29 April 2025
20:15 WIB
Musisi Indie Dan Isu Royalti
Mungkin masih banyak yang beranggapan bahwa isu royalti hanya 'makanan' musisi kelas atas. Bukan! Musisi indie pun sejatinya juga punya hak sama soal isu hak cipta dan royalti.
Penulis: Arief Tirtana
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi orang menonton musisi yang sedang tampil. Freepik
JAKARTA - Masalah hak cipta dan royalti lagu belakangan ramai menghiasi industri musik tanah air. Ihwal mencuatnya kembali polemik ini adalah kasus yang melibatkan penyanyi Agnez Mo, dengan pencipta lagu "Bilang Saja", Ari Bias. Lewat serangkaian pemberitaan terkait seakan masyarakat Indonesia diajak untuk 'menguliti' apa itu royalti dan carut-marut penerapannya.
Perkara ini bermula ketika Agnez Mo membawakan lagu "Bilang Saja" di tiga acara berbeda tanpa izin dari Ari Bias. Merasa memiliki hak atas lagu tersebut, Ari yang tak mendapatkan royalti atas karyanya, menuntut Agnez Mo ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Hasilnya, pada 30 Januari 2024, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyatakan Agnez Mo melanggar hak cipta, dan diwajibkan untuk membayar denda sebesar Rp1,5 miliar. Fantastis!
Menariknya, sengketa royalti antara dua pihak, justru menjadi pemicu bergulirnya perdebatan yang semakin melebar. Seakan menjadi bola panas, isu ini justru memperjelas bahwa masih banyak celah yang perlu diatur lebih komprehensif. Pun aturan yang sudah ada di undang-undang, masih sangat abu-abu. Buktinya, banyak pihak yang pada akhirnya memiliki pandangannya masing-masing dalam mengartikannya. Multitafsir.
Sejumlah musisi dan pencipta lagu dengan nama besar, belakangan muncul mengutarakan pendapat dan keberpihakannya pada kasus ini. Ujungnya, menghadirkan dua kubu yang 'berseberangan', yakni Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) dan Vibrasi Suara Indonesia (VISI).
Dalam kasus ini, AKSI yang digawangi Ahmad Dhani dan personel band Padi, Piyu, berada di pihak yang mendukung Ari Bias. Dengan fokus utamanya pada hak cipta pencipta lagu. AKSI ingin memastikan bahwa pencipta lagu memiliki kontrol penuh atas karya ciptaan mereka, dan juga hak royalti atas lagu ciptaannya benar-benar dibayarkan.
Sementara VISI yang beranggotakan musisi dengan nama besar, seperti Armand Maulana, Ariel NOAH, Duta Sheila On 7, Vidi Aldiano, seakan berada di posisi sebaliknya. Di mana mereka lebih menuntut kejelasan aturan mengenai hak cipta musik atau lagu di Indonesia.
VISI fokus mendorong para pemangku kepentingan merevisi Undang-undang Hak Cipta, termasuk dalam pelaksanaannya di lapangan. Sehingga penyanyi tidak terjebak aturan yang bisa merugikan mereka.
Dengan nama-nama besar yang terlibat di dalamnya, polemik yang melibatkan AKSI dan VISI ini menarik perhatian banyak pihak. Tak terkecuali dari kalangan musisi yang belum memiliki nama besar, atau mereka yang berada di jalur anti mainstream, di jalur indie atau tidak tergabung dengan label besar.
Salah satunya Haris Prasetyo, drummer band asal Tangerang, Visual Disorder. Dia mengaku cukup mengikuti polemik yang terjadi ini belakangan ini. Menurutnya, ini merupakan sesuatu yang penting untuk dijadikan pembelajaran. Apalagi, dia termasuk orang yang sempat beberapa kali pindah band dan masuk dalam dapur rekaman. Baginya, apa yang ramai hari ini membuka pandangan banyak musisi di berbagai level, bahwa hal ini sejatinya bisa saja terjadi kepada mereka, kapanpun itu.
"Gue ngikutin, walau enggak sampai ngulik banget detail kasusnya. Tapi gue rasa penting banget buat tau garis besarnya. Soalnya ini bisa jadi pelajaran juga buat musisi-musisi lain, termasuk yang di skena indie. Jangan sampai kita ngerasa ini mah urusan musisi besar doang, padahal gue juga berpotensi ngalamin hal serupa kalau sistemnya masih berantakan," jelas Haris kepada Validnews.
Menurut Haris, jika ditarik lebih luas, polemik ini sebenarnya jangan hanya dipandang sebatas soal uang yang harus dibayar atau diterima. Melainkan soal penghargaan terhadap karya dan proses kreatif.
Karena itu, di level apapun seorang musisi berada, jika tidak mengurus hak cipta akan karyanya dengan baik, masalah mungkin akan bisa terjadi. Apalagi saat kelak mereka mulai lebih jauh lagi di industri musik.
"Kalau kita enggak ngurusin ini dari sekarang, nanti bisa repot sendiri pas karya udah mulai jalan lebih jauh," kata pria yang juga merupakan seorang profesional hypnotherapy ini.
Kesadaran Masalah Royalti
Dari 'kacamata' dia, polemik yang terjadi antara AKSI dan VISI terkait royalti lagu belum menjadi perhatian banyak rekan-rekan musisi lain di sekitarnya. Ia merasa bahwa kondisinya masih terkesan adem ayem saja, tanpa ada yang benar-benar membicarakan atau memperhatikan secara serius.
Kondisi ini, menurutnya terjadi karena banyak teman musisi yang merasa bahwa polemik tersebut bukan masalah yang menyentuh langsung ke kehidupan mereka.
Namun, menurut Haris, hal itu yang justru itu berbahaya. Pasalnya, bisa saja seorang musisi dirugikan ketika lagunya tiba-tiba mulai diputar di banyak tempat. Dan saat itu, ia tak punya pengetahuan cukup, bagaimana untuk bisa memperoleh haknya.
"Kebanyakan baru nyari tau pas udah kejadian atau pas lagu mereka mulai dipakai orang. Harusnya sih dari awal udah dikasih tau soal ini," kata Haris.
Musisi yang juga pengajar piano klasik, Denon Doytha juga merasakan hal yang sama. Bahwa polemik yang terjadi saat ini menurutnya masih sebatas jadi isu kalangan papan atas. Sementara di kalangan musisi akar rumput sendiri, belum begitu terasa menjadi perhatian.
Penyebabnya memang tak lepas dari minimnya pemahaman banyak musisi perihal mengenai hak cipta, juga perihal pengelolaan royalti lagu atau musik. Bahkan beberapa juga masih belum memahami fungsi LMK (Lembaga Manajemen Kolektif), lembaga yang mendapat tugas untuk mengelola hak cipta dan royalti musik, sebelum disalurkan kepada penciptanya.
Denon melihat, kondisi ini terjadi dikarenakan pengetahuan perihal hak cipta dan sistem pengelolaan royalti musik masih relatif eksklusif, hanya bisa didapatkan oleh kalangan musisi tertentu saja. Banyak musisi indie yang 'buta' akan hal itu.
"Sehingga banyak teman-teman juga akhirnya seperti halnya menyusun sebuah puzzle, dan tidak jarang malah mereka memahami dengan pemahaman sendiri yang kurang mumpuni," kata musisi yang kini menjadi COO di sekolah musik D'Club of Joy - Creative Hub di Bintaro.
Dengan pengalaman belasan tahun di dunia musik, Denon mengaku bahwa dirinya juga belum sepenuhnya memperhatikan urusan royalti untuk sejumlah karya yang telah diciptakannya. Apalagi, beberapa karya yang ia garap adalah 'proyek pertemanan', yang diproduksi bersama rekan musisi lainnya, tanpa ikatan profesional. Sebatas upaya untuk bisa menciptakan sebuah karya bersama.
Tapi di sisi lain ia sadar, mungkin saja ke depan akan jadi masalah ketika terjadi kecurangan dalam penggunaan karya tersebut.
Dalam satu kasus, secara moril dan material, Denon sebenarnya punya hak atas lagu-lagu yang ia ciptakan di bandnya terdahulu, Kalua. Meski kini ia sudah tidak lagi menjadi vokalis di band bergenre reggae itu, tapi lagu ciptaannya masih dinyanyikan bersama vokalis yang baru. Pun, ia sama sekali tak pernah mendapatkan apa yang menjadi haknya sebagai pencipta.
"(Sama) Kalua itu lumayan banget sih (nilai royaltinya). Cuma memang gue sepeserpun nggak dapat," kata Denon.
Di karya lain misalnya, lagu "Putroe Bungsu" yang dia produksi bersama seniman asal Aceh, PM Toh, Denon juga mengaku belum pernah mendapatkan royalti sepeserpun. Hal ini juga tak diambil pusing olehnya, dengan kesadaran bahwa mungkin nilai royalti dari lagu tersebut belum cukup besar untuk bisa didapatkannya.
"Kalau kata produser gue sih dapet, tapi mungkin karena masih skala kecil ya, gue belum dikasih apa-apa. Dan gue ga minta atau tanya juga sih," terangnya.
Edukasi dan Pembenahan Sistem
Dengan minimnya pengetahuan dan rumitnya sistem pengelolaan royalti di Indonesia, baik Haris maupun Denon sama-sama menilai perlu edukasi komprehensif soal hak cipta dan royalti. Jangan hanya ini sekadar menjadi isu musiman yang 'panas' ketika ada polemik.
"Dan idealnya sih dibikin relevan sama kehidupan musisi indie, misalnya lewat workshop di gigs, kelas online yang bahas pakai contoh kasus nyata, atau lewat komunitas musik," kata Haris.
Dia berujar, harus diakui bahwa sistem pengelolaan royalti di Indonesia, masih sangat jauh dari kata baik. Karenanya, mau tidak mau ada edukasi kepada musisi, terlebih mereka yang indie, menjadi suatu keharusan. Sembari pembenahan aturan dalam undang-undang dan lembaga terkait.
"Sehingga terbentuk tata kelola dan aturan yang jelas, sehingga teman-teman musisi yang lain mendapatkan info yang valid," tekannya.
Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) Bidang Kolektif Royalti dan Lisensi, Yessi Kurniawan dalam wawancaranya dengan Validnews, Jumat (25/4), mengakui bahwa sistem pengelolaan royalti di Indonesia ini masih banyak memiliki kelemahan.
Hal itu juga yang diyakininya, membuat banyak musisi, khususnya di jalur indie yang merasa tidak percaya dengan sistem pengelolaan, dan akhirnya tidak mempedulikan perihal royalti ini.
"Kami akui, ada kekurangan. Kalau tata kelolanya dibandingkan dengan (yang berbasis) teknologi, ya tentu banyaklah masih kelemahan-kelemahan," kata Yessi.
Seperti diketahui, dalam pengambilan royalti lagu, LMKN saat ini masih menggunakan metode manual, yakni penggunaan sampling. Bukan dihitung secara detail, seberapa banyak lagu itu digunakan atau diputar di tempat-tempat yang masuk dalam kategori harus membayar hak royalti berdasarkan undang-undang.
Disadari betul oleh Yessi, hal ini salah satunya menjadi polemik tersendiri yang membuat musisi tidak percaya. Apalagi di kalangan musisi indie yang kebanyakan anak-anak muda yang lebih teknologi minded.
Karena itu, ia menjanjikan bahwa LMKN ke depannya akan berusaha membuat pusat data lagu dan musik berbasis teknologi. Dengan demikian, sistem informasi lagu dan musik yang digunakan, bisa terdata dengan baik.
"Dreaming itu udah ada, pusat data lagu dan musik ya," katanya.
Perihal edukasi ke kalangan musisi, Yessi mengaku hal itu memang perlu untuk dilakukan. Sebab bagaimanapun, seorang musisi harus memahami hal-hal dasar dalam industri musik. Setidaknya, cara mendaftarkan lagu agar bisa mendapatkan royalti.
"Kalau musik industri nggak paham, susah, kayak kesasar. Cuma kalau paham, jalannya itu jadi tepat. Jadi setiap bikin usaha (buat karya), bisa menghasilkan," yakinnya.
Namun hingga kini, diakui juga oleh Yessi, sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam pengelolaan royalti, LMKN belum pernah menggelar satupun seminar atau edukasi ke kalangan musisi. Ini terjadi lantaran masalah biaya, yang juga mereka hadapi. Uang yang ada hanya cukup untuk proses collecting royalti musisi ke berbagai pihak.
"Kita belum ada cost, cost-nya lebih ke (buat) collecting," kata Yessi.
Tetapi sebagai pihak yang punya tanggung jawab besar ke musisi, pihaknya mengaku akan siap untuk berpartisipasi, datang ke seminar atau acara edukasi yang membahas perihal hak cipta atau royalti lagu dan musik ini ke berbagai kalangan
"Setiap ada seminar, kita diundang, pasti datang," tekannya.