yunani) tahun 1600 SM.
Selain itu, Legenda Atlantis yang tenggelam, sebagaimana diceritakan dalam Timaeus karya Plato (sekitar 360 SM). Ada juga kejadian tsunami pada 479 SM di Potidaia, Chalcidike, di utara Yunani sebagaimana dituliskan oleh Herodotus dalam Histories (440 SM).
Anak-anak bermain di kawasan objek wisata tsunami Kapal di Atas Rumah di Desa Lampulo, Banda Aceh, A ceh, Rabu (9/6/2021). ANTARAFOTO/Syifa Yulinnas
Laporan Ilmiah
Baru pada era modern, setelah Scidmore dan Hearn, kata tsunami mulai muncul dalam laporan ilmiah berbahasa Inggris. Majalah Nature, misalnya, pada dekade pertama abad kedua puluh menggunakan istilah tersebut.
Penggunaan istilah dalam bahasa Inggris tersebut diperkuat oleh tsunami besar yang melanda Hawaii pada tanggal 1 April 1946, yang dikenal sebagai April Fool’s Day Tsunami. Bahkan, setelah peristiwa ini pada tahun 1949, Pacific Tsunami Warning Center didirikan di Hawaii.
Sayangnya, meski istilah tersebut telah tersebar luas, namun pemaknaannya masih kurang tepat karena cenderung pada gelombang pasang. Padahal, gelombang pasang lebih merujuk pada kondisi efek gravitasi Bulan dan Matahari, sedangkan tsunami, memiliki asal yang sama sekali berbeda.
Pasca tahun 1960-an, fenomena yang menyertai gempa bumi seperti tsunami diketahui secara empiris dan dapat dijelaskan secara ilmiah, pemaknaan tsunami menjadi dikenal sebagai gelombang laut seismik.
Kejadiannya merupakan serangkaian gelombang besar yang diciptakan oleh gangguan bawah air seperti gempa bumi. Istilah “seismik" pun menyiratkan mekanisme yang spesifik, karena terbatas dengan peristiwa gempa bumi. Padahal tsunami juga dapat disebabkan oleh kejadian nonseismik, seperti letusan gunung berapi, longsor bawah laut ataupun dampak meteorit.
Referensi:
Cartwright, Julyan & Nakamura, Hisami. (2008). Tsunami: A history of the term and of scientific understanding of the phenomenon in Japanese and Western culture. Notes and records of the Royal Society of London. 62. 151-66. 10.1098/rsnr.2007.0038.
Shuto, N., & Fujima, K. (2009). A short history of tsunami research and countermeasures in Japan. Proceedings of the Japan Academy. Series B, Physical and biological sciences, 85(8), 267–275. https://doi.org/10.2183/pjab.85.267