10 November 2023
17:30 WIB
Penulis: Mohammad Widyar Rahman
Editor: Rikando Somba
Pesatnya perkembangan strategi marketing pada era globalisasi, tidak saja mengedepankan kualitas, harga dan manfaat produk, tetapi juga kepeduliannya terhadap kelestarian lingkungan dan tanggung jawab sosial terhadap lingkungan agar turut berkontribusi dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.
Namun, upaya menekankan aspek keberlanjutan suatu produk justru untuk menutupi keterlibatan pelaku usaha dalam praktik yang merusak lingkungan. Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai praktik greenwashing.
Istilah greenwashing pertama kali diciptakan oleh seorang mahasiswa yang bernama Jay Westerveld pada tahun 1980-an di sebuah resort bernama Beachcomber di Negara Fiji. Negara Fiji sebenarnya hanya tempat singgah untuk berselancar. Ia dalam perjalanan menuju Samoa untuk melaksanakan penelitian.
Di resort yang luas itulah Westerveld menemukan pesan yang meminta para tamu resort agar menggunakan handuknya secara berulang. Dengan menggunakan kembali handuknya, si individu berarti telah berkontribusi membantu mengurangi kerusakan ekologis di wilayah tersebut.
Westerveld melihat hal tersebut sebagai ironi. Meskipun resort tersebut diklaim melindungi terumbu karang dan ekosistem pulau, sebaliknya Westerveld menganggap resort tersebut tidak terlalu peduli terhadap terumbu karang. Malahan, resort tersebut ternyata sedang melakukan ekspansi membangun lebih banyak bungalow. Singkatnya, cerita tersebut menjadi terkenal karena diangkat di media massa.
Meski demikian, praktik greenwashing sudah ada lebih dulu. Pasca krisis nuklir yang terjadi di Kota Michigan dan Idaho, Amerika, salah satu pembangkit tenaga nuklir raksasa terancam oleh gerakan anti-nuklir pada tahun 1960-an.
Dalam upaya merespons gerakan anti-nuklir, pembangkit tenaga nuklir tersebut melawannya dengan serangkaian kampanye. Kegiatan ini menyatakan bahwa pembangkitnya bersih dan aman. Meski kata aman masih diperdebatkan, kampanye tersebut mengabaikan kekhawatiran mengenai dampak limbah nuklir terhadap lingkungan.
Kampanye lingkungan ataupun iklan yang masuk kategori greenwashing juga muncul dari sebuah perusahaan energi terbesar dari Amerika yang menampilkan beruang, penyu, dan kupu-kupu. Kampanye ini menunjukkan upaya memulihkan rawa-rawa yang pernah digunakan untuk eksplorasi minyak bumi.
Bahkan, kampanye tersebut efektif hingga memenangkan penghargaan periklanan Effie pada tahun 1990 dan menjadi bahan pembelajaran di Sekolah Bisnis Harvard. Padahal, kampanye tersebut justru mengabaikan catatan buruk perusahaan tersebut mengenai lingkungan hidup karena telah melanggar peraturan terkait udara bersih, air bersih dan kebocoran minyak di kawasan konservasi.
Istilah greenwashing ini muncul kembali ketika Nielsen Media Research merilis hasil surveinya pada 2015. Hasil survei tersebut menyebut di antara 66% responden global yang bersedia membayar lebih mahal, sekitar lebih dari 50% di antaranya dipengaruhi oleh faktor-faktor utama keberlanjutan, seperti produk yang dibuat dari bahan-bahan segar, alami, dan/atau organik (69%), perusahaan yang ramah lingkungan (58%), dan perusahaan terkenal dengan komitmennya terhadap nilai sosial (56%).
Yang jelas, praktik greenwashing sebagai tindakan yang menipu dan tidak etis sehingga akan menyesatkan investor dan konsumen yang benar-benar mencari perusahaan atau produk ramah lingkungan. Jika greenwashing terungkap, tentunya dapat merusak reputasi dan produk perusahaan.
Dalam upaya mencegah praktik greenwashing, setiap perusahaan membuat apa yang disebut laporan keberlanjutan. Pentingnya laporan keberlanjutan ini sebagai bentuk transparansi dan menunjukkan bukti bahwa upaya berkontribusi dalam pembangunan berkelanjutan sedang dilakukan sehingga akan selalu ada upaya perbaikan berkelanjutan dalam prosesnya.
Referensi:
Hayes A. 2023. What Is Greenwashing? How It Works, Examples, and Statistics. Diakses dari Investopedia.
Nielsen Media Research. 2015. The Sustainability Imperative. Diakses dari Nielsen Media
The Guardian. 2023. The Troubling Evolution of Corporate Greenwashing. Diakses dari The Guardian.