08 Oktober 2025
15:30 WIB
Agroforestri Sebagai Jawaban Ketahanan Pangan Di Indonesia
Konsep agroforestri sebenarnya bukan hal baru, tapi kini kembali mendapat perhatian. Agroforestri dinilai sebagai jawaban dua tantangan besar, yakni kebutuhan pangan dan pelestarian lingkungan.
Penulis: Oktarina Paramitha Sandy
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi agroforestri tanaman sayuran dengan pepohonan. Shutterstock/anacotrin
Persoalan ketahanan pangan di Indonesia tampaknya akan terus menjadi pekerjaan rumah yang tak bisa segera tuntas. Kita semua tentu menyadari, kebutuhan pangan terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk. Namun di sisi lain, lahan pertanian kita justru semakin menyempit.
Banyak lahan subur yang beralih fungsi menjadi kawasan perumahan, industri, hingga infrastruktur baru. Situasi ini diperparah dengan dampak perubahan iklim yang makin terasa nyata. Pola cuaca yang tidak menentu, curah hujan yang ekstrem, hingga suhu udara yang meningkat membuat banyak petani kesulitan menentukan masa tanam dan panen. Kita juga mengalami kendala bepergian dan beraktifitas akibat cuaca yang cebat berubah-ubah bak suasana hati remaja.
Sejatinya, ketahanan pangan tidak hanya soal ketersediaan beras atau bahan pangan pokok. Lebih dari itu, ini adalah persoalan tentang bagaimana kita bisa menjaga keseimbangan antara produksi, distribusi, dan keberlanjutan lingkungan. Pertanyaannya, bagaimana mungkin pangan bisa terus tersedia jika tanah yang menjadi sumber kehidupan justru semakin rusak atau berkurang?
Di sinilah muncul satu pendekatan yang mulai dilirik sebagai solusi: agroforestri. Konsep ini sebenarnya bukan hal baru, tapi kini kembali mendapat perhatian karena dinilai mampu menjawab dua tantangan besar sekaligus, yakni kebutuhan pangan dan pelestarian lingkungan. Sederhananya, agroforestri adalah sistem pertanian yang menggabungkan tanaman pangan, pohon, dan terkadang juga ternak dalam satu kawasan lahan yang sama. Tujuannya bukan hanya untuk menghasilkan panen, tapi juga menciptakan ekosistem yang saling mendukung antara satu unsur dengan yang lain.
Sobat Valid tentu bisa bayangkan, dalam satu lahan agroforestri, pohon berfungsi menahan air hujan, menjaga kesuburan tanah, dan melindungi tanaman di bawahnya dari sinar matahari yang terlalu terik. Sementara di sela-sela pepohonan itu tumbuh tanaman pangan seperti jagung, cabai, kopi, atau kakao. Bahkan, di beberapa wilayah, peternak memelihara ayam atau kambing di area yang sama, memanfaatkan dedaunan dan rumput alami dari lahan tersebut. Jadi, sistem ini bukan hanya tentang menanam, tapi tentang membangun keseimbangan antara alam dan manusia.
Yang menarik, praktik agroforestri sebenarnya sudah dilakukan sejak lama oleh masyarakat Indonesia, terutama di pedesaan. Nenek moyang kita sudah mengenal pola tanam tumpang sari atau kebun campuran jauh sebelum istilah “agroforestri” dikenal di dunia akademik. Mereka menanam pohon buah-buahan di pekarangan, memelihara tanaman pangan di sela-selanya, bahkan memanfaatkan hasil hutan tanpa merusaknya. Tradisi inilah yang kini kembali dikembangkan dengan pendekatan yang lebih sistematis dan berbasis penelitian ilmiah.
Bukan hanya sekedar teknik pertanian saja, agroforestri juga berperan penting dalam memperkuat struktur sosial masyarakat tani. Dikutip dari studi berjudul Sustaining Food Security through Social Capital in Agroforestry: A Qualitative Study from North Luwu, Indonesia (2025) yang ditulis oleh Yusriadi, ditemukan bahwa komunitas petani yang menerapkan agroforestri dan memiliki ikatan sosial yang kuat. Mereka punya rasa percaya, gotong royong, serta nilai saling mendukung, dan cenderung memiliki ketahanan pangan yang lebih stabil dibanding kelompok yang bekerja secara individual.
Penelitian tersebut menegaskan bahwa keberhasilan agroforestri tidak hanya bergantung pada kondisi lahan atau teknik tanam. Modal sosial masyarakat juga menentukan. Ketika petani saling berbagi pengetahuan, bekerja bersama mengelola lahan, dan menjaga hubungan yang baik dengan lingkungannya, sistem agroforestri akan jauh lebih efektif dan berkelanjutan. Ini membuktikan bahwa ketahanan pangan bukan semata soal hasil panen, melainkan juga tentang kekuatan komunitas dan kearifan lokal.
Melalui sistem agroforestri, ada harapan baru untuk masa depan pangan Indonesia. Pendekatan ini bukan hanya membantu petani bertahan di tengah perubahan iklim, tapi juga mendorong cara bertani yang lebih bijak terhadap alam. Agroforestri membuka jalan menuju sistem pertanian yang tidak hanya produktif, tapi juga resilien.

Apa Itu Agroforestri?
Kalau Sobat Valid pernah melihat lahan pertanian yang tampak seperti perpaduan antara kebun, hutan, dan ladang, besar kemungkinan itu adalah agroforestri. Yang membuat sistem ini istimewa adalah hubungan saling menguntungkan antar komponen di dalamnya.
Pohon-pohon berperan melindungi tanaman di bawah dari teriknya matahari dan hujan deras, sementara daun-daun yang gugur menjadi pupuk alami yang memperkaya unsur hara tanah. Akar pohon yang menembus dalam membantu menahan tanah agar tidak tergerus air, sekaligus menjaga cadangan air di dalam tanah tetap stabil. Tanaman pangan memberi hasil dalam jangka pendek, sementara pohon menghasilkan manfaat jangka panjang, baik berupa buah, kayu, maupun penyangga ekosistem. Dengan cara ini, satu lahan bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa harus menguras sumber daya alamnya.
Kalau kita bandingkan dengan sistem monokultur, yang menanam satu jenis tanaman dalam satu area luas, perbedaan keduanya sangat terasa. Monokultur memang sering dianggap efisien dan mampu menghasilkan panen besar dalam waktu cepat. Tapi di balik itu, sistem ini sangat rentan. Begitu ada serangan hama, penyakit, atau kekeringan, seluruh lahan bisa terdampak sekaligus. Sementara dalam sistem agroforestri, keragaman tanaman menjadi kekuatan utama. Ketika satu komoditas gagal panen, masih ada jenis lain yang bisa diandalkan. Sistem ini membuat lahan lebih tangguh menghadapi perubahan cuaca dan gangguan lingkungan.
Dikutip dari artikel jurnal berjudul Analysis of Agroforestry Types and Their Contribution to Sustainable Agriculture in the Community Forest (HKm) Kibuk, Pagaralam City, South Sumatra (2024) yang ditulis oleh Deddy Permana dkk. memberikan gambaran tentang bagaimana petani lokal mempraktikkan berbagai jenis sistem agroforestri dan dampaknya terhadap keberlanjutan lahan.
Dari penelitian tersebut, ditemukan enam tipe utama sistem agroforestri, mulai dari kombinasi tanaman kopi (Arabica dan Robusta) dengan pohon pelindung seperti alpukat dan akasia, hingga penanaman tanaman bawah seperti sayuran hortikultura dan rempah. Namun sistem ini bukanlah sistem yang kaku, sistem ini bisa disesuaikan dengan kondisi tanah, iklim, budaya bertani, dan tujuan ekonomi dari masyarakat setempat. Berikut beberapa jenis sistem agroforestri yang paling umum diterapkan di Indonesia:
1. Agrosilvikultur
Sistem ini menggabungkan tanaman pangan seperti jagung, cabai, kedelai, atau kacang tanah dengan pohon kehutanan seperti jati, akasia, mahoni, atau sengon. Tujuannya adalah menciptakan ekosistem yang saling menguntungkan.
Contohnya bisa dilihat di kawasan HKm Kibuk, di mana tanaman kopi Arabica dan Robusta ditanam di sela pohon alpukat dan akasia. Pohon-pohon tersebut berfungsi sebagai naungan alami yang membantu menjaga kelembapan tanah, menahan erosi, dan mengurangi penguapan air pada musim kemarau. Dengan begitu, tanaman kopi bisa tumbuh stabil dan produktif sepanjang tahun. Selain itu, hasil panen dari buah alpukat juga menjadi pendapatan tambahan bagi petani, sehingga mereka tidak bergantung pada satu komoditas saja.
2. Silvopastura
Kalau Sobat Valid tinggal di daerah yang punya lahan padang rumput atau hutan terbuka, sistem ini bisa jadi pilihan tepat. Silvopastura mengombinasikan pohon dan ternak dalam satu kawasan. Pohon-pohon ditanam untuk memberi naungan dan pakan alami, sementara ternak, seperti sapi, kambing, atau domba, yang membantu menyuburkan tanah melalui kotorannya.
Sebagai contoh, di beberapa wilayah Nusa Tenggara Timur, petani menanam pohon lamtoro, gamal, atau akasia sebagai pakan hijauan bagi ternak. Pohon-pohon itu juga berfungsi sebagai penahan angin dan pengikat nitrogen, yang memperkaya unsur hara di tanah. Dengan cara ini, petani bisa memperoleh manfaat ganda: produktivitas lahan meningkat dan biaya pakan ternak berkurang.
3. Agrosilvopastura
Kalau dua sistem sebelumnya digabung, jadilah agrosilvopastura—sebuah sistem yang lebih kompleks karena mencakup pohon, tanaman pangan, dan ternak sekaligus. Sistem ini menuntut perencanaan yang cermat agar tidak terjadi persaingan ruang atau nutrisi antar unsur di dalamnya.
Dalam praktiknya, kita bisa menanam pohon buah seperti mangga atau jati di bagian pinggir, menanam sayuran dan palawija di sela-sela, dan memelihara kambing atau ayam di area terbuka. Keuntungan sistem ini sangat terasa: ada diversifikasi sumber pendapatan, risiko gagal panen lebih rendah, dan keseimbangan ekologis yang lebih baik. Petani di Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan sudah banyak menerapkannya karena terbukti efisien secara ekonomi dan ramah lingkungan.
4. Homegarden atau Pekarangan Agroforestri
Sistem ini skalanya kecil, tapi manfaatnya besar. Umumnya diterapkan di pekarangan rumah atau sekitar pemukiman. Di sini kamu bisa menanam pohon buah seperti jambu, mangga, pepaya, atau pisang, diselingi tanaman sayur seperti cabai, terong, dan bayam. Banyak rumah tangga juga menanam tanaman obat seperti jahe, kunyit, atau serai di sela-sela ruang kosong.
Menariknya, sistem pekarangan ini bukan hanya soal kemandirian pangan keluarga, tapi juga penataan ruang hijau mikro yang membantu menurunkan suhu lingkungan dan menjaga kesegaran udara. Bahkan, beberapa keluarga memelihara ayam kampung atau ikan lele dalam sistem terpadu kecil. Dari sisi ekonomi, hasil pekarangan bisa menekan pengeluaran harian sekaligus memberi nilai tambah ketika hasil panen dijual.
5. Sistem Campuran dengan Pohon Pelindung (Shade Trees System)
Sistem ini banyak dijumpai di perkebunan kopi dan kakao, terutama di dataran tinggi seperti Lampung, Aceh, dan Bali. Pohon pelindung seperti dadap, gamal, dan lamtoro ditanam bersama tanaman utama untuk menciptakan kondisi mikroklimat yang lebih sejuk dan stabil.
Selain melindungi tanaman dari sinar matahari berlebih, pohon-pohon tersebut membantu memperbaiki struktur tanah dan menambah unsur nitrogen alami. Penelitian menunjukkan bahwa sistem dengan pohon pelindung juga bisa meningkatkan produktivitas kopi hingga 15–20% karena tanaman tumbuh lebih sehat dan tidak mudah stres akibat panas ekstrem. Di Bali, sistem ini dikenal sebagai pola kopi tumpangsari tradisional, yang telah terbukti bertahan selama puluhan tahun karena ramah lingkungan dan menguntungkan petani kecil.
Manfaat Komprehensif
Dikutip dari artikel jurnal berjudul Carbon Sequestration Potential of Agroforestry Systems in Degraded Landscapes in West Java, Indonesia (2021) yang ditulis Mohamad Siarudin, dkk., sistem agroforestri di Indonesia mampu menyerap antara 50 hingga 150 ton CO₂ per hektar dalam periode 20 tahun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan lahan pertanian konvensional yang hanya mampu menyerap kurang dari 20 ton per hektar dalam periode yang sama.
Singkatnya, semakin banyak petani yang menerapkan agroforestri, semakin besar pula kontribusi mereka terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca. Selain menyerap karbon, agroforestri juga mendukung keanekaragaman hayati.
Dengan banyak jenis tanaman dan pohon yang tumbuh berdampingan, lahan agroforestri menjadi habitat alami bagi serangga, burung, dan berbagai hewan kecil. Burung-burung pemakan serangga, misalnya, membantu pengendalian hama secara alami tanpa perlu pestisida kimia. Begitu juga lebah dan kupu-kupu yang membantu penyerbukan, menjaga produktivitas tanaman tetap tinggi. Keanekaragaman ini menciptakan ekosistem yang lebih seimbang dan tahan terhadap gangguan lingkungan seperti kekeringan atau wabah hama.
Sementara itu, bagi petani, groforestri bukan hanya soal menanam pohon, tapi juga tentang membangun penghidupan yang lebih stabil dan berkelanjutan. Dengan menanam beragam tanaman, mulai dari sayur, buah, hingga pohon kayu, petani memiliki banyak sumber pendapatan yang bisa diandalkan sepanjang tahun.
Diversifikasi juga menjadi penyelamat ketika terjadi gagal panen. Kalau satu jenis tanaman terserang hama atau rusak karena cuaca ekstrem, masih ada tanaman lain yang bisa dipanen. Ini sangat penting, apalagi bagi petani kecil yang mengandalkan pertanian sebagai sumber utama penghasilan keluarga. Dengan sistem agroforestri, risiko kehilangan seluruh pendapatan bisa ditekan secara signifikan.
Berdasarkan artikel jurnal berjudul Can Agroforestry Contribute to Food and Livelihood Security for Indonesia’s Smallholders in the Climate Change Era (2024) yang ditulis oleh Aris Sudomo, dkk. , petani kecil yang menerapkan agroforestri mengalami peningkatan pendapatan rata-rata antara 30–45 persen dibanding petani yang masih mengandalkan sistem monokultur. Tidak hanya itu, risiko kerugian ekonomi mereka juga lebih rendah, karena diversifikasi tanaman memberikan perlindungan finansial yang lebih baik saat harga komoditas turun atau terjadi gangguan iklim.
Selain itu, desa-desa yang mengembangkan agroforestri biasanya juga memiliki lingkungan yang lebih asri dan sehat. Pohon-pohon di sekitar lahan membantu menurunkan suhu udara, memperbaiki kualitas oksigen, dan menambah nilai estetika kawasan. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menarik minat wisatawan atau program pemberdayaan yang mendukung ekonomi desa secara berkelanjutan.
Singkatnya, agroforestri tidak hanya menyeimbangkan hubungan antara manusia dan alam, tetapi juga menjadi kunci penting dalam menciptakan ketahanan sosial, ekonomi, dan ekologi.
Agroforestri dan Ketahanan Pangan di Indonesia
Lalu, bagaimana sebenarnya agroforestri berkontribusi terhadap ketahanan pangan di Indonesia? Jawabannya terletak pada konsep produktivitas yang berkelanjutan. Ketahanan pangan sejatinya bukan hanya soal seberapa banyak pangan yang bisa dihasilkan hari ini, tetapi bagaimana memastikan bahwa produksi pangan tetap bisa berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun ke depan tanpa merusak keseimbangan alam.
Agroforestri menjadi jawaban dari tantangan besar ini. Sistem pertanian yang memadukan pohon dengan tanaman pangan menciptakan ruang tumbuh yang lebih sehat dan produktif. Tanah tetap subur karena terus mendapat asupan bahan organik dari serasah daun yang membusuk di permukaannya. Akar-akar pohon membantu menahan air dan mencegah erosi, sementara naungan pepohonan menjaga kelembapan tanah serta menciptakan iklim mikro yang lebih stabil. Dengan begitu, lahan pertanian tidak cepat rusak dan bisa terus dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Dari sisi ketersediaan pangan, agroforestri juga membuka peluang bagi masyarakat untuk mengakses sumber pangan yang jauh lebih beragam. .
Selain menjaga lingkungan dan memenuhi kebutuhan pangan, agroforestri juga memperkuat kemandirian ekonomi petani. Dalam sistem ini, petani tidak lagi sepenuhnya bergantung pada input eksternal seperti pupuk kimia atau pestisida yang harganya sering naik turun. Alam menyediakan sebagian besar kebutuhan tersebut: pupuk organik berasal dari daun dan kotoran ternak, pengendalian hama dilakukan secara alami oleh burung dan serangga predator, sedangkan sistem perakaran pohon menjaga ketersediaan air di dalam tanah. Hasilnya, biaya produksi menurun, dan petani jadi lebih mandiri secara ekonomi.
Dikutip dari jurnal Can Agroforestry Contribute to Food and Livelihood Security for Indonesia’s Smallholders in the Climate Change Era (2024), agroforestri terbukti mampu meningkatkan ketahanan pangan dan ekonomi rumah tangga petani kecil di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Tengah. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa rumah tangga petani yang menerapkan agroforestri memiliki diversifikasi sumber pendapatan hingga 45 persen lebih tinggi dibanding petani monokultur. Selain itu, indeks ketahanan pangan mereka meningkat signifikan karena ketersediaan pangan lokal yang beragam sepanjang tahun.
Hasil penelitian itu juga menggambarkan bagaimana agroforestri berperan penting dalam membantu petani menghadapi tekanan perubahan iklim. Cuaca yang semakin sulit diprediksi, kemarau panjang, banjir, atau hujan ekstrem, menjadi tantangan besar bagi pertanian modern. Dalam kondisi seperti ini, sistem agroforestri terbukti lebih tangguh dan adaptif. Pohon-pohon berfungsi sebagai peneduh alami, melindungi tanaman dari panas berlebih, menahan hembusan angin kencang, dan membantu mengatur kelembapan tanah. Keragaman jenis tanaman membuat petani tidak kehilangan seluruh panen ketika satu komoditas gagal akibat cuaca ekstrem.
*Penulis merupakan kontributor di Validnews.id
Referensi: